Emma mengambil keputusan untuk mencoba melarikan diri. Ia mendorong tubuh Nate, lalu hendak berlari ke arah pintu. Akan tetapi, Nate lebih tangkas daripada Emma. Seperti waktu itu, dengan mudah menangkap Emma yang sudah beberapa langkah darinya. Nate kemudian mengunci pinggang Emma dan mengangkat tubuh Emma kembali ke arah ranjang. “Apa yang kau lakukan?” Emma memekik sembari meronta. “Lepaskan aku, Nate!” Nate terdiam sejenak. Ia menutup mulut Emma dengan sebelah tangannya sekaligus mengurungkan niat membawa perempuan itu ke atas ranjang. “Diam di sini!” perintah Nate saat memasukkan Emma ke dalam toilet. Emma memelotot dan memaksa keluar dari toilet. “Aku akan berteriak kalau kau tak membiarkan aku pergi!” ancamnya. Nate menoleh ke arah belakang sejenak sebelum kembali menatap Emma. “Aku akan menyuruh orang datang ke rumahmu dan menculik ayahmu kalau kau berteriak!” balasnya. Ia lantas menutup pintu toilet setelah mengancam perempuan yang tadi sempat dicium dan dijamah olehnya
“Apa ada seseorang dalam toilet, Nate?” Mia penasaran. Nate terkesiap karena pertanyaan Mia. Ia sedikit melirik ke belakang tubuhnya. Tempat toilet berada, di dalamnya terdapat perempuan yang masih disembunyikan olehnya. Nate tak dapat membiarkan Mia mengetahui keberadaan Emma. Nate tak buta selama dua tahun menikah dengan Emma. Ia mengetahui dengan persis bahwa perempuan berusia lebih dari setengah abad yang merupakan ibunya lebih menyukai Mia daripada Emma. Nate tetap bersikeras menikahi kekasihnya meski ibunya memaksa memilih Mia. Sebagai gantinya, mereka tetap tinggal di kediaman Mordha agar dirinya tak terlalu menjadi anak durhaka. Perasaan Nate mengatakan jika Mia mengetahui keberadaan Emma, cepat atau lambat Josephine akan mengetahui tentang Emma. Ia tak mengetahui bagaimana hubungan dirinya dengan perempuan yang masih disembunyikan di dalam toilet ke depannya. Sebab itu, lebih baik tak membuat Josephine semakin membenci Emma. “Tak ada siapa-siapa di toilet, Mia,” jelas Nate
“Ini aku, Emma,” terang perempuan di hadapan Emma. “Paige.” Emma mengernyit. “Paige?” “Ya, Paige Anderson.” Dia tersenyum canggung. “Paige Hailey Anderson,” ungkapnya karena Emma masih tak mengingat dirinya. Emma sedikit membuka mulutnya karena terkejut. Bukan terkejut karena kaget, melainkan tak menyangka. Perempuan yang sedang berbincang dengan dirinya tak tampak seperti sekarang saat terakhir bertemu. Ya, uang bukan segala-galanya, tetapi uang bisa melakukan segala-galanya. Suntik sana sini, tarik ke kanan dan kiri atau mungkin pisau bedah dapat merubah wajah. “Oh hai,” balas Emma sembari mengatur raut wajah terkejutnya. “Apa kabar, Paige?” Emma dan Paige pernah bertemu beberapa kali saat menjadi model. Saat itu, Emma baru memulai karir sebagai seorang model, sedangkan Paige sudah memulai lebih dulu. Dapat dikatakan, Paige adalah seniornya. Emma pernah menjadi model karena tak sengaja bertemu dengan seorang pencari bakat. Ia masih seorang putri seorang pengusaha yang memiliki
Emma tiba di depan hotel mewah sebelum pukul tujuh malam. Hotel mewah berbintang lima yang memiliki bangunan berwarna abu-abu dan lantai sebanyak dua puluh. Ada dua buah pintu kaca tinggi dari lantai sampai menyentuh langit-langit yang bergerak berputar saat dilewati oleh para tamu hotel. Emma agak merasa heran karena harus menemui kenalan dari teman lamanya di sebuah hotel. Ketika pertama kali bertemu dengan seorang pencari bakat, dirinya diminta untuk datang ke kantor bukan hotel. Akan tetapi, naluri sebagai seorang kepala keluarga membuat Emma menutup mata. Ia menyingkirkan segala pikiran aneh dan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Emma hanya ingin segera mendapat pekerjaan demi memenuhi kebutuhan. “Kamar superior lantai sepuluh.” Emma mengingat-ingat pesan dari Paige. Sama seperti nama jalan tempat hotel itu berada. Emma langsung mengarah ke tempat lift berada. Ia masuk ke dalam lift, lalu menekan tombol angka sepuluh. Fokusnya hanya menemui kenalan dari Paige karena it
Emma berbalik ke arah toilet untuk mengambil pakaiannya. Ia ingin segera mengenakan kemeja dan rok miliknya, lalu pergi dari laki-laki tua bangka di hadapannya. Dalam hati, Emma merutuki diri sendiri yang tak pernah belajar dari pengalaman. Ia hanya ingin mencari uang dengan jalan yang benar. Namun, siapa sangka lagi-lagi dirinya harus terjebak bersama laki-laki mesum. George bergegas mengejar, kemudian menggendong Emma ke atas ranjang. Laki-laki tanpa sehelai kain pada tubuhnya sudah telanjur bergairah melihat tubuh perempuan dewasa yang masih tampak sempurna. Belum lagi, penolakan semakin membuat dirinya terpacu untuk memenuhi milik Emma. “Lepaskan aku!” teriak Emma. Ia memukul dan mendorong tubuh George yang sudah menindih tubuhnya, tetapi sebelah tangan George mencengkeram kedua tangannya. Emma terus berteriak dan memberontak karena tak ada waktu baginya untuk terisak-isak. Selain bertubuh gagah, laki-laki tua bangka itu juga mempunyai tubuh lebih besar dari Emma. Hanya butuh
Nate hendak makan malam bersama Mia di W Bar yang berada di lantai enam. Ia dan Mia baru saja keluar dari lift saat pintu lift sebelahnya juga terbuka. Rupanya, bukan hanya Nate dan Mia yang akan menikmati makan malam sembari disuguhkan pemandangan kota Chicago dari rooftop lantai enam, melainkan beberapa pasangan lain.Mata Nate menangkap sosok seorang perempuan berada di dalam lift yang dilewati olehnya. Di saat beberapa pasangan lain sudah keluar dari lift dan mengosongkan lift tersebut, perempuan itu tertinggal sendiri di dalam lift. Tentu saja, perempuan mengenakan kemeja merah muda dan rok pendek berwarna hitam menarik perhatian Nate.“Emma?” gumam Nate dalam hati.Jantung Nate berdetak sangat kencang saat melihat lift bergerak naik, alih-alih turun. Nate dengan cepat mengantarkan Mia ke arah W Bar dan meminta Mia menunggu dirinya di sana. Sementara laki-laki itu bergegas kembali ke arah lift. Ia memantau ke lantai berapa lift tadi membawa Emma.Jantung yang telah berdetak kenca
Emma sedang tak memakai pakaian yang layak, bahkan tak memakai alas kaki. Ia meninggalkan semuanya di kamar George. Lebih tepatnya, di dalam toilet kamar George. Perempuan itu terpaksa ikut dengan Nate menuju sebuah kamar suite seharga ribuan dolar per malam. Sebuah kamar suite dengan kelas tertinggi yang berada di lantai delapan belas. Ia pernah hampir datang ke sana saat laki-laki itu memberi pilihan sulit antara masuk penjara atau bertemu di hotel. Sekarang, dirinya benar-benar datang justru untuk bersembunyi. “Duduklah di sini,” pinta Nate seraya mengarahkan Emma pada sofa di ruang tamu. Emma beberapa kali mengusap air mata dengan punggung tangannya. Perempuan tangguh itu pun sesekali bisa lemah kala berhadapan dengan kejadian menakutkan. Bagaimana tak menakutkan ketika dirinya digendong ke atas ranjang oleh laki-laki yang tak mengenakan sehelai kain pun di tubuhnya. “Minum ini.” Nate memberikan sebotol air mineral yang baru diambil dari kulkas. Emma tak mengambil air mineral
Mia tiba di lantai delapan belas tepat ketika pintu lift di sebelah lift yang tadi membawa dirinya hampir tertutup. Lift sebelah itu membawa tunangannya bersama perempuan lain. Kedua tangannya mengepal erat karena pasangan di dalam lift bahkan tak menghiraukan dirinya. “Argh!” pekiknya saat lift mulai bergerak turun. Niat hati ingin membuat Nate benci pada sang mantan istri. Namun, justru membuat keduanya semakin tak bisa dipisahkan. “Sialan kau, Emma!” umpatnya. Mia mengambil ponsel dari dalam dompet bermerek yang dihadiahkan oleh Nate. Perempuan itu sengaja memakai semua pemberian tunangannya saat makan malam untuk membuat terkesan. Akan tetapi, justru malah ditinggalkan. “Dasar perempuan jala—” Mia tak melanjutkan kata-katanya karena Josephine mengangkat panggilan teleponnya. “Halo, Mrs Mordha.” “Mia, apa kau tahu baru jam setengah tiga pagi di sini?” protes Josephine disusul suara menguap dari balik ponsel. Mia mengubah nada suaranya menjadi tersedu-sedu. “Maafkan aku, Mrs M