Bab 50 Matahari bersinar sangat terik. Panasnya menyengat menghanguskan kulit. Ajeng berjalan lamban di tepi jalan, memaksa kakinya tetap melangkah meski dengkulnya gemetar sejak dua jam lalu. Peluh bergerombol memenuhi kening Ajeng dan beratus kali ia menyekanya. Panas matahari dan capai tak sanggup ia tahan lagi. Fisiknya semakin lemah, kepalanya pening dan terasa mau pingsan. Ajeng memutuskan untuk beristirahat di bawah pohon Trembesi. Ia duduk berselonjor dan membuka botol minum lalu menghabiskan isinya yang tinggal seteguk. Mata wanita itu menerawang menembus batas cakrawala. Rumahnya masih 2 km lagi dan ia tak sanggup meneruskan… __________ “Jangan ngomong ngawur kamu Pak. Bagaimanapun Ajeng itu anakmu. Kalau dia mati kamu juga yang sedih!” dengus Ibu Amina. Mukanya menekuk menahan kesal. Bapak tertawa sinis. “Jikalau pun Ajeng mati. Aku gak bakalan sedih! Aku masih punya Amina dan Ayang cucuku yang cantik. Mereka perhatian dan sayang sama kita. Coba Ibu pikir siapa yang
Bab 51Make up artis sedang merapikan make up Amina saat bapaknya menelpon. “Assalamualaikum Pak?” jawabnya ramah.“Amina, ibumu belum pulang dari pasar dari tadi sore.” Suara Bapak terdengar risau di seberang.“Mungkin Ibu masih main ke rumah temannya. Apa Bapak sudah telpon Ibu?” Amina berusaha menenangkan diri.“Ibumu gak bawa telepon. Bapak takut ada sesuatu yang terjadi menimpa ibumu.”“Siapa itu?” sela Eril. 5 menit lagi Amina tampil.“Bapak.” Amina menjaukan ponsel dari mulutnya. Kemudian dia melanjutkan percakapannya lagi dengan bapaknya. “Pak, maaf aku harus tampil. Nanti aku hubungi lagi.” Dia buru – buru menutup telponnya.“Ada apa?” tanya Eril melihat raut muka Amina yang tegang.“Ibu belum pulang dari pasar dari sore,” jawab Amina gugup.“Biar aku yang tangani. Kamu tenang saja.” Eril menepuk – nepuk punggung tangan Amina.Amina mengangguk. “Tolong telpon Ayang, apakah dia sudah makan malam?” pintanya dengan mata teduh. Ia tidak tenang meninggalkan anaknya sendirian bersa
Bab 52 Tiap kali mendengar nama Ajeng, napas Amina menjadi berat. Ribuan kenangan menyakitkan menorehkan dendam kesumat pada kakaknya. Dadanya seperti ditindih berton – ton batu yang membuat Amina kesulitan bernapas. Keringat dingin mulai mengguyur badannya, kepalanya pusing dan badannya lemas. Perempuan itu berjalan terhuyung ke teras apartemen. Dihirupnya udara banyak – banyak memenuhi rongga kosong. Sedangkan tangannya memegang erat terali besi pembatas. Ayang yang sudah mengantuk mendekati Amina. Tangan kecilnya menarik – narik baju perempuan itu. “Ibu, aku mau nyonyok.” Tangannya menunjuk payudara Amina. Dia tidak bisa tidur sebelum menyusu. Amina menatap Ayang sedih. Ia menelan ludah pahit. Ayang bertumbuh semakin besar tak mungkin dia akan terus menyusui anaknya. Jika dirunut, sebenarnya dirinyalah yang salah, bukan anaknya! Ayang masih suka menyusu, sebenarnya dia hanya membutuhkan kenyamanan seperti Amina. Secara tidak langsung perempuan itu menemukan ketenangan dan str
Bab 53 Eril tak bisa berkata – kata. Mulut lelaki itu seketika terkunci dengan pertanyaan Ayang. Ia menunduk sedih. Amina yang mendengarkan percakapan Ayang menangis tersedu – sedu. Ia segera berlari menghampiri anaknya dan memeluknya dengan erat. Ia merasa bersalah telah membuat hidup Ayang berat. “Maafkan Ibu ya Nak. Ibu banyak salah pada Ayang,” ujarnya sesenggukan. “Gak, Ibu gak salah. Ayang yang salah. Ayang janji tidak mau minta nyonyok lagi sama Ibu.” Ayang menjadi bingung ketika melihat ibunya menangis. Makin sedihlah Eril melihat kedua mahluk hidup itu. “Bukan saatnya untuk menangis sekarang.” Dia memegang pundak Amina lembut. Ia bisa merasakan beban yang dipanggul perempuan itu berat. Ia lalu melihat ke Ayang. “Besok kalau ada yang mengejek Ayang lagi. Bilang saja, Om Eril adalah Papa Ayang.” Mata Ayang mengerjap bahagia. “Benarkah? Terus Ayang panggil apa? Om Papa?” tanyanya dengan kepolosan anak – anak. “Jangan ngaco kamu Eril. Ini bukan permainan peran!” protes Am
Bab 54Jarak antara Amina dan Eril begitu dekat. Hingga Eril bisa membaui napas wanita itu.Aroma mint menyeruak menerjang pembuluh darah otak Eril.Seketika saraf - saraf tubuh lelaki itu menegang! Sial! Dia menginginkan sebuah ciuman. Eril berusaha menahan diri. "Aku tersanjung dengan kata - kata manismu itu," ungkapnya ringan. Dia mengulum senyum. " Tapi percayalah aku tidak kesepian. Jujur, kehadiran kalian berdua telah membuat hidupku lebih berwarna."Saat itu juga sebenarnya Eril mau membeberkan semua perasaan yang dipendamnya selama ini.Namun, hal itu tidak ia lakukan. Eril khawatir keterus - terangannnya akan mengacaukan kenyamanan Amina bersamanya.Eril diam - diam mengamati pipi Amina yang bersemu merah. "Kita sebaiknya mengobrol di luar. Aku takut pembicaraan kita mengganggu tidur Ayang."Pria itu menggandeng tangan Amina ke ruang tamu. Dia membuka jendela dan korden lebar - lebar, membiarkan angin malam bebas masuk.Hal tersebut ia lakukan untuk menjaga pikirannya tetap
Bab 55 "Untuk apa kamu bertanya seperti itu?" ucap Amina. Ia bangun dengan wajah murung. Bayangan Jazuli muncul merobek nanah yang mulai mengering. "Hei jangan diambil hati pertanyaanku. Sebagai managermu yang baik hati, aku hanya ingin tahu," canda Eril. "Aku belum pernah jatuh cinta," ungkap Amina. "Hah! Yang bener. Tak mungkin! Kamu cantik sekali." Eril tak percaya dengan perkataan Amina. "Kamu pasti banyak yang naksir dulu." "Aku tidak tahu. Aku tidak pernah memikirkan hal itu karena aku sibuk mencari uang untuk biaya sekolah. Uang orang tuaku habis untuk membayar hutang pernikahan si bangsat itu!" Menyebut nama Ajeng. Mata Amina berkilat marah, sedetik kemudian matanya mengabur dibanjiri oleh air mata. Ia benci dirinya menjadi begitu cengeng dan sensitif. "Maaf, telah membuatmu sedih." Eril merasa bersalah. Eril melihat jam dinding. "Istirahatlah. Besok pagi - pagi kita ada acara kan? Aku tidak mau kamu mengantuk." “Maukah kamu menungguku hingga aku tertidur? Aku sedan
Bab 56 “Amina, aku minta maaf jika perkataanku menyakitimu,” ucap Eril gusar. Dia menarik rambutnya ke belakang. Amina berdiri kaku dan memalingkan mukanya. “Oke, kalau kamu menghukumku dengan cara diam begitu. Aku tidak akan marah kepadamu. Sekarang aku mau ke apartemenku dan besok pagi – pagi aku akan menjemputmu.” Eril membalikkan badannya dan pergi. Amina hanya menangis sesenggukan di belakang pintu, setelah pria itu tidak ada di apartemennya, ia menutup pintu. “Tuhan! Aku benci diriku!” Amina memukul dadanya sendiri. Keesokan harinya. Eril terbangun karena silau oleh cahaya matahari yang menerobos masuk melewati celah korden. Lelaki itu memicingkan mata sebelum meraih ponselnya. Matanya seketika terbelalak. Jam 8 pagi!! “Hah! Gawat! Terlambat!” Buru – buru dia bangun dan memakai sepatu lalu menyambar tasnya. Dengan tergopoh – gopoh dia pergi ke apartemen Amina dan Bik Susi menyambutnya dengan tertawa. “Mas Eril, tadi gak mandi ya? Matanya belekan tuh. Hihihi!” “Hih! Gak s
Bab 57Eril melanjutkan perkataannya lagi. “Kalian keji sekali menfitnah Amina. Perempuan yang sedang berjuang untuk masa depannya. Saya tahu Amina, saya tahu track record kesehatannya sejak dia dibebaskan.” Dia memeluk dan meremas pundak wanita itu lembut.Amina menunduk. Setetes air matanya jatuh.Semua penonton terdiam.Melihat situasi yang kurang kondunsif. Host pemandu acara mengambil alih. “Amina saya pribadi salut dengan kekuatan kamu sebagai seorang perempuan. Kamu menginpirasi perempuan di luar sana untuk tetap kuat demi sang buah hati. Semangat,” selanya dengan mata berbinar.Dia lalu melihat ke Eril dan memberikan kode dengan mengedipkan sebelah matanya. “Sorry Bro, gue harus melanjutkan acara ini.” Ia mulai beraksi. “Baiklah, siapa yang mau berjoget lagi nih? Coba keluarkan suaranya yang keras.” Eril menangkap pesan itu, ia lalu menggandeng tangan Amina menuruni tangga panggung.Mereka bertemu dengan Carla dan Amel yang masih menunggu giliran bernyanyi.Amel langsung meny