Share

Bab 5

Kiara terlonjak mendengar ucapan dingin lelaki yang baru saja menjadi suaminya. Jantungnya berdebar kencang ketika sorot mata pria tersebut seperti menembus tubuhnya. Langkah kaki Kiara terasa sangat berat. Tentu saja karena ini adalah malam pertama mereka. Bayangan ritual malam pertama dengan pria yang baru dikenalnya itu membuat aliran darah Kiara perpacu deras bersamaan keringat dingin yang mengucur di seluruh pori-pori kulitnya.b

"Ma-maaf, Tuan saya harus menidurkan Cantika dulu," cicit Kiara.

Suaranya tersangkut di tenggorokan sehingga lebih mirip seperti kucing sedang terjepit. Kiara melangkah masuk dengan kaki gemetar. Ditambah lagi pandangan pria itu terus mengikuti setiap pergerakan Kiara.

Saat Kiara tengah kebingungan hendak melakukan apa, tiba-tiba pria dingin itu melempar bantal dan selimut padanya.

"Kamu tidur di sofa!" ucap Samudra dingin.

"Tap-"

"Kita menikah karena Cantika. Saya lihat dia sangat menyayangimu. Dia juga menjadi lebih ceria setelah bertemu denganmu, jadi saya harap kamu paham dengan situasi ini," lanjut Samudra.

Kiara menghela nafas panjang. Tidak menyangka pernikahannya akan berjalan seperti ini. Tidak ada malam pertama yang indah layaknya pengantin baru sesungguhnya. Kiara harus menerima keadaan ini demi keluarganya. Ya, dia menerima pernikahan ini juga bukan karena cinta melainkan karena tawaran menggiurkan dari sosok yang sudah menghalalkan dirinya tersebut.

Demi bisa membayar biaya rumah sakit sang ayah, juga untuk mempertahankan rumah agar tidak terjual, Kiara rela menikah dengan pria yang tidak dicintai. Namun dia sama sekali tidak pernah berpikir jika dirinya tidak dianggap sebagai istri oleh suaminya.

"Memangnya apa yang sedang kamu harapkan, Kiara? Lelaki itu butuh mama untuk putri kesayangannya. Dan kamu butuh uang untuk kelangsungan hidup keluargamu. Bukankah itu adalah kesepakatan yang bagus? Jangan pernah menuntut lebih," batin Kiara memperingatkan dirinya sendiri.

Dengan senyum tipis, Kiara menerima bantal dan selimut itu. Lalu berjalan menuju sofa untuk membaringkan tubuhnya yang terasa pegal. Beberapa hari ini dia sudah bekerja keras. Dan sekarang ia merasakan tubuhnya sangat letih.

"Kamu mau tidur dengan pakaian seperti itu?" Suara bariton Samudra menghentikan gerakan Kiara.

Wanita berhijab itu menatap dirinya sendiri lalu mendesah pelan. Saking sibuknya memikirkan situasi yang terjadi saat ini, Kiara sampai lupa masih mengenakan pakaian yang sama dengan yang ia pakai saat ijab kabul di rumah sakit tadi.

Tak mau membuat suaminya ilfeel, Kiara segera bangkit menuju tas yang teronggok di sudut ruangan. Hanya ras ransel berisi dua setelah baju karena dia tak sempat untuk membawa lebih dari itu. Semua serba dadakan dan tak ada waktu untuk mempersiapkan semuanya.

Samudra tampak sibuk membalas email dari gawainya ketika Kiara keluar kamar mandi dengan wajah yang lebih segar. Aroma sabun mandi menguar memenuhi indera penciumannya. Bohong jika Samudra tidak mngagumi wajah cantik alami Kiara. Hanya saja dia bukan tipe pria yang mudah tertarik pada wanita.

Lima tahun menduda nyatanya tidak membuat Samudra yang tampan dan sukses menjadi petualang perempuan. Atau seperti pria-pria kaya di luaran sana yang akan membeli wanita sekadar untuk memuaskan kebutuhan biologisnya.

"Ma-maaf, Mas arah kiblatnya sebelah mana ya?" tanya Kiara.

Samudra tergeragap. Dalam hati merutuki kebodohannya yang telah mengagumi wajah sang istri.

"Ya itu sudah benar. Posisimu sekarang sudah menghadap kiblat," jawab Samudra datar.

Kiara lalu menunaikan shalat isya' yang tertunda. Dalam doanya ia selipkan permintaan agar pernikahannya ini sakinah mawadah warahmah. Meskipun pernikahan ini dilakukan bukan atas dasar cinta, tapi bagi Kiara pernikahan tetap harus dijaga sampai maut memisahkan.

Selesai shalat, gadis itu melanjutkan dengan melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Suaranya ia buat sepelan mungkin agar tidak menggangu suaminya yang mungkin sudah tertidur.

Tak bisa dipungkiri, ada sesuatu yang menenangkan menyusup dalam sanubari Samudra. Hanya saja dia memilih diam sambil menikmati lantunan ayat-ayat itu. Sudah cukup lama lelaki bergelar ayah itu melupakan kewajibannya sebagai hamba. Dia sibuk dengan urusan dunia dan cara membahagiakan putri semata wayangnya.

Kini kehadiran Kiara dalam hidupnya sedikit banyak membantu Samudra mengurangi beban sebagai orang tua tunggal. Putri tunggalnya itu adalah prioritas utama dalam hidup. Namun ia tak paham cara membahagiakan buah hatinya kecuali dengan memenuhi seluruh kebutuhan hidup dengan kemewahan. Belakangan ia sadar bahwa yang dibutuhkan Cantika bukan hanya kemewahan, tapi kasih sayang dari orang tua yang lengkap.

"Sudah cukup beribadahnya. Tidurlah, karena mulai besok tugasmu sebagai seorang ibu dimulai. Jangan sampai Cantika kecewa memiliki mama yang tidak perhatian padanya!" ujar Samudra bersamaan dengan ayat terakhir yang dibaca Kiara.

Wanita itu menoleh sekilas lalu mengangguk begitu saja. Sebagai istri baru, tentu Kiara harus belajar memahami karakter suaminya.

"Iya, Tuan."

"Sampai kapan kamu memanggilku dengan sebutan itu? Berasa menikah dengan pembantu saja!" Aura dingin mendadak menguar di dalam ruangan serba hitam itu.

"Ma-maaf, Ma-mas," lirih Kiara kikuk.

"Satu lagi, berhenti mengucap maaf!" Setelah mengatakan hal itu Samudra meletakkan ponselnya di nakas lalu membaringkan tubuhnya membelakangi Kiara yang masih terpaku di tempatnya.

Kiara hanya bisa menghela nafas panjang dengan sikap suaminya. "Ini baru permulaan, Kiara. Kamu harus kuat," batinnya.

***

"Selamat pagi cantiknya Mama," bisik Kiara di samping telinga Cantika yang masih tertidur pulas.

Mendengar suara lembut dari Mama barunya, Cantika mengerjap-ngerjapkan matanya. Seketika senyumnya mengembang melihat wanita yang ia sayangi sudah ada di sampingnya.

"Mama! Ini beneran ya? Berarti Cantika nggak mimpi punya Mama baru?" Gadis kecil itu langsung melompat dalam pelukan Kiara.

"Iya, Sayang. Ini bukan mimpi. Mandi yuk! Katanya mau ikut lomba," ucap Kiara sembari menjawil hidung Cantika yang mancung seperti papanya.

"Tapi dimandiin Mama ya?" Kedua bola mata Cantika berbinar-binar memandang Kiara yang begitu dekat.

Gadis itu bahkan tidak mau melepas tangannya dari leher Kiara seolah takut ditinggal pergi. Tak hanya itu, Cantika juga menenggelamkan kepalanya di ceruk leher Kiara yang tertutup khimar.

"Mama wangi," celetuk Cantika sembari terus mengendus-endus Kiara membuat gadis berhijab itu kegelian sendiri.

Tanpa mereka ketahui, dibalik pintu yang terbuka sedikit ada sosok yang mengamati dari tadi. Melihat kedekatan buah hati dengan mama barunya itu membuat hati Samudra menghangat.

"Mama senang akhirnya Cantika bisa tersenyum lagi," ujar Melinda yang entah sejak kapan juga sudah berdiri di ambang pintu. Tangan wanita paruh baya itu mengelus bahu putranya.

"Dia wanita yang baik. Jangan sia-siakan dia apapun alasan kamu menikahinya," bisik Melinda lalu pergi meninggalkan Samudra yang masih betah di tempatnya.

Entah terbuat apa hati pria itu. Meski sudah nampak di depan mata sang buah hati begitu bahagia bersama Kiara, tapi hatinya masih belum bisa menerima wanita itu. Tak ada getaran saat mata saling bertatap. Tak ada sengatan saat kulit saling bersentuhan. Meski hanya sekali saat bersalaman setelah ijab qabul kemarin.

"Papa!" Samudra urung membalikkan badan saat suara putrinya memanggil.

"Sini masuk! Lihat Mama menguncir rambut cantik! Bagus nggak, Pa?" Gadis kecil itu meminta pendapat papanya atas penampilan barunya.

"Iya, bagus. Cantika selalu cantik dalam kondisi apapun," jawab Samudra datar.

"Kalau Mama cantik nggak, Pa?"

Spontan sepasang pengantin baru itu saling tatap.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status