Aldevan mengusap wajahnya gusar, mungkin antara keberadaan Mery yang tiba-tiba menabrak dirinya hingga dadanya terasa sakit atau taruhan Arlan yang tidak main-main. "Rese! Kepala lo itu udah kayak batu, mana ada siang bolong gini hantu?!" celetuk Aldevan mengambil jaketnya yang terjatuh. Mery mengusap lehernya salah tingkah, dilihatnya wajah Aldevan sambil mengangkat dagu menantang. "Oke kalo lo nggak percaya. Gue bisa buktiin." Mery meraih tangan Aldevan, tanpa sadar cewek itu menuntunnya hingga beberapa langkah. Tapi ditepis oleh Aldevan. "Gak usah pegang-pegang!" ketus Aldevan. Mery mengibaskan tangannya. "Siapa juga yang pegang-pegang tangan lo." Lah, terus tadi lo ngapain? Pegang tangan setan? Aldevan hampir saja mengeluarkan pertanyaan itu jika tidak menutup mulutnya rapat-rapat. Arlan dan Kevin saling berpandangan heran, mereka hanya bisa mengikuti dua orang di depannya menuju taman belakang sekolah. Terpaksa Kevin tahan
Mery tidak tahu harus berbuat apa ketika cowok di hadapannya ini menguatkan pelukan di pinggangnya. Padahal Mery sudah berkata dengan mata yang mulai berkaca-kaca. "Lepasin gue, Ren. Gue gak bisa." Mery berusaha melonggarkan pegangan tangan Rendi dari pinggangnya. Namun tenaganya kalah kuat dari cowok itu. "Kenapa gak bisa? Lo lupa sama kejaAldevan tiga bulan lalu? Gue sayang sama lo, Ry." Rendi meniup-niup telinga Mery, dia tidak peduli seberapa kuat usaha Mery melepaskan tangannya. "Gue emang pernah ngelakuin itu sama lo, tapi itu bukan berarti lo bakal selamanya jadi milik gue, Ren. Sekarang lepasin gue, lo gak bisa kayak gini. Cepetan!" suara Mery meninggi. Mungkin menurut Mery mempermainkan hati cowok itu biasa. Terlampau dari apa yang ia lakukan dulu, dan Rendi menjadi salah satu korban permainan hatinya.Rendi menggeleng kuat. "Gak, pokoknya lo harus jadi milik gue," titah Rendi. Mery menggeleng cepat, masih berusaha melepaskan
"Kakak nggak usah kaget gitu, kebetulan Mama aku juga minta beliin barang yang sama." Sarah tersenyum seraya menyodorkan dua barang itu pada wanita tadi, sementara Aldevan mengangkat bahunya acuh, tidak peduli. Sarah tidak menyerah, dia terus bersuara lagi. "Aku denger kakak ngucapin kata Ventylin-ventylin gitu... jadi aku pikir barang yang Kakak beli sama kayak aku. Dan ternyata bener." Aldevan manggut-manggut, mau sebanyak apa Sarah menjelaskan dia juga tidak mengerti. Toh, Aldevan tidak tahu bentuk barang itu seperti apa. Jadi, ia pasrah saja pada pilihan Sarah. "Kakak kenapa harus beli itu? Emang siapa yang pake?" tanya Sarah basa-basi, sekedar mengikis kecanggungan antara mereka. yang ditanggapi Aldevan dengan muka datar saja. "Bukan urusan lo!" Sarah kembali mengerucutkan bibir, berbicara dengan kakak kelasnya satu ini memang harus siap mental diketusin. Tidak jarang orang yang ingin berbicara dengan cowok itu, selalu berakhir pilu.
Sarah baru saja pulang dengan membawa satu kantong plastik berisikan pesanan mamanya. Ia menaruh plastik itu di meja dekat sofa. Matanya melirik seorang cewek yang tengah bermain ponsel. "Nih pesenan Kakak. Tapi kenapa harus minta aku pake bohong segala sih?" tanya Sarah pada kakaknya. "Diem lo, gak usah ikut campur. Turutin apa kata gue aja. Udah sana masuk kamar!" perintah cewek itu, Sarah langsung memayunkan bibir dan mengibaskan tangannya ke udara. "Mending aku nonton anime daripada nurutin perintah kakak yang gak baik itu," timpal Sarah lalu melesat masuk ke kamarnya. Cewek itu memutar bola matanya malas. "Yee bocah mana tau!" Sepeninggal Sarah cewek itu lalu menekan dial panggilan, menelpon seseorang sambil melirik ke arah kiri dan kanan seolah takut ketahuan. Soal barang itu, ia sengaja meminta Sarah untuk berbohong. Telepon tersambung, cewek itu lantas menyapa. "Halo. Assalamualaikum, Kak." Waalaikumsalam, gimana tadi l
Cahaya masuk melalui celah kecil di kamar Aldevan, membuatnya terbangun dari tidur padahal lagi enak-enakkan larut dalam alam mimpi. Ia mengucek-ngucek matanya, sebelum kemudian melirik jam weker yang ternyata menunjukkan pukul 6 pagi. Sengaja ia tidak memasang alarm untuk membiasakan diri bangun pagi, walau terkadang itu justru membuatnya telat. Ia bergegas beranjak dari kasur setelah menyambar handuknya yang menggantung. Karena kamar mandinya melewati ruang makan, matanya tidak sengaja menangkap sosok Anggie sedang menyiapkan sarapan. "Kamu mau makan dulu?" tanya Anggie, Aldevan menggeleng sopan kemudian masuk ke kamar mandi. Namun baru saja melangkah kamar mandi Aldevan tersentak kaget melihat Mery sedang menggosok gigi. Aldevan yang saat itu hanya memakai celana boxer membuat Mery melongo. "Ngapa lo liat-liat?" Aldevan berucap ketus, Mery masih melongo dengan sikat gigi yang menempel di mulutnya. Tubuh atletis dan perut kot
Saat ini, puluhan pasang mata sedang menatap sinis dua manusia berbeda gen itu, Aldevan menggendong Mery melewati banyaknya kelas terutama kelas sepuluh. Matanya memandang sinis tiap orang yang melihat mereka. Dari berbagai mimik yang paling sering Aldevan temukan itu adalah tatapan terkejut. Ada beberapa juga yang diam-diam mengeluarkan ponsel lalu memotret mereka. "Romantis bangett," seru adik kelas yang lewat di samping Aldevan. "Iya tuh, kayak adegan di novel atau film-film. Jadi pengen juga deh," sahut salah satunya. "Kak Aldevan mau-maunya sih gendong cewek bengal kayak si Mery itu?" Setidaknya itulah umpatan yang berhasil menembus telinga Aldevan, kalau saja ini bukan sekolah, dengan senang hati ia akan melempar langsung Mery ke got sampah. Sementara Mery hanya terdiam, dia memandang Aldevan tanpa kedip, entah kenapa jantungnya memacu lebih cepat dari biasanya. Mery juga kaku, sulit bergerak apalagi harus mengalungkan tangannya di leher
Kali ini Pak Yoshi tidak main-main dengan hukumannya, jika dulu guru berumur 45 tahun itu membiarkan saja murid yang berbuat onar melaksanakan hukumannya atau tidak, sekarang sungguh berbeda. Tampaknya Pak Yoshi sangat kesal akibat ulah Mery. Seragamnya keciprat teh panas sekaligus buku beliau kotor tertumpah teh itu. Dan di tepi lapangan inilah Pak Yoshi berada, beliau berkacak pinggang sambil mengamati Mery memungut sampah. "Cepat Mery, kamu mau saya menunggu berapa lama?! Saya sudah kepanasan," seru pak Yoshi sambil mengipas-ngipaskan tangannya. Mery menoleh, ia menyelipkan poni ke telinga. "Iya Pak iya. Heh, Bapak kira saya tukang sampah? Lapangan bersih gini dibilang kotor. Situ buta atau picak?" Pak Yoshi melotot, Mery lagi-lagi membuatnya naik pitam, tapi pak Yoshi berusaha sabar mengelus dada. "Saya masih bisa mendengar Mery, kamu mau saya tambah hukumannya lagi?" Mery menggidikan bahu. Enggan menanggapi ucapan pak Yoshi
"Dasar mulut sampah! Lo nggak pernah diajarin jujur, huh?!" ujar Aldevan menatap Mery penuh amarah. Cowok itu langsung berdiri ketika mendengar penuturan Mery tadi. Sedangkan Mery hanya tertawa geli. Ia menatap Aldevan tanpa ada rasa takut sedikitpun. "Haha, iya deh iya. Itu gue jujur tadi." Aldevan berdecih. Meski ia tau Mery cuma bercanda, tapi kalimat itu sudah menyentil emosinya. "Emang kebenarannya—" "MERY!!" Aldevan marah. Benar-benar marah. Hingga tatapan tajamnya kini mengedar ke seluruh penjuru kantin. Mereka semua terdiam, memandangi wajah Aldevan dengan kerutan di kening. Mungkin ini sesuatu yang sangat mustahil di dengar, sekali pun dari mulut Arlan. Sahabat Aldevan sendiri. Kak Aldevan pernah ngelakuin itu sama cewek bengal? Oh my good, berarti cogan gue bibirnya udah ternodai virus rabies? Gue gak terima. Stt, kayaknya kak Aldevan mulai bernafsu deh. Adik kelas kok jadi laknat? Kita