“Dan aku percaya kau masih mencintaiku,” tambah Carissa. Melangkah semakin dekat ke meja Jerome, menyandarkan tubuhnya di sana. Matanya melekat erat dalam pandangan Jerome.
Dengan kedua siku bersandar di lengan kursi, Jerome menautkan kedua tangannya. Tak ada ekspresi apa pun yang terlihat di wajahnya dan suaranya setenang air danau saat membuka mulut lagi. “Dan apa yang kauinginkan dengan mengatakan kata-kata itu?”
Carissa tersenyum. “Aku ingin kembali padamu.”
“Sayangnya aku sudah menikah.”
“Kau tidak benar-benar menginginkan wanita itu.”
Mata Jerome sedikit menyipit. Bibirnya menyeringai tipis. Tahu benar wanita itu tak akan berani kembali ke kehidupannya dengan tangan kosong. “Dan sepertinya kau pun tidak benar-benar masih mencintaiku, Carissa. Kau yakin kau kembali padaku karena masih mencintaiku? Atau karena pria itu sudah mencampakkanmu?”
Carissa mengerjap sekali.
Jenna pun tak mengharapkan keinginannya akan terkabul semudah itu, terutama jika berhubungan dengan Liora.“Hubungan apa pun antara kau dan Liora, selesai saat kalian bertukar tempat. Memberikan dirimu sebagai bayaran atas pengkhianatannya. Selesai.”“Kenapa harus aku? Kenapa bukan wanita-wanita itu.”“Siapa yang menyuruh wajahmu sesuai dengan seleraku. Apakah itu cukup dijadikan alasan agar kau tidak mengungkit-ungkit hal ini lagi, Jenna?” Jerome berusaha menahan ketidaksabarannya. Jenna sudah tahu Liora berada dalam genggaman tangan Carissa. Carissa bisa menggunakan Liora untuk memperdayai Jenna, begitupun sebaliknya. Jenna akan menggunakan Carissa sebagai kesempatan untuk lepas dari cengkeramannya.“Bukan karena kau tidak bisa melupakan wanita itu?” sengit Jenna. Menahan remasan di dadanya yang semakin mengetat.Jerome seketika terdiam. Matanya menatap lurus manik Jenna dan menangkap kecemburuan ya
Jerome berhenti mengunyah, mengamati Jenna yang sibuk melahap nasi di piring. Nyaris seperti seorang yang kelaparan. Dan itu tidak terlihat ada hubungannya dengan menurunnya selera makan Jenna selama beberapa hari terakhir.“Ada apa?” Jenna mengangkat wajahnya, merasakan pandangan Jerome yang seolah menguliti dirinya.Jerome menggeleng. “Hanya … kau terlihat seperti tiga hari tidak makan.”Jenna menunduk, menatap isi piringnya yang tersisa beberapa suap, dan ini adalah piring keduanya. Ia sendiri heran, kenapa seleran makannya kembali naik seperti ini. Selapar apa pun, rasanya ia belum pernah memakan makanan hingga selahap ini, dan bahkan sampai ke piring kedua.Kemudian kening Jerome berkerut, dengan kecurigaan yang perlahan memanjat naik ke kepala. “Apakah ini salah satu bentuk kepatuhanmu? Untuk mengalihkan perhatianku dari sesuatu yang mungkin sedang kau rencanakan di kepalamu?”Jenna kembali mengangka
Setelah lumatan itu berakhir, Jerome mengecup kening Jenna. “Kau yakin tidak menginginkan salah satu dari mereka?” Jerome melirik ke arah meja. Jenna menggeleng pelan dan mantap. Jerome menatap Jenna selama beberapa saat, kemudian ke arah meja. Menelusuri setiap perhiasan yang terhampar di hadapannya. Tampak menimbang-nimbang sejenak hingga kemudian mengulurkan tangan ke arah kalung dengan bandul permata berwarna biru gelap. Tidak terlalu besar dan tidak bisa dibilang kecil. “Sejak awal aku melihat ini dan kupikir ini cocok untukmu. Apa menginginkannya?” Jenna menatap kalung tersebut, kemudian wajah Jerome dan kembali ke telapak tangan pria itu. Jerome tak pernah bertanya keinginannya. “Anggap saja sebagai bentuk terima kasih,” tambah Jerome seolah meyakinkan. Saat itulah ia menyadari dan merasa canggung dengan kalimatnya sendiri. Ia tak pernah merasa perlu bertanya pendapat orang lain saat memberi hadiah. Semua pemberiannya selalu diterima dengan pen
“Dari kami masih bertunangan,” tambah Jerome. Yang membuat tubuh Jenna semakin menegang tak terkendali. “Apa ini juga salah satu alasan kau bersedia menggantikan tempatnya?”Jenna meneguk saliva. Pandangan Jerome melekat erat pada matanya, tak membiarkan dirinya berpaling sedikit pun.“Kalian berdua … Ah tidak …” Jerome menggeleng pelan. Membungkuk di depan Jenna sehingg pandangan keduanya menjadi sejajar, lalu telapak tangan Jerome menyentuh dagu Jenna. “Kau, Jenna. Aku tak peduli tentang Liora. Aku tak tahu berapa banyak lagi kesabaran dan pengertian yang harus kucoba berikan padamu. Semakin ke sini, semakin banyak rahasia yang coba kau sembunyikan dariku. Apa ada hal lainnya lagi yang masih kau simpan? Jujur, aku tak ingin merusak hubungan kita yang sudah muai berkembang membaik ini.”Jenna menggeleng sekali. Walaupun perkembangan hubungan ini masih belum cukup memuaskan bagi Jenna, rasanya J
Jerome tersadar, matanya mengerjap dua kali dengan cepat lalu mendorong wajah Carissa menjauh. Melempar lembaran yang teremas di genggaman tangannya sebelum melemparnya ke hadapan Carissa.Carissa tersentak dan tak menduga dengan dorongan keras Jerome yang berusaha membentangkan jarak di antara mereka.“Apa yang kauinginkan dari semua penjelasan ini, Carissa?”“Kau tahu apa yang kuinginkan, Jerome.”“Diriku?” dengus Jerome mencemooh.“Aku akan membiarkanmu membesarkan anakmu dan Jenna.”Jerome menggeleng. “Aku tak tahu apakah ini hanya dugaanku atau memang benar adanya. Sepertinya kau memang sengaja kembali ke hidupku setelah menunggu kabar ini, bukan? Kau kembali setelah memastikanku memiliki anak dengan wanita lain. Demi rasa bersalahmu yang tak akan bisa memberiku keturunan?”Mata Carissa mengerjap, seolah tertangkap basah dan ia pun tak menyangkal.“Kau ingin
Jerome terpaku, mengerjap beberapa kali untuk menetralisir keterkejutannya dengan ciuman Jenna. Sebelum kemudian tersadar, dan tak gayung bersambut. Jerome tak akan membiarkan kesempatan istimewa ini berlalu begitu saja. Ia membalas lumatan Jenna, dengan tak kalah agresifnya.Tak pernah cukup hanya dalam ciuman, gairah mengaliri setiap nadinya, kedua tangannya bergerak menelusup di antara pakaian Jenna. Dalam sekali gerakan ringan, ia mengangkat pinggang Jenna dan mendudukkan wanita itu di wastafel. Telapak tangannya menelusuri setiap inci kulit tubuh Jenna yang mulus dan lembut. Juga sepanas hasrat yang segera membara dalam tubuhnya. Semua percintaannya dengan Jenna selalu terasa nikmat sekaligus memberinya pengalaman baru. Menjelajahi setiap sudut tubuh wanita itu dan tak akan pernah puas.Mengabaikan segala kekhawatiran yang sempat memenuhi kepalanya, Jenna membalas setiap lumatan dan sentuhan Jerome dengan lebih agresif. Memiliki pria itu untuk dirinya sendiri, dan
“Kembar?” Mata Jerome nyaris jatuh ke lantai. Membelalak penuh ketakjuban. “Dua?”Jenna pun tak kalah terkejutnya. Menahan tawa dengan ekspresi yang terpasang di wajah Jerome.“Satu?” Dengan tangan kiri, Jerome menghitung dua jarinya di tangan kanannya yang berdiri. “Dua?”Jenna mengangguk mengiyakan. Dengan senyum yang tak kalah lebarnya. Kebahagiaan yang datang menerjangnya, terasa begitu melimpah. Berkali-kali lipat dengan ketakjuban yang memenuhi wajah Jerome. Kebahagiaan yang terlihat di wajah Jerome terlihat begitu tulus, bahkan saat pernikahannya dan Jerome, senyum pria itu tak selepas seperti saat ini. Seolah Jenna melihat sisi lain Jerome yang sebelumnya tak pernah terbuka. Tertutupi oleh sisi gelap pria itu yang terlalu padat.“Laki-laki? Atau perempuan?” tanya Jerome penuh keantusiasan yang tak bisa dikendalikannya. “Atau keduanya?”Sang dokter tersenyum. “Usia
“Di mana istriku?” tanya Jerome begitu berpapasan dengan salah satu pelayannya di ruang tengah. “Nyonya sedang di samping kolam renang. Jerome memberikan tasnya pada pelayan itu, lalu berbelok menuju lorong yang mengarah ke kolam renang. Menatap Jenna yang sedang duduk bersandar di kursi santai, dengan piring yang diletakkan di pangkuan. Sesekali angin bertiup melambaikan helaian rambut Jenna yang diurai. Wanita itu selalu membiarkan rambutnya terurai. Tanpa ada hiasan apa pun di kepala, tanpa polesan make up di wajah, dan tanpa alas kaki. Terlihat begitu polos dan ceria. Seperti anak kecil. Jenna yang tak menyadari kedatangan Jerome, terus melahap makananya. Sambil sesekali tersenyum dan mengelus perut wanita itu. Jerome pun yang menyaksikan hal itu tak bisa menahan senyum di wajahnya. “Jerome?” Jenna menoleh ke belakang. Terkejut menemukan keberadaan Jerome yang bersandar di pinggiran pintu kaca. Dengan kedua tangan bersilang dada. Mengamatinya dari