Share

BAB 3

Sejak malam tadi hingga pagi ini Meika belum bangun sama sekali. Malvin menyuntik Meika dengan bius yang sangat ampuh yang bisa membuat mereka yang terkena suntikannya tertidur dalam waktu yang cukup lama.

Malvin adalah dalang di balik insiden malam tadi. Semua ia rencanakan dengan amat matang. Bermain secara tenang, lihai, dan cerdik. Sehingga rencananya tidak terendus sama sekali oleh Azkara, tangan kanan beserta ajudan dan anak buahnya.

Ia memendam rasa cintanya pada Meika dan tak pernah menunjukkannya sedikit pun pada siapa pun. Saat mengetahui dambaan hatinya akan menikah dengan orang lain sebulan yang lalu, ia tak rela. Timbul hasrat untuk merebut dan memiliki Meika yang kini sudah bersuami. Sungguh ambisinya begitu besar.

Azkara kini berada di rumahnya. Ia masih tidur. Sejak dalam perjalanan pulang menuju ke rumahnya malam tadi, Azkara masih merasakan kantuk yang luar biasa. Kepala terasa berat dan pusing, tangan kebas kesemutan, serta napasnya pun tersengal-sengal. Alhasil dirinya kembali tertidur dan tak bisa menahan diri.

Ia sudah khawatir terhadap ledakan yang terjadi di gedung dan berusaha untuk menangani masalah tersebut, tetapi ia tak kuasa menahan kantuk. Jadilah Arland yang mengurus segalanya. Obat pereda yang ia minum hanya memberikan sedikit pengaruh. Nampaknya obat tidur yang diminumnya sudah termasuk dosis tinggi.

Di ruang kerja, Arland sedang mengutak-atik laptopnya. Ia mencari rekaman CCTV yang dipasang di samping gedung yang sempat ia salin sebelum ledakan terjadi. Saat mencari, ia tak menemukan kejanggalan. Rekaman CCTV di samping gedung tersebut merekam sekitaran tiang kabel listrik yang terputus. Anak buahnya telah menyelidiki dalang dari putusnya kabel itu dan melapor padanya bahwa rekaman CCTV pada waktu sebelum padamnya listrik tidak ada. Melainkan sudah dihapus permanen.

"Ada yang menghapus rekaman sebelum listrik padam. Pasti ada seseorang yang masuk ke ruangan kontrol CCTV," gumam Arland yang sedang berpikir.

Gio datang ke ruangan Arland. Tangannya mengetuk pintu seraya berkata, "Permisi Pak."

"Silakan masuk!" jawab Arland dari dalam ruang kerja.

"Pak, ini data kerugian gedung yang harus dibayarkan beserta kerugian lainnya," ucapnya. Map yang dibawanya diletakannya di atas meja Arland.

"Terima kasih. Bagaimana keadaan Vyan dan ketiga lainnya? Apa lukanya parah?" tanya Arland.

Gio menarik napas dalam. "Rio salah satu dari mereka, dikabarkan pagi ini menghembuskan nafas terakhirnya, Pak. Sejauh ini keadaan yang paling kritis adalah dia. Vyan menderita luka bakar kecil di bagian punggungnya Pak, tapi sekarang ia masih belum sadarkan diri. Sementara dua orang lagi luka bakarnya juga tidak terlalu serius dan sekarang sudah siuman," tukasnya.

"Innalillahi wa inna ilaihi roji'un. Sampaikan belasungkawa dari kantor terutama dari Tuan Muda Azkara kepada keluarganya dan berikan pada keluarganya santunan belasungkawa, nominalnya akan saya kirim. Kau datanglah ke sana sebagai perwakilan dari Tuan Muda dan Perusahaan. Tetap jalankan perawatan yang kondusif pada mereka sampai mereka benar-benar pulih. Saya butuh penjelasan dari Vyan."

"Siap laksanakan, Pak! Saya permisi," pamit Gio lalu melenggang pergi.

Arland lanjut memeriksa rekaman CCTV yang terpasang di tempat kontrol atau tempat pemantauan CCTV. Pasti orang yang menghapus rekaman itu akan terekam.

"Tidak ada juga, apa-apaan ini!" pekiknya.

Ia tak menemukan adanya orang yang mengutak-atik layar monitor ataupun menghapus memori penyimpanan juga Micro SD. Hanya ada dia dan beberapa anak buahnya yang terekam, selebihnya tidak ada yang mencurigakan.

'Aku akan membicarakan ini dengan Tuan Azkara saat ia sadar nanti,' ungkapnya dalam hati.

Tangannya kemudian beralih mengambil map yang tadi dibawa Gio. Matanya awas membaca, tak ada satu huruf dan satu angka pun yang terlewat.

Ia menyibak rambutnya yang sedikit panjang itu ke belakang karena menutupi matanya.

Arland memijit pelipisnya. "Kerugiannya cukup lumayan. Diperlukan tanda tangan Tuan Azkara secepatnya untuk menyetujui anggaran yang dikeluarkan untuk hal ini. Bisa saja mereka akan menuntut lebih."

Ia menelepon mamanya Azkara. "Assalamu'alaikum, Nyonya, selamat pagi! Maaf menganggu waktunya. Apakah Tuan Muda sudah bangun?" tanyanya.

"Wa'alaikumussalam, belum Lan. Tadi saya lihat dia tertidur masih lelap sekali. Coba kamu ke rumah saja jika memang ada hal penting yang ingin dibahas dengannya. Sekalian saya mau bicara denganmu," pinta Mahira padanya.

"Baiklah, Nyonya, sekarang saya akan ke sana. Karena memang ada hal yang sangat penting menyangkut Tuan Azkara dan perusahaan. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumussalam." Sambungan telepon pun terputus.

Saat ia hendak bangkit dari duduknya, seorang perempuan datang dan menggebrak mejanya. Hal itu pun membuat Arland terkejut dan mengurungkan niatnya untuk bangkit dari duduk.

"Kau!" bentak perempuan itu. Telunjuknya menunjuk wajah Arlan.

"Apa yang terjadi pada adikku, hah?! Kondisinya buruk, dia dicekoki obat tidur! Kemana pula istrinya itu? Lalu terjadi ledakan bom di gedung pernikahan mewah adikku. Keamanan macam apa yang kau siapkan untuknya?! Sampai-sampai di sana terdapat bom! Sungguh kau tidak becus menjalankan tugas hingga adikku, keluargaku, dan juga perusahaan harus kena imbasnya. Nama perusahaan ini bisa rusak akibat ulahmu yang tak becus! Berapa banyak kerugian yang harus dibayarkan?!" tuntut perempuan bernama Liza. Ia sangat geram dan benci pada Arland.

"Maaf, Nona Liza bersabarlah. Ini semua sudah di luar kendali saya," sela Arland dengan wajah tanpa ekspresi.

"Maaf kau bilang? Cihh! Seharusnya kau menyewa polisi atau ajudan saja atau kalau perlu tentara. Sekaligus kau undang saja semuanya untuk datang!" cetusnya.

"Dan perempuan itu, ada baiknya dia menghilang. Jangan-jangan ini siasatnya, hah?! Atau kau bekerja sama dengannya atas kejadian itu?" sambungnya ceplas ceplos.

"Anda salah paham, Nona Liza! Saya tidak bekerja sama dengan Nyonya Meika atas kejadian itu. Tuduhan Anda itu salah besar! Nyonya Meika menghilang, bisa saja ia diculik oleh orang yang menyebabkan ledakan bom itu. Kami masih mencari Nyonya Meika dan menyelidiki masalah yang terjadi ini. Mengenai Polisi atau ajudan, itu juga sudah saya siapkan, hanya saja kejadian itu sangat cepat dari kesigapan kami. Bukankah Tuan Azkara selalu memiliki banyak ajudan?" sergah Arland pada Liza lalu ia berdiri dari duduknya.

"Pandai sekali kau mengarang cerita! Aku tak peduli. Secepatnya kau akan berhenti dari pekerjaanmu ini. Aku tak sudi lagi melihatmu bekerja pada adikku dan perusahaan ini. Kau tak becus!"

Lagi-lagi Liza mendoktrin dirinya. Arland yang malas menghadapi perempuan itu beranjak pergi. Tanpa adanya masalah pun Liza tetap mencari-cari kesalahannya sekecil apa pun itu lalu membesar-besarkannya agar Arland dipecat dan terusir. Sedari dulu wanita itu memang tak pernah berubah. Selalu saja membenci dirinya.

Sebelum pergi ia berkata, "Maaf Nona, terserah Anda saja. Saya juga tidak peduli. Saya harus pergi karena ada hal yang lebih penting untuk saya urus. Saya permisi," kilah Arland lalu pergi membawa laptop dan map meninggalkan Liza seorang diri.

"Hey! Aku belum selesai bicara!" teriak Liza, ia memandang punggung lelaki yang semakin menjauh itu.

"Dasar anak pungut tak tahu diuntung!" cibirnya. Kakinya menendang kursi Arland.

"Awss, sakit." Ia meringis kesakitan setelah punggung kakinya meleset membentur kaki meja.

"Tidak orangnya, tidak benda mati yang ia punya pun selalu saja menyusahkanku. Sungguh menjengkelkan!" teriaknya marah-marah.

Ia mengusap punggung kaki kanannya yang memerah. Setelahnya, ia berjalan keluar dengan keadaan yang masih jengkel dan sesekali ia mengangkat sebelah kakinya itu hanya untuk sekedar mengelus agar sakitnya hilang.

Azkara sudah bangun, tampaknya ia tak merasakan kantuk lagi. Bergegas ia mandi. Setelahnya, ia bersiap-siap memakai kemeja dan jas kerja.

Ia bercermin memandang dirinya, sesaat kemudian Azkara terbayang wajah istrinya. Dia menunduk lalu menyugar kasar rambutnya yang sedikit panjang.

Rambut dengan model Comma Hairstyle sangat cocok dengannya. Kulit putih dan jambang tipis yang ia punya menambah kesan ketampanannya. Hidungnya pun mancung, serta warna matanya cokelat terang.

Ia juga tinggi, postur badannya bagus. Dia sering berolahraga dan ngegym sehingga menghasilkan otot lengan dan otot perut yang indah. Meski sekarang ia agak kurusan, tak menampik karisma yang ia miliki.

Wajahnya terlihat masih murung. Hal yang ia idamkan nyatanya pagi ini tak terjadi padanya, padahal ia adalah pengantin baru. Belum sehari ia menjadi pasangan suami-istri, Meika menghilang.

Semalam selesai ijab qabul pada pagi hari, mereka langsung mengadakan pesta resepsi pernikahan di malam harinya. Resepsi pernikahan rencanya akan diadakan dua kali, yang pertama pada malam hari di gedung megah yang sudah disewanya itu dan yang kedua adalah dua hari setelahnya di hotel yang ia miliki.

Azkara menyalakan laptop yang tergeletak di atas meja kerjanya lalu membuka file rekaman CCTV kamar pengantin. Ia menonton rekaman yang di mana terdapat ia dan istrinya serta beberapa orang MUA.

Ia mempercepat rekaman menjadi pukul delapan malam. Terlihat ia sedang meminum teh yang diberikan Meika, setelahnya mereka berbincang sebentar. Meika terlihat beranjak dari kasur tempat di mana ia dan Azkara duduk. Dia masuk ke dalam kamar mandi dengan tangannya menenteng gaun pengantin.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status