Karena masih merasa hatinya tidak bisa tenang, Zidan yang belum sama sekali pernah bertemu Ana setelah berbulan-bulan, akhirnya kembali datang ke kafe Ana, tapi hanya sekedar duduk di mobil yang berhenti di seberang jalan. Zidan hanya berharap kalau bisa melihat wajah Ana meski sekilas. Hingga keinginannya itu benar-benar terkabul, Zidan melihat pintu kafe terbuka dan Ana berdiri seakan sedang menahan pintu itu untuk seseorang, Zidan terkejut ketika melihat siapa yang keluar.
Ana membukakan pintu untuk Mikayla, tersenyum hangat pada gadis itu.
"Ingat ya, Mik! Jangan melakukan hal aneh-aneh atau berpikir untuk mengugurkan kandungan itu. Besok kita ke rumah sakit untuk memeriksakan," ujar Ana.
Mikayla mengangguk, kemudian mengulas senyum untuk Ana. "Terima kasih ya, Kak! Meski aku sangat jahat, tapi Kak Ana masih mau membantuku," ucap Mikayla yang terharu dengan kebaikan Ana, melupakan sejenak kekurangan Ana dan meng
Hari berikutnya, Ana benar-benar mengantar Mikayla memeriksakan kandungannya. Ana sudah menunggu Mikayla di rumah sakit karena gadis itu sedang dalam perjalanan. Beberapa menit kemudian Mikayla tampak turun dari sebuah taksi, langsung mengulas senyum begitu melihat Ana yang menunggu di poli kandungan."Maaf Kak kalau lama," ucap Mikayla jadi sungkan."Iya, nggak apa-apa. Aku sudah daftarin kamu, tinggal nunggu giliran," balas Ana dengan senyum hangat.Mikayla mengangguk, kemudian mereka duduk menunggu perawat memanggil nama Mikayla. Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya giliran adik Zidan itu pun tiba. Ana ikut masuk ke ruang pemeriksaan untuk menemani.Dokter perempuan menyambut keduanya, lantas menanyakan banyak hal tentang terakhir tanggal kedatangan tamu bulanan, hingga akhirnya memperkirakan umur janin yang ada di rahim Mikayla."Usia kandungan memasuki umur tujuh minggu
Mikayla sudah masuk ke ruangan divisinya. Ketika hendak mendudukkan diri di kursi, ia dikejutkan dengan teman yang langsung bicara dengan wajah panik."Mik, kamu suruh ke HRD!"Mikayla yang melihat wajah panik temannya itu sedikit mengernyitkan dahi, kemudian kembali berdiri."Memangnya ada apa? Perasaan aku tidak melakukan kesalahan," ucap Mikayla."Entah, tadi datang nyari kamu pas jam makan siang. Karena kamu keluar, jadi aku bilang saja lagi ada urusan," balas teman Mikayla.Mikayla terlihat berpikir, hingga dirinya tertuju pada Rian. "Jangan-jangan dia berencana memecat 'ku agar tidak membuat masalah," gumam Mikayla dalam hati.Akhirnya Mikayla pergi ke HRD, dan benar saja. Mikayla dipecat hari itu, membuat gadis itu begitu geram. Mikayla berjalan cepat menuju ruang Rian, meski pihak HRD tidak menyebut nama Rian, tapi tetap saja gadis itu bisa mene
Arga mendengar cerita Ana dengan seksama, tidak menyangka kalau Lanie akan begitu baik mengajak Ana ke kamar. Hingga kemudian memilih mengecup kening Ana untuk mencurahkan rasa rindu meski baru sehari berpisah. Ana memejamkan mata ketika Arga mencium, merasa sangat dihargai dan disayangi.Arga menatap penampilan Ana, hingga akhirnya mengernyitkan dahi. "Kamu pakai kemejaku?" tanya Arga yang baru sadar kalau Ana memang memakai pakaiannya.Ana mengatupkan bibir rapat-rapat, sedikit menarik kerah kemeja dan ujung bawah untuk menutupi paha yang terpampang jelas tak tertutup."Karena aku ke sini buru-buru, bahkan tidak membawa baju ganti." Ana sedikit menunduk, jadi merasa malu sendiri, wajahnya terlihat memerah.Arga merasa gemas dengan sikap Ana, sehingga langsung memeluk pinggang Ana begitu erat."Yang penting kamu mau datang, aku sangat bahagia," ucap Arga seraya menenggelamkan wa
Ana terlihat berpakaian rapi saat pagi hari, memakai baju yang sama ketika datang ke sana. Ia harus pulang ke lebih dulu tanpa menonton konser sang suami, tidak ingin mengundang perhatian banyak orang jika dirinya muncul bersama Arga dan band."An, yakin pulang sekarang? Aku masih rindu," ucap Arga masih bergelayut manja pada tubuh Ana."Iya, tinggal dua hari lagi juga. Setelah ini kita kumpul lagi," timpal Ana yang menggerakkan tubuh dan memutar untuk bisa berhadapan dengan Arga.Ana menatap manik mata Arga, sadar kalau samg suami memang tidak rela jika dirinya pulang."Aku akan sangat merindukanmu," ucap Arga dengan suara berat, ditatapnya bola mata Ana secara bergantian, seakan sedang mengiba dan berharap Ana mengurungkan niat untuk pulang.Ana mengulas senyum, mengusap sisi wajah Arga penuh kelembutan dan kasih sayang."Aku juga, akan kutunggu kepulangan
Arga menanti Lanie yang mengantar Ana, sengaja tidak menutup pintu rapat agar bisa tahu kalau Lanie sudah kembali. Benar saja, setelah hampir satu jam lebih menunggu, Arga melihat bayangan Lanie yang melintas. Arga bergegas keluar kamar dan memanggil Lanie yang hendak membuka pintu. "Dia sudah berangkat?" tanya Arga yang tidak tahu harus mulai bicara dari mana. Lanie menengok pada jam tangan yang melingkar manis di pergelangan, kemudian menatap Arga yang terlihat cemas. "Harusnya sudah," jawab Lanie dengan senyum kecil di wajahnya. "Baguslah." Arga menghela napas lega. Kemudian kembali menatap Lanie, ada rasa mengganjal di hatinya dan tidak bisa tenang sebelum tahu apa itu. "Lan, boleh aku tanya sesuatu?" tanya Arga. Lanie mengernyitkan dahi, berusaha tetap tersenyum kemudian mengangguk tanda siap menjawab pertanyaan Arga. "Sikapmu pada Ana benar-benar berubah, aku mera
Arga kembali ke kamar setelah bicara dengan Lanie. Lanie sendiri membuka pintu dan hendak masuk ketika ponselnya berderit. Ia memilih menjawab panggilan yang masuk dengan satu tangan memutar gagang pintu."Halo." Lanie menghentikan gerakan tangan, bola matanya membulat lebar ketika mendengar suara dari seberang panggilan. "Tahan dulu, jangan sampai itu menyebar luas. Beli semua informasi yang didapat!" perintah Lanie pada orang yang menghubunginya.Panggilan itu berakhir, Lanie menoleh sekilas ke arah kamar Arga sebelum pada akhirnya memilih masuk ke ruangannya.--Ana pergi dari rumah sakit setelah memastikan kalau Mikayla baik-baik saja. Ia mengendarai mobil menuju apartemen, hingga tanpa sengaja melihat dari spion tengah kalau ada sebuah mobil SUV berwarna hitam terlihat membuntuti. Ana berpikir kalau mobil itu searah dengan dirinya, tapi sayangnya itu tidak seperti yang dipikirkan! Saat mobil Ana melambat, mobil SUV
Dio sedikit terkejut ketika Alisya mengakhiri panggilan secara tiba-tiba, menatap pada benda pipih yang ada di tangan. "Ck, tumben dia buru-buru matiiin," gerutu Dio yang seakan masih tidak rela dan ingin bicara lebih lama dengan Alisya."Cie-cie, kenapa tuh muka masam? Habis ditolak cewek, ya!" goda salah satu teman Dio yang sudah merangkul leher pria itu."Mana ada!" sanggah Dio."Ada, tuh nyatanya muka udah masam kek cuka!" ledek temannya.Dio memukul lengan yang melingkar di leher, berjalan cepat untuk menghindar. Selagi Dio yang kebingungan karena Alisya menutup panggilan, Arga kebingungan karena Ana tidak bisa dihubungi, hanya mesin penjawab pesan yang terdengar."Kenapa?" tanya Lanie yang sadar kalau Arga cemas.Arga menatap layar ponsel di mana nama Ana terpampang di sana. "Nomernya tidak bisa dihubungi," jawab Arga yang kemudian menoleh pada Lanie.
Ana sudah sampai di apartemen, mengganti pakaian dan berbaring di atas ranjang. Ia menatap jam dinding, melihat seakan waktu berjalan sangat lambat, kamar itu begitu hening, hanya terdengar suara jarum jam yang berputar. Rasa nyeri begitu menusuk dada, lambat lalun kelopak mata Ana terpejam, rasa lelah dan takut dengan kejadian yang menimpanya, mengantar tidur hingga Ana benar-benar terlelap. Ana tertidur begitu pulas, bahkan sampai tidak menghubungi Arga sebagaimana dengan yang direncanakan. Waktu semakin berjalan, kini jam di dinding sudah menunjukkan pukul 3 pagi, Ana masih tertidur dan belum ada tanda-tanda akan bangun, mungkin efek obat yang diminum sehingga Ana tanpa sadar tertidur pulas. Seseorang terlihat membuka pintu kamar, ruang tengah masih terlihat terang tapi kamar hanya terlihat cahaya lampu yang meremang. Mendekat dan duduk di samping Ana, menyentuh sisi wajah dan membelai lembut. Ana yang merasakan sebuah sentuhan pun se