Tanpa memerdulikan panggilan sahabatnya, Rinjani berlalu begitu saja dari perpustakaan. Gadis itu merasa kesal dengan Arsha yang terus saja mnggodanya. Sebenarnya salah dia sendiri yang tidak bisa mengontrol mulutnya sampai bisa kelepasan.
Spenjang jalan Rinjani terus saja menggerutu. Dia kebingungan hendak ke mana dan hanya mengikuti kakinya melangkah saja. Hingga tanpa sadar, gadis itu sampai di taman belakang gedung Fakultas Ekonomi.
Gadis itu memilih untuk duduk di salah satu kursi taman. Rinjami menyandarkan punggungnya di sandaran kursi, sambil mengatur napasnya yang putus-putus karena lelah.
Baru beberapa menit menikmati kesendirian, seorang gadis berkucir kuda ikut duduk di dekat Rinjani.
“Gila, ya, orang lagi jatuh cinta emang tenaganya gede. Cepet banget ngilangnya,” ledek Arsha sambil terus berusaha mengatur napasnya.
“Udah, deh, Sha. Aku tuh nggak lagi jatuh cinta. Ak—”
“Mulutmu bisa bohong, tapi matamu enggak, Rin. Lagipul
Samir menoleh pada Agam sambil tersenyum canggung. “Maaf. Mari ikut aku ke ruang VIP kafe ini.” “Wow, ada ruang VIP?” “Bukankah Sam baru saja mengatakannya, kenapa kamu jadi bodoh begini, Sha,” sahut Agam saat mendengar pertanyaan bodoh sepupunya. Sebuah pukulan membuat Agam menoleh. Terlihat wajah marah Rinjani karena tidak terima sahabatnya dikatai bodoh. “Kenapa kamu yang marah, Sayang?” goda Agam sambil mengusap punggungnya yang terasa sedikit sakit. “Hei, sudahlah, kenapa kalian seperti anak kecil begini!” lerai Varen yang malu menjadi tontonan pengunjung lain. *** “Silakan masuk, kalian adalah yang pertama menempati ruang ini,” ujar Samir seraya membuka pintu. Agam segera masuk sambil tangannya menarik Rinjani agar mengikutinya. Sedangkan Varen hanya mengekor di belakang keduanya. Sementara itu, Arsha masih berdiri di dekat Samir. “Kamu tidak ikut masuk?” “Hah! Eh, iya. Aku, aku masuk, ya,” ujar Ar
Pagi ini, warga kampus kembali dibuat tercengang saat melihat Rinjani dan Agam jalan beriringan. Pasalnya, hanya maha siswa barulah yang tidak tahu bagaimana sikap gadis itu pasa sosok laki-laki. Jadi, saat dia dekat dengan Agam, sudah pasti menjadi gosip terhangat di kampus. Banyak yang mulai berbisik-bisik saat sepasang kekasih itu melewati koridor kampus. Tidak sedikit pula yang memuji Agam karena telah berhasil menaklukkan Rinjani. Meski kelihatannya belum sepenuhnya berhasil. Terbukti dengan raut wajah gadis itu yang masih saja datar tanpa. Meski Agam mendapat banyak pujian dari kaum wanita, banyak pula pria yang merasa patah hati dan kehilangan harapan untuk bisa mendapatkan Rinjani. “Gam, bisa ‘kan, biasa aja. Nggak perlu diantar ke kelas juga, lagian aku bukan anak kecil.” Berkali-kali Rinjani menggumamkan kata itu sejak turun dari mobil. Gadis itu yang terbiasa sendiri dan hidup tenang tanpa menjadi bahan perbincangan, merasa sangat risih. Hi
Benar saja, setelah kejadian hari itu, Agam tidak lagi mencium tangan Rinjani sembarangan. Namun, tangannya yang usil, sesekali tetap mengelus kepala gadis itu. Tidak bisa dipungkiri, jika Rinjani juga mulai nyaman dengan elusan di kepala yang sering dilakukan Agam secara tiba-tiba itu. Hari-hari Rinjani terasa semakin berwarna karena tingkah konyol Agam. Hal-hal tidak terduga yang pria itu lakukan juga berhasil menciptakan senyuman di wajah gadis itu. “Khem! Anak papa kenapa, nih?” Rinjani seolah tuli dengan ucapan sang ayah. Gadis itu masih tetap fokus pada layar ponsel pintarnya sambil sesekali mengetikkan pesan sambil tersenyum. “Hei, kamu kenapa, Sayang? Kenapa senyum-senyum begitu?” ujar Tama yang sudah geram karena tidak dihiraukan oleh putrinya. “Eh, Papa. Sejak kapan Papa di sini?” tanya Rinjani sambil mematikan ponsel pintarnya dan meletakkan benda tipis itu di meja. “Sejak kamu dipanggi nggak nyahut, sejak anak gadis
Rinjani yang baru saja kembali dari kamarnya, merasa aneh saat melihat wajah Agam dan ibunya terlihat sangat serius. Keduanya terlihat tegang seperti baru saja membahas hal yang penting. “Kalian kenapa? Kok wajah Mama sama Agam serius banget?” tanya Rinjani sambil duduk di dekat sang ibu. Wajah Hanna melunak dan tersenyum kepada putrinya seraya berkata, “Nggak apa, kok. Kamu kenapa lama ke kamarnya?” “Rin abis mandi tadi,” sahut Rinjani singkat sambil terus menatap selikid ke arah Agam. “Emang mau kemana, Rin?” Rinjani menoleh malas pada sang ibu yang sedang berusaha menggodanya. “Rin mandi karena udah sore, Ma ….” “Ya sudah, kalian lanjut ngobrol berdua, ya. Mama mau masak,” pamit Hanna seraya berlalu ke dapur. Keheningan tercipta setelah Hanna pergi, hingga akhirnya Rinjani angkat bicara. “Tadi mama ngomong apa aja ke kamu, Gam?” “Bukan apa-apa kok. Cuma pembahasan ringan sama camer,” elak Agam disertai senyum nakal.
Kian hari, Rinjani semakin terbuka dengan Agam. Dinding pertahanan yang gadis itu bangun telah roboh. Traumanya, perlahan pulih. Agam berhasil membawa cahaya kembali ke dalam hidup Rinjani. Layaknya bintang yang menghiasi gelapnya langit malam, begitu pula Agam mewarnai kehidupan Rinjani. Libur panjang sekitar empat hari, dimanfaatkan oleh dua pasang kekasih untuk berkemah. Arsha, Samir, Agam, dan tentu saja Rinjani. Mereka berempat sedang melakukan perjalanan menuju sebuah bukit yang berada di puncak. Kesibukan dengan dunia perkuliahan cukup membuat pikiran mereka lelah. Jadi, saat ada kesempatan libur meski hanya empat hari, Agam mengajak teman-temannya untuk berlibur. “Nanti kalian bagian mendirikan tenda, ya. Biar aku dan Rinjani yang menyiapkan makan,” ucap Arsha kepada dua pria yang berada di kursi depan. Samir yang sedang mengendarai hanya melirik sekilas pada kekasihnya sambil tersenyum. “Kamu atur saja, Bee.” Suara gelak tawa
Arsha segera mendorong Samir menjauh. Napas keduanya terlihat putus-putus seperti baru saja lari marathon. Wajah Arsha sangat merah antara malu dan sedang meredam nafsunya. Samir tidak jauh berbeda, tetapi dia bisa lebih baik menyembunyikan hal itu. Tanpa berucap satu kata pun, Samir bangkit dan berlalu ke dapur. Pria itu tidak tahu harus berkata apa, karena sekarang kekesalan tengah menguasai dirinya. Sedangkan Rinjani bangkit dari duduknya seraya berkata, “Seharusnya kamu berterima kasih padaku karena sudah menyelamatkanmu dari penyesalan tak berujung.” Setelah berkata demikian, Rinjani berjalan keluar vila. Gadis itu duduk termenung di kursi depan vila. Matanya melihat rintikan hujan, tetapi tatapannya kosong. Dia sadar benar apa yang dilakukan tadi terlalu ikut campur. Namun, dia tidak bisa diam saja jika sahabatnya masuk lingkaran setan itu. “Rin,” panggil Agam seraya duduk di dekat gadis itu. Gadis itu masih tetap di posisinya, tan
Agam mendekat pada Rinjani dan memeluknya dari sambaing sambil mengusap-usap pundak gadis yang sedang menangis itu. “Dava, aku tidak berniat merebut posisimu di hari Rin, karena aku sadar itu tidak mungkin. Tapi aku berjanji, selama aku hidup Rin akan bahagia bersamaku.” Rinjani menoleh dan melihat Agam yang sedang mengucap sebuah janji sambil tangannya memegang batu nisan Dava. Hati Rinjani menghangat melihat ketulusan yang terpancar dari kedua bola mata Agam. Kepala gadis itu disandarkan pada pundak Agam. Dia dapat merasakan usapan lembut penuh kasih di kepala yang membuatnya semakin bahagia. Bahagia karena Agam berhasil mengentaskan dirinya dari belenggu lumpur penghisap, berupa trauma masa lalu. “Sudah? Jika sudah mari kita pulang.” Agam menoleh dan menatap Rinjani yang juga sedang mendongak melihat pria itu. “Sebentar, aku mau berpamitan pada Dava,” ucap Rinjani seraya melepaskan diri dari dekapan Agam. Jari lentik itu terulur, me
Malam itu juga, Rinjani dan keluarganya bergegas menuju ke rumah sakit, sesuai dengan apa yang diberitakan di televise. Gadis itu tidak henti-hentinya menangis dalam dekapan sang ibu. Pikiran Rinjani sangat kacau. Dia tidak sanggup jika harus mengulang kembai apa yang terjadi di masa lalu. hatinya tidak sekuat itu. Dalam mobil abu-abu yang melaju dengan kecepatan cukup tinggi, hanya suara isak tangis yang mendominasi. Rinjani terus menggeleng, berusaha mengusir pikiran buruk yang seperti monster dalam kepalanya. Suara sang ibu yang memberitahu berita tentang Agam terngiang terus terulang di telinganya. Hal itu sudah mengambil kewarasannya cukup banyak. Siksaan batin setelah hari ini dia baru saja merasakan bahagia, sungguh teramat menyakitkan. Memori indah tentang betapa dekatnya Rinjani dan Agam hari ini, seolah menjadi belati yang turut mencabik-cabik hatinya. “Ma, Rin takut. Rin nggak mau kaya dulu lagi, Rin nggak akan sanggup,” gumam Rinja