Terkadang aku rapuh, menyembunyikan semua beban dengan senyuman manis yang dilihat semua orang. Namun nyatanya, aku lebih menderita jauh dari pemikiran kalian sekarang.
-Mery Theresia-Hal yang menyenangkan bagi Mery jika dapat berkumpul bersama temannya malam ini, Tasya dan Raya senang hati mengiyakan permintaan Mery untuk menginap di rumahnya. Sebab itu saat ini kamar Mery penuh dengan bungkus makanan, Raya seenaknya memakan camilan dan memanfaatkan fasilitas kamar Mery yang tidak lain adalah TV LED. Sementara Tasya, dia terlihat sibuk berkutat dengan macbook Mery.
"Emang bokap lo kemana lagi, Ry, Bukannya baru pulang dari Amerika? enak bener bisa bolak-balik seenaknya kayak setrikaan," tanya Raya. Dia menatap ke arah layar yang menampilkan drama Korea sambil memakan camilan.
Mery memutar bola matanya malas. Bukan hanya itu, dia juga malas memperhatikan ayahnya. "Gue nggak tau, nggak penting banget, apa emang urusannya sama gue?" sahutnya sekenanya.
"Lo udah nyiapin semuanya, Al ? besok kak Bima minta kita ngumpul sebelum pukul tujuh, menurut gue harus selesai malam ini juga," tanya Kevin. Memutar tubuh menghadap Aldevan. Aldevan menggeleng, malam ini sungguh melelahkan baginya, bukan uring-uringan di kasur dia justru sibuk mempersiapkan pertunjukan eskul besok. Bukan hanya mereka, para anggota OSIS lain juga sibuk mempersiapkan panggung dan sarana lainnya di lapangan sana. Arlan memijit pelipisnya, ia menaruh kardus berisi stick drum ke atas meja. "Menurut gue kita nggak bisa selesain malam ini juga, ada banyak barang terus properti eskul yang belum siap, gue udah capek banget, udah dua jam kita di sini. Mana nggak ada makanan lagi." Benar sekali, Kevin bahkan belum makan mulai siang tadi hingga perutnya yang keroncongan membuat Arlan tertawa renyah. "Haha, cacing lo minta dikasih makan," kata Arlan. "Gimana, Al ? Lo mau di sini sampai kapan?" Aldevan menghela berat, ia tak tau mau
Diangin Sepuluh menit gue nyampeLo tnggu dpn rumah Gk ush bntah Mery berdecak sebal, baru saja ia duduk menghadap cermin Aldevan sudah menchatnya dan mendesaknya dalam sepuluh menit. Ia tak habis pikir mengapa Aldevan memberinya sedikit waktu untuk berdandan. Mungkin dirinya memang terlalu cantik, hingga tak perlu pakai bedak dempul. Ho oh, gue doainlo kempes ban biartelatan dikit. Bodo amat Mery mendengus lagi, ia memilih mengiyakan saja perkataan Aldevan. Toh, ini juga hal yang baik. Berangkat bareng pacar baru. Merasakan angin pagi hari yang sejuk, atau pamer pada teman-temannya plus sama adik kelas biar dia iri gak ketulungan. Mery mengambil bedak di atas meja, mengoleskannya rata pada pipi dan wajahnya yang mulus. Sungguh, ia cukup bersyukur Aldevanugerahi wajah secantik ini. Ia lalu mengoleskan sedikit liptint pink yang cocok untuk warna bibirnya. "Cakep dah. Cantik banget gue ya. Haha."
Sebuah mobil berwarna silver berhenti di depan gerbang SMA Bakti Buana, sosok gadis berambut selengan yang keluar dari mobil itu membuat beberapa pasang mata menoleh. Wajah yang sangat asing, beberapa pasang mata bahkan mengerjap memastikan siapa gadis itu. Namun nihil, tak ada yang mengenalinya, mereka pun kembali pada aktivitas masing-masing. Gadis itu tidak lain adalah Hana, ia mengedar pandang setelah menutup pintu mobil. Ya, ini adalah hari pertamanya sekolah di SMA Bakti Buana. "Gimana menurut kamu? Bagus?" tanya Haris–-ayahnya Hana yang sudah berdiri di sampingnya sambil mengusap turun rambut Hana. "Bagus kok Pa, Hana suka, meski masih bagusan di London sih," jawab Hana. Haris tersenyum. "Iyalah. Ini Indonesia. Bukan London. Kamu mau Papa antar sampai ke kelas?" Hana menggeleng, ia masih kuat berjalan. Toh, apa kata orang-orang nanti jika melihat Haris, bisa-bisa dia disamakan dengan anak SD yang baru masuk sekolah.
"Kampret temen gue, lo habis berantem?" "Bukan urusan lo." Aldevan mendekati Arlan dan mengambil alih kardus besar itu tanpa merasa berat sedikitpun. "Gue ada macet di jalan tadi, lo jangan kira gue telat bangun." Arlan maupun Kevin sama-sama melongo, melihat satu temannya itu mengangkat kardus yang sebelas dua belas dengan berat badan Arlan. Tatapannya, dari sorot cowok itu Kevin telah menyimpulkan sesuatu. "Buset dah, yakin gua lo habis berantem. Setidaknya lo ngomong kalo ada masalah, siapa tahu kita bisa bantu," saran Kevin, lalu melirik sekilas Mery. "Bantuin kaki gue dulu ogeb, seenak jidat lo timpukin tuh kardus ke kaki gue. Sialan!" Arlan mendekat dan menjitak kepala Kevin keras membuat cowok itu meringis sesaat. "Iya nyet iya, entar kita ke UGD." "Kampret!" Kevin menatap Mery, sementara Aldevan berjalan sambil membawa kardus besar tadi ke back stage, banyak pertanyaan yang ia bendung di otak
Sesuai perintah Aldevan, Mery berjalan menuju perpustakaan, tempat yang bahkan tidak pernah sama sekali ia kunjungi itu. Dari dulu, Mery memang malas pergi ke perpustakaan, menurutnya itu hanya membuang waktu apalagi aura nerd berhamburan di sana. Dengan langkah malas, ia melewati koridor sambil sesekali melirik ke samping, tentu saja ia takut ketahuan Bu Martha. Beberapa kelas dengan murid di dalamnya sudah duduk rapi. Meski begitu Mery ogah mempedulikan kelasnya yang kemungkinan melakukan hal sama. Sesampainya di perpustakaan, mata Mery langsung menangkap sosok Aldevan yang duduk pada salah satu kursi sambil fokus membaca buku, saking fokusnya cowok itu tidak menyadari kehadiran Mery. Mery mendengus, apakah Aldevan ingin mengajarkannya sesuatu? Kalau tau begitu sih, mending dia kabur saja. Males bgt gue disuruh belajar, batin Mery. Berniat kabur, Mery berbalik namun deheman seseorang menghentikkan langkahnya. "Ekhem, mau kemana lo?"
Pertunjukkan eskul berlangsung sekitar lima menit lagi, setelah kepala sekolah SMA Nishida memberikan sambutan langsung di atas panggung dengan pidato panjangnya. Semua siswa juga telah hadir demi menonton, mereka mengambil tempat pada setiap koridor depan kelas mereka. Ada juga yang memilih menonton dari atas rooftop karena koridor bawah sudah penuh hingga beberapa siswa sempat berdesakan. Dian, cowok itu tengah berdiri di sisi lapangan demi mengambil gambar setiap pertunjukkan. Hal yang biasa ia lakukan jika ada event-event seperti sekarang. Sementara Arlan dan Kevin berada pada dua sisi yang berbeda, Arlan sibuk berbincang dengan Hana yang berada di rooftop dan Kevin pada sisi kiri lapangan. Kevin berdecak tidak sabar, dia mendongak dan melambaikan tangan pada Arlan. "WOY! ARLAN, TURUN NYET. BENTAR LAGI MULAI." Dari kejauhan, Arlan nyengir. Di sebelah cowok itu ada Hana. "Bentaran doang! Lu mah, ngiri!" Aldevan yang menyadari hal itu
Kenapa lo tiba-tiba bawa gue menjauh? Gue masih mau ngobrol sama Hana," tanya Mery. Berusaha mensejajarkan langkahnya dengan Aldevan. Jika semua pasang mata justru terpaku pada teater yang mulai diiringi musik di panggung sana, tidak bagi Aldevan, cowok itu malah membawa Mery menuruni tangga. "Lo kenal Hana?" tanya Aldevan to the point. "Baru tadi, lo kenal? Mukanya kayak nggak suka amat gitu." Aldevan menghela berat, jangan lupa jika tangan mereka masih menggenggam erat, mengundang teriakan histeris para siswi ketika mereka lewat. Njass dah, pamer bet tuh adek kelas Alah, kutil cicak. Gue juga bisa. Aduh abang ganteng pamer kemesraan. Iya tuh, gak tau apa adek lagi jomblo. Umpatan itu terdengar jelas sepanjang lorong yang mereka lewati, dari rooftop sampai kaki mereka memijak anak tangga terakhir, suara itu masih menusuk pendengaran mereka namun Aldevan enggan mempedulikannya. Oke, kembali ke topik. Ald
Dua bola mata itu membulat sempurna ketika mendapati pemilik suara, Hana buru-buru memalingkan muka dan berusaha setenang mungkin menghadapinya. "Jangan takut, gue nggak seember yang lo kira. Maaf gue lancang ngedenger omongan lo." Cewek itu mengulas senyum tipis, ia menepuk bahu Hana. "Lo suka Aldevan sejak kapan?" Hana menahan napas beberapa saat, matanya memicing seolah meragukan cewek berkacamata di hadapannya kini. Jelas, lihat saja dari penampilannya yang cupu. "Lo siapa? Kelas berapa? Kenapa lo nguping?" cecar Hana takut. Cewek itu menaikkan alisnya lalu tertawa pelan. "Nanyanya slowan dikit, gue Hanasa. Kelas X IPS-2," jawabnya santai. "Lo sendiri, nama lo Hana, kan?" Tentu saja Hana terkejut, ia melontarkan tatapan sinis pada cewek bernama Hana itu. "Darimana lo tau, lo juga nggak bisa sopanan dikit sama kakak kelas? Setidaknya lo manggil gue kakak," ujar Hana bersedekap. "Harus? Gue sendiri merasa sia-sia," ujar Hanasa.