"Davindra Wijaya, bersediakah kamu menjadi suami Lavida Veronika saat senang ataupun sedih, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, selama hidupmu."
Sangat berat bagi Davin untuk mengeluarkan suara, tapi pada akhirnya dia menjawab, "Ya, saya bersedia."
"Lavida Veronika, bersediakah kamu menjadi istri Davindra Wijaya, saat senang ataupun sedih, sehat ataupun sakit, kaya ataupun miskin, selama hidupmu."
Sama halnya dengan Davin, tenggorokan Vida serasa tercekat ketika bersusah payah mengeluarkan kata, "Ya, saya bersedia."
"Selamat, kalian adalah pasangan suami istri yang sah sekarang."
Tepuk tangan meriah terdengar riuh dari para tamu undangan setelah Davin dan Vida mengikat janji suci pernikahan. Cincin pernikahan juga melingkar manis di jari mereka, mengundang senyum sekaligus kelegaan pada bibir nenek Rumi dan juga Danu. Dimana ada embun kebahagiaan yang berselimut keharuan di mata mereka.
Tapi tidak dengan kedua mempelai yang tengah berdiri di pelaminan, mendung justru hinggap di wajah mereka, menjauhkan senyum bahagia yang seharusnya melekat di bibir layaknya pengantin baru pada umumnya.
Sampai acara selesai Davin dan Vida masih menunjukan wajah suram. Tidak ada percakapan sedikitpun diantara pengantin baru yang masih hangat tersebut. Bahkan Davin malah segera keluar dari dalam kamar setelah melihat Vida keluar dari kamar mandi usai berganti pakaian.
"Kenapa Nenek melakukan semua ini padaku?" tanya Davin dingin setelah menemukan neneknya begitu keluar ia dari dalam kamar.
Nenek Rumi tersenyum lembut dan berucap santai, "Nenek hanya memberi jalan Davin. Selanjutnya kamu yang memegang kendali, tidak sepantasnya jika kamu melimpahkan semua kesalahan pada nenek. Kamu harus bertanggung jawab atas tindakanmu."
"Nenek tahu, aku mencintai perempuan lain, aku benar-benar ingin mengakhiri formalitas ini," ucap Davin dengan kilat mata dalam dan terlihat serius.
Embusan napas kasar terdengar dari celah hidung dan mulut nenek Rumi, "Lupakan gadis yang terus memberi harapan palsu, Davin. Fokuslah pada yang di depan mata. Dan satu lagi, jika kamu berani menceraikan Vida, maka semua harta kekayaan keluarga Wijaya akan jatuh ke tangan Vida. Kamu tidak akan mendapatkan sepeserpun dariku. Jadi pikirkan itu baik-baik jika ingin kembali pada kekasihmu."
Mata Davin memicing, ada rona pahit di wajahnya, "Sebenarnya siapa cucu nenek sesungguhnya?"
Nenek Rumi kembali tersenyum manis, ia segera mendekat dan menyentuh pipi Davin dengan lembut, "Tentu saja kamu cucu kesayangan nenek, Davin. Tapi sayangnya yang bisa melahirkan penerus keluarga Wijaya adalah istrimu. Bagaimana aku bisa mengabaikannya? Ingat kamu sudah menyentuhnya."
Davin kembali menatap neneknya dalam, "Bagaimana jika dia tidak hamil?"
Nenek Rumi segera menarik tangannya dari dari pipi Davin, dan berucap pelan setelah mengembuskan napas kasar, "Nenek akan menyerah dengan keputusanmu. Tapi selama dia menjadi istrimu, perlakukan dia dengan baik. Jangan biarkan nenek mendengar dia mengeluh karena perlakuan burukmu, selama satu bulan ini."
Nenek Rumi segera berlenggang pergi setelah menyelesaikan kalimatnya. Meninggalkan gemuruh hebat yang menyambangi perasaan Davin.
Dia tidak ingin berpisah dengan Fani, namun tidak bisa menceraikan Vida setelah nenek Rumi mengatakan jika dia tidak akan mewariskan kekayaan keluarga Wijaya setelah menceraikan Vida. Tentu saja itu tidak akan baik untuk masa depannya bersama Fani.
Davin mulai menegakkan wajah dan bergumam lirih, "Vida, maaf jika ini tidak adil padamu."
***
Vida masih terpaku menatap kelopak bunga mawar yang bertebaran di atas sprei berwarna putih yang tampak bersih. Tapi hatinya sedikit terhimpit ketika mengingat Davin langsung menjauh darinya setelah dia berganti pakaian. Dia mulai merasa jika tidak diinginkan dalam pernikahan ini.
Ia pun sedikit tersentak melihat Davin memasuki kamar dengan membawa stopmap warna hitam di tangannya. Dia belum terbiasa menerima kehadiran pria di hidupnya, membuat Vida bergerak waspada. Gestur yang ia perlihatkan sama sekali tidak menunjukan bahwa Vida adalah wanita penggoda, membuat Davin tidak ragu untuk mendekatinya.
"Vida, seperti yang kamu tahu, kita tidak saling mengenal sebelumnya. Tapi kita mengawali dengan sesuatu yang sama sekali tidak kita inginkan, haruskah kita bertahan dan melanjutkannya?" ucap Davin setelah duduk di samping Vida.
Vida tertegun, kilat matanya pias untuk beberapa detik, kemudian bertanya dingin mengekspresikan hatinya yang pedih, "Kamu ingin membuangku setelah merampas mahkotaku?"
Pertanyaan to the point Vida membuat Davin merasa menjadi manusia paling bejat sedunia. Tapi keberadaan Fani di dalam hati, menuntut Davin menjadi manusia angkuh dan jahat, kemudian berkata dingin dan menyakitkan, "Aku tahu kamu cukup cerdas untuk mengetahui arah pembicaraanku. Tidak ada komitmen diantara kita, hingga kita harus tetap bertahan. Lebih baik kita mengakhirinya saja."
Plak!
Tamparan keras mendarat dengan sadis di wajah Davin, dilanjutkan dengan ucapan Vida yang hancur dengan apa yang dilontarkan suaminya, "Seharusnya aku sudah melakukan itu saat aku mengetahui kamu telah meniduri ku. Sekarang aku sadar, laki-laki yang tidak punya moral, juga tidak pantas untukku."
Biasanya Vida tidak suka menangis, namun kali ini bulir bening tak bisa dicegah dan mengalir dari pelupuk matanya perlahan. Sangat menyakitkan, setelah dilecehkan, dia merasa diempaskan di malam pertamanya.
Terlalu tidak tahu diri jika Vida tetap diam bersama Davin. Dia juga cukup malas jika harus mengiba pada laki-laki yang jelas-jelas tidak menginginkannya. Ia segera menghapus air mata, kemudian beranjak dari ranjang. Harga dirinya terlalu tinggi.
Davin hanya terdiam menatap Vida yang pergi menjauhinya, tapi begitu melihat Vida menarik koper dari walk in closet, Davin tidak bisa lagi berdiam diri. Ia segera bergegas menghampiri dan meraih pergelangan tangan Vida.
"Jangan coba-coba pergi tanpa persetujuanku," cegah Davin dengan nada dalam yang begitu dingin.
"Kenapa mencegahku? Bukankah ini yang kamu inginkan?" Suara Vida tak kalah dingin dengan nada yang dilontarkan Davin.
"Itu bisa kamu lakukan setelah yakin bahwa kamu tidak sedang mengandung anakku," ucap Davin tegas.
Vida tertegun. Tapi beberapa detik kemudian dia tersentak ketika Davin menarik dan melemparnya ke ranjang dengan kasar, kemudian meraih stopmap di atas nakas dan menyerahkan padanya. "Patuh, dan tanda tangani perjanjian kontrak pernikahan kita."
Vida menyeringai kecut setelah membaca surat perjanjian yang isinya menuntut Vida menjadi istri yang baik sebelum dia dinyatakan tidak hamil dan bercerai setelah satu bulan kemudian. Jika Vida hamil, maka mereka akan bercerai setelah anak mereka lahir. Dan jika ada pihak yang melanggar maka akan dikenakan kompensasi sebesar lima milyar.
"Bukankah sangat bodoh jika aku menandatangani surat perjanjian ini? Bahkan sebelum kamu membuang ku, kamu menuntutku menjadi istri yang baik."
Vida segera melempar surat perjanjian itu ke atas kasur, tapi siapa sangka jika perbuatannya malah mengundang Davin untuk mencengkeram dan meremukkan rahang Vida dengan jarinya yang kokoh, sembari melontarkan ancaman.
"Tandatangani surat perjanjian kontrak pernikahan kita, atau aku akan menghancurkan toko roti ayahmu. Kamu tahu Vida, orang yang mempunyai kekuasaan tidak akan sulit untuk melakukan hal kecil semacam itu."
"Kekanak-kanakan." Davin bergumam lirih ketika tidak menemukan Vida di sampingnya saat terbangun di pagi hari. Bibirnya mencibir geli kala melihat bantal yang bertumpuk di tengah ranjang, dimana bantal tersebut selalu menjadi benteng pertahanan bagi Vida yang tidak ingin bersentuhan dengannya selama dua malam ini. Bukankah itu kekanak-kanakan? Suara bising pengering rambut segera menyambut ketika Davin memasuki kamar mandi, ia juga langsung mendapati Vida yang tengah berdiri di depan cermin, dimana benda itu kini memantulkan bayangan Vida dengan arah pandang yang tak dapat ditebak. Jelas istrinya sedang melamun, hingga sama sekali tak menyadari keberadaannya. Bahkan perempuan itu sempat bergumam lirih yang mengundang Davin menerbitkan senyum sengit di bibirnya. "Ah … jalani saja Vida, demi ayahmu, Ini hanya perlu waktu satu bulan. Kamu pasti bisa, yakin saja bahwa kamu tidak hamil anak pria sialan itu." Davin menegakkan wajahnya dengan angkuh, sengaja mengeluarkan suara serak deng
"Vid, motor lo kemana sih? Sekarang gak pernah bawa motor kalau ke kampus?" tanya Erick sembari membelah durian yang berukuran sebesar kepala manusia."Dijual," jawab Vida singkat tanpa menoleh pada Erick, lantas membuka mulut untuk memakan buah yang baunya sangat menyengat itu."Serius lo? Apa toko roti bokap lo, bangkrut? Hingga sampai jual motor segala." Lagi Erick bertanya, sembari mengunyah duriannya."Mau tau aja, apa mau tau banget?" Vida malah balik bertanya dengan mimik wajah yang menyebalkan, mengundang Erick untuk menipiskan bibir karena kesal."Bisa tidak, tanpa memberi gue wajah menyebalkan itu?"Vida hanya terkekeh melihat wajah jengkel Erick, begitu juga dengan Rion yang mulai ikut berkelakar."Bagaimana mau bawa motor? Orang pulang pergi dijemput pakai mobil mewah sekarang."Mata Erick melebar mengingat kebenaran yang diucapkan Rion, jiwa penasarannya meronta."Bener juga kata Rion. Siapa sih yang antar jemput lo setiap hari, Vid? Jangan-jangan lo cuma pura-pura kismin
"Kak, apa yang kamu lakukan? Lepaskan aku!" pekik Vida mencoba mendorong Davin agar menjauh dari tubuhnya.Sayangnya Davin tidak mengindahkan pekikan Vida, dia malah membungkam mulut Vida dengan ciuman bertubi-tubi dan memagutnya dengan rakus, hingga hanya ada suara lenguhan tertahan yang keluar dari mulut Vida yang terbungkam.Vida berusaha keras menolak, dengan terus mendorong kuat tubuh tegap suaminya. Tapi sungguh menyedihkan ketika tenaga Vida tidak cukup kuat untuk melawan Davin, kini kedua tangan Vida malah dikunci di atas kepala hingga dia tak bisa berkutik. Bahkan tangan Davin semakin berani menjelajahi setiap jengkal tubuh Vida yang ramping.Vida benar-benar merasa sangat terhina, dia merasa sedang dilecehkan suaminya sendiri, di belakang orang lain yang jelas bisa melihat dan mendengar apa yang terjadi di jok mobil belakang.Tidak tahan lagi, Vida langsung menggigit bibir Davin, hingga Davin tersentak dan melepaskan pagutannya."B4jingan! Apa yang sedang kamu lakukan padaku
"Apa masih ada berkas yang harus ditandatangani?" tanya Davin sembari mengulurkan berkas yang sudah dia sahkan pada sekretarisnya."Tidak, Pak. Ini yang terakhir. Tapi nanti pukul 18.00 ada pertemuan dengan perwakilan dari perusahaan LT," terang Iko datar."Batalkan saja. Suasana hati istriku sedang buruk, bukankah aku harus menghiburnya sekarang?" tanya Davin yang dibumbui sedikit humor.Iko terkekeh.Memang tidak ada yang Davin tutup-tutupi dari sekretarisnya, bisa dibilang Iko adalah orang yang sangat Davin percaya. Hingga masalah percintaan pun kadang dia curhat dengan Iko, membuat sekretarisnya itu tak segan memberi saran meski tak diminta."Tapi, Pak. Apa tidak sebaiknya Anda memberi tahu Fani perihal nyonya? Takutnya dia akan salah paham jika mendengar dari orang lain."Jari Davin yang sedari tadi memutar-mutar bolpoin seketika berhenti. Hidung mbangirnya mengela napas panjang, dan mengembuskan perlahan, jelas ada beban yang sengaja dia pendam. Kemudian berucap lirih."Aku tida
Senyum seringai yang sangat menyebalkan tersungging dari bibir Davin kala meletakan sepiring nasi goreng pada meja makan."Aku tidak biasa melayani seseorang, tapi aku merendahkan tanganku yang agung untuk membuat nasi goreng, kamu tidak ingin memberi penghargaan?" ucap Davin datar meski masih terkesan sombong.Vida tidak bergeming, hatinya menolak menerima apapun pemberian Davin. Dia malah berbalik hendak meninggalkannya. Tapi langsung tersentak ketika Davin menariknya dengan cepat."Lepaskan aku!" Vida mencoba melepaskan diri dari cengkeraman Davin."Jangan menguji kesabaran ku, Vida. Kemasi barangmu dan ayo kita pulang," ucap Davin dingin dengan nada menekan."Jangan memaksaku. Aku tidak akan bergerak, meski kamu mengancam ingin menghancurkan toko ayahku. Aku tahu kamu hanya menggertak. Aku ingin bercerai." Nada yang dilontarkan Vida tak kalah dingin dengan ucapan Davin.Tapi alis Vida segera mengeryit kala melihat senyum penuh arti yang terbit di sudut bibir Davin.Davin melepaska
Davin dapat melihat dengan jelas perubahan di raut wajah Vida. Namun dia tidak peduli, pada kenyataannya dia memang mencintai Fani dan berniat menikahinya. Dia tidak masalah jika Vida mengetahui itu, lagipula Vida juga sudah tahu jika dia tidak menginginkannya, mereka hanya menjalani pernikahan sampai kontrak yang ditentukan selesai.Sementara Vida sendiri masih memikirkan ucapan laki-laki di depannya. Ingin bersikap acuh, tapi ternyata status istri yang dia sandang cukup mempengaruhi emosinya, istri mana yang tidak geram ketika mengetahui ada perempuan lain di kehidupan suaminya?Vida berdecak kesal dalam hati membayangkan jika itu benar, berarti Davin sama sekali tak layak untuk dipertahankan, Vida hanya berharap semoga dia tidak hamil agar segera terbebas dari Davin.Lamunan Vida berangsur-angsur menghilang ketika mendengar laki-laki yang tadinya menyapa kembali berkelakar, bahkan ucapannya kini berpindah menyerang Vida yang sebenarnya tidak ingin terlibat dengan siapapun di tempat
"Sampai kapan kamu akan menunjukan wajah buruk mu itu kepadaku?" tanya Davin sesampainya di ruang bawah tanah hotel untuk mengambil mobil. Vida yang memang sudah uring-uringan sejak keluar dari ballroom, sama sekali tidak mau menjawab dia terus berjalan cepat menuju mobil. Tapi sesampainya di depan mobil, dia malah berbalik menghampiri Davin, dan memukul dada bidang itu secara bertubi-tubi tanpa mengucapkan apa-apa, meski air mata tiba-tiba tumpah ruah di pipinya. Sementara Davin sendiri sama sekali tidak berusaha menghindar ataupun mencegah apa yang dilakukan Vida. Dia terlihat pasrah menerima setiap pukulan dari tangan ramping istrinya, yang tengah meluapkan emosi yang sudah dia tahan sejak berada di acara lelang. Puas memukul Davin, Vida segera masuk ke dalam mobil sembari menyeka air mata, meski belum berucap apa-apa. Davin hanya dapat mengela napas panjang dan mengembuskan perlahan, mendapati amukan Vida yang masih tampak kekanak-kanakan. Dia juga mendapati Vida yang masih men
"Katakan apa yang kamu inginkan," ucap Davin setelah dia duduk dengan nyaman di depan laki-laki yang mengancamnya sesampainya di kafe merah. "Davin, kenapa kamu sangat terburu-buru? Aku yakin istrimu yang sedang kesal tadi tidak akan menunggu kepulangan mu." Laki-laki yang mengundang Davin tampak tersenyum remeh. "Dion, aku tidak punya waktu untuk berbicara omong kosong denganmu. Katakan yang kamu inginkan." Tidak ada keramahtamahan di wajah Davin ketika berucap. Pria yang bernama Dion terkekeh menangkap kekhawatiran di wajah pria tampan yang dia tekan. "Apa kamu takut?" tanyanya pelan dengan nada mencibir. Kini senyum seringai terbit di bibir manis Davin, dan berkata. "Jangan terlalu percaya diri, aku hanya khawatir kamu akan kecewa karena aku tidak datang. Tapi ternyata aku hanya menyia-nyiakan waktu saja." Davin beranjak dari duduknya, hendak pergi. Tapi langkahnya terhenti ketika Dion membuka suara. "Berikan proyek desain hotel yang ada di Bali untukku." Salah satu alis Dav