Share

BAB 5. Xadira Ternyata..

Sepertinya tidak cukup dengan luka fisik akibat benda-benda tajam dan senjata panas yang Edward miliki. Pria itu juga berhasil membuat otak tidak seberapa Meta lelah berpikir. Bisa-bisanya pria itu malah menyuruhnya menyelesaikan soal-soal. Meta itu tidak pintar soal akademik, lebih mengeluti bidang bidng non akademik seperti model majalah misalnya.

Meta mengacak rambutnya. Sungguh, dia begitu lelah berpikir sekarang, mulai menyesal dulu lebih memilih tidur saat pelajaran fisika, dan matematika. Sekarang, dia bahkan tidak mengerti apa yang ditanyakan dalam soal. Gadis itu sudah mencoba belajar otodidak menggunakan jaringan internet, tetap saja tak kunjung menemukan pencerahan.

“Nih soal apa teka-teki hidup sih, susah amat,” rutuk Meta mulai menyerah. Dia membaca soal berulang kali, dan hasilnya nihil.

Meta menyerah, meletakkan kepalanya di atas meja. Baru juga beristirahat, bel kembali berbunyi, bersamaan dengan notifikaasi yang masuk ke ponsel hitam tersebut.

Seluruh hidup Edward dipenuhi warna hitam sepertinya.

“Akh, aku bisa gila kalau begini terus menerus,” teriak Meta frustrasi.

Ponselnya berdering lagi. Edward benar-benar ingin membuatnya gila sepertinya. Meski malas, Meta tetap mengangkatnya.

“Lupa kalau aku mengawasimu? Kerjakan atau hukuman indah menantimu,” ancam pria itu. Tidak main-main, pria itu bahkan mengancam akan menghukum jika melebihi waktu yang diberikan. Edward bahkan lebih kejam dari guru fisikanya dulu.

Meta mulai fokus, mencoba mencoret kkertas meski berakhir sama saja. Dia menyerah, mengistirahatkan tubuh dan pikirannya, terserah saja jika Edward akan menghukumnya.

Sekitar lima belas menit kemudian, alaram berbunyi, menandakan waktu yang sudah habis. Berjalan gontai, mengetuk pintu ruangannya Edwrd. Pria itu menatapnya, sudah tidak sabar memberinya hukuman sepertinya.

“Berani sekali menantang perintah aku, hem?” ucapnya penuh penekanan.

“Soalnya emang susah. Udah cari di internet, gak nemu juga,” protes Meta memelas. Entah salah ingat atau tidak, intinya dulu pelajaran itu tidak ada.

“Kalau kamu benar-benar pintar, pasti sadar ini soal apa. Jawabannya bahkan gak pernah ada,” sahut Edward terkekeh, merasa senang telah mengerjai babunya. Meta lelah berpikir, mecari ke sana kemari, nyatanya memang soal itu tidak memiliki jawaban.

Meta menatap Edward geram. Dia merasa dipermainkan sekarang.

“Kan sudah aku bilang, kalau saja kamu pintar, kamu pasti menyadarinya. Sayang sekali kamu begitu bodoh,” ejek Edward, semakin senang dengan ekspresi penuh emosi yang Meta tunjukkan. Gadis itu menghela napas, mencoba menenangkan gejolak dalam dadanya.

“Hukuman sudah menanti kelinci manis. Ikut aku!” perintah Edward.

Meta ingin sekali memukul kepala pria itu, membenturkannya ke dinding agar tidak bisa membuka mata lagi.

“Apa? Membersihkan kolam berenang seluas ini? Sendirian, gila ya kamu. Enggak, aku gak mau!”

Meta tidak bisa mengelak lagi. Tatapan mata Edward sudah menjelaskan segalanya. Gadis itu mulai menggulung rambutnya ke atas. Yup, dia benar-benar jadi babu Edward sekarang, dan sama sekali tidak bisa menolak apalagi melawannya.

“Akh, kapan aku bisa terbebas dari ini semua,” dumel Meta.

Gadis itu mulai mengambil sapu, siap tuun ke kolam berenang. Seperti memang disengaja dan ssudah diatur sedemikian rupa, air dalam kolam renang tersebut sudah dikuras, jadi tidak perlu menunggu lama untuk sang babu turun dan membersihkannya.

Edward duduk dengan tenang, memantau gadis itu yang terus saja mendumel, sambil membersihkan kolam renang yang sangat luas.

“Gila! Ngasih hukuman yang bisa buat anak orang mati beridiri!” dumel Meta memberengut kesal. Sesekali dia menghentakkan sapu dengan keras, pelampiasan emosinya.

Gadis itu mendongak dan bertemu pandang dengan Edward yang hanya terfokus padanya. Pria itu mengulas senyum, yang manis? Meta mengucek matanya untuk memastikan.

“Aku yakin Tuan Leonardo senyum manis banget tadi,” gumam Meta. Ekspresi penuh peringatan itu membuat Meta segera melanjutkan kegiatannya.

Berjam-jam dia menyikat dan menyiram kolam renang tersebut, baru selesai setengah. Meta terduduk lemas, tenaganya benar-benar terkuras habis.

“Tuan, beri hambamu air. Sungguh, aku haus,” pinta Meta menurunkan egonya. Edward tertawa, merasa terhibur. Segelas air diletakkan di pinggir kolam. Meta bergegas meneguknya, mengurangi kering di tenggorokannya.

“Cepat selesaikan, setelah itu pergi ke ruanganku, dan ambil dokumen yang aku butuhkan, nanti aku kirimkan pesan dokumen seperti apa yang kubutuhkan,” jelas Edward sebelum pergi.

Kini tersisa Meta yang mengejek pria itu. Kalau saja dia memiliki sedikit keberanian, dia pasti sudah menembak pria itu hingga mati.

“Sepertinya aku harus belajar bela diri sama cara menembak deh, biar bisa kalahin dia,” dumel Meta.

“Memangnya berani?” tanya seseorang berjalan mendekat. Meta mengerutkan kening, sepertinya pria itu salah satu tamu yang pernah datang ke rumahnya, artinya satu komplotan dengan Edward. Ah, Meta jadi malas meladeninya.

“Kamu itu terlalu menawan untuk sekedar jadi babu. Aku benar-benaar berpikir kalau tuan muda Leonardo akan menjadikanmu istrinya. Kupikir dia menyukaimu pada pandangan pertama,” sambung pria itu tidak berhenti memancing Meta untuk berbicara padanya.

Meta berhenti sejenak, mulai memikirkan perkataaan pria tak dikenal itu. Menyukainya? Apa begini cara memperlakukan seseorang yang disukai? Atau memang begitulah psikopat berhati dingin memperlakukan wanitanya?

“Psikopat masih memiliki hati untuk jatuh cinta?” tanyanya tidak yakin.

“Jaga bicaramu, Tuan Leonardo bisa membunuhmu jika mendengar perkataan lantangmu itu,” peringan pria itu lagi. Meta menutup mulutnya, kembali melanjutkan pekerjaannya. Sedikit lagi, dia meyakinakan diri sendiri.

Meta menghela napas lega, akhirnya dia bisa menyelesaikan pekerjaannya.

“Ngapain masih di situ?”

“Mau menyampaikan pesan Tuan Muda, dokumennya di map warna biru donker, jangan salah bawa, antar ke kamar beliau,” jelas pria itu.

Dia tersenyum manis sebelum meninggalkan Meta seorang diri.

“Eh, boleh bantu aku naik?” ucap Meta menghentikan langkah pria itu. Dia berbalik, mengulurkan tangan, membantu Meta untuk kembali ke atas.

Baru juga selesai, belnya sudah berbunyi lagi. Meta merutuki Edward yang tidak memberinya waktu untuk sekedar tarik napas.

“Gih, Tuan bisa marah dan menghukummu lagi jika sampai terlambat,”

Meta mengangguk, bergegas kembali ke dalam rumah yang seluas istana. Untuk mempercepat sampai di ruang kebesaran Edward, gadis itu menggunakan lift.

“Map biru donker, yang mana satu dah. Ini ada beberapa lagi,” gumam Meta mulai keebingungan.

Ting!

Biru donker yang garis pinggirnya warna hitam, ada pembatas warna biru juga, pastikan sebelum dibawa kemari

Sebuah pesan dari Edward. Meta mulai mencari map yang dimaksud. Dia tersenyum lega kala menemukannya. Untuk memastikan mapnya benar, Meta memberanikan diri untuk membukanya.

Tangan gadis itu bergetar kala menemukan sebuah foto gadis yang sangat dia kenal. Langkah kaki yang mendekat, sontak membuatnya menengok dan mendapati sosok Edward yaang tengah memperhatikannya.

“Xadira..ternyata dia..” gumam Meta tak mampu mengeluarkan kata-kata laagi.

Edward masih tenang, berjalan mendekat.

“Kenapa lama sekali? Kamu tau aku sangat tidak suka menunggu. Itu membuatku sangat kesal,” dumel Edward masih tanpa ekspresi.

Pria itu tersenyum devil kala melihat sesuatu yang babunya temukan.

“Ah, rupanya kamu sudah menemukan jawabannya,” gumam pria itu.

Meta terpaku, untuk membalas ucapan Edward dia sudah tidak sanggup. Sama sekali tidak menyangka akan menemukan foto Xadira, gadis yang sangat dia kenal. Otaknya berpikir keras, mencoba menyambungkan semua yang terjadi, mimpi buruknya itu dan foto Xadira yang ada di antara map milik Edward Leonardo, ditambah saat dia mengetahui nama lengkap gadis itu.

Meta mengepalkan tangannya, semua benar-benar mengejutkan gadis itu, terutama fakta tentang Xadira. Dunia sesempit itu ternyata atau memang itu adalah kebetulan yang disengaja?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status