Daxon merasa bahwa dia baru saja ditampar dengan sesuatu yang tak kasat mata. Lizzie menggigit bibir bawahnya sambil menggelengkan kepala, mengindahkan air mata yang jatuh ke pipi. Daxon menghela napas dan mengulurkan tangan, mencoba menyentuh bahu Lizzie yang gemetaran dengan jarinya.Terjadi lagi, tiap kali Daxon mencoba meraihnya Lizzie menjauh dan menjaga jarak seolah menegaskan bahwa dia enggan disentuh oleh Daxon. Bahkan kali ini dia memaki pada udara kosong tentang seberapa besar rasa marah yang dia miliki yang bersatu padu dengan kesedihan murni. Bahkan Lizzie lepas kendali dengan merusak salah satu vas yang tidak jauh dari posisinya. Menyebabkan suara gema pecahan kaca yang membuat suasana makin tidak enak diantara mereka.Lizzie tersentak atas apa yang baru saja dia perbuat, ini bukan studio seninya. Ini rumah oranglain dan Lizzie baru saja melampiaskan kemarahannya pada benda milik oranglain. Dia melirik ke arah Daxon yang menutup kedua matanya sambil menghela napas lelah.
Lizzie tidak begitu menyadari sejak kapan tepatnya dia tertidur. Namun yang pasti kepalanya sekarang berada dalam posisi nyaman dipangkuan Daxon. Sebagian besar dari teh yang berada di cangkir pria itu dibiarkan tak tersentuh di atas meja. Jadi tatkala kedua mata Lizzie terbuka, dia merasa lega begitu merasakan tangan Daxon yang berstagnasi dirambutnya. Diatasnya, Daxon menurunan kertas yang sedang dibacanya. Bunyi gemersik alami tersebut membuat Lizzie mendongak padanya dengan penuh rasa penasaran dan kemudian dia mendapati senyum dari si pria. “Sudah merasa lebih baik, gadis nakal?” Lizzie mengangguk. “Hmm.” Erangan kecilnya mendapatkan sambutan kecil berupa usapan di kepala dari si pria. Lizzie langsung berguling dan mendorong wajahnya sehingga terantuk pada perut pria itu. Daxon sepertinya baru selesai mandi, sebab Lizzie bisa mencium adanya aroma sabun yang tertinggal di bajunya juga dia bisa merasakan beberapa bagian yang masih lembab dan belum dikeringkan sepenuhnya. Ruang
Lizzie merasa gugup. Dia tidak terlalu suka gagasan soal Armant dan Mina yang diundang untuk datang makan malam bersama orangtuanya. Tapi Lizzie tidak kuasa menolak lantaran ibunya merengek lewat telepon dan Mina juga mendapatkan terror yang sama darinya. Bahkan setelah menerima telepon darinya saja ibunya masih pula membombardir banyak pesan ke ponsel Lizzie.IbuAku tidak bisa mempercayai kata ‘iya’ darimu Lizzie. Aku tahu kau pasti akan memberitahu Mina dan Armant soal undanganku. Jadi Aku sudah menelepon Mina juga untuk memastikan kalian bertiga datang malam ini. Datanglah dengan mobilnya Mina atau Armant. Aku tidak mau kau membawa motormu.Begitulah isi pesan wanita itu, memang sangat berlebihan tapi bagaimana pun juga Lizzie hanya bisa menghela napas lelah dan mengelus dada. Terkadang sikap ibunya bisa jadi sangat menganggu di waktu tertentu. Dia benci datang bersama mereka untuk makan malam selama ayahnya ada disana.Dan beginilah sekarang, mereka datang dengan mobil Mina, sesu
Lizzie melirik ke arah pria itu dari balik sofa yang dia tempati. Rasanya seperti menjadi tak kasat mata dan tidak anggap padahal mereka berdua saling berpandangan meski beberapa detik. Perutnya terasa menegang dan banyak ketakutan yang tiba-tiba saja merangsek masuk tanpa diundang.“Ada acara kumpul kecil-kecilan rupanya,” komentar Dion dengan tenang mendekati Elliza dan mencium keningnya sebagai salam, Elliza tersenyum.“Hanya anak-anak. Aku pikir kau akan lembur seperti kemarin, karena tidak mau sendirian aku mengundang mereka semua kemari,” kata Elliza menyahuti perkataan suaminya. “Aku sudah menyiapkan makan malam untukmu. Mau aku panaskan?”Dion menggelengkan kepala. “Tidak, aku akan makan malam nanti. Aku tidak ingin merusak moment-mu bersama anak-anak. Selamat bersenang-senang.”Pria itu bahkan tidak menyapa putrinya, sama seperti kedatangannya yang tidak terdeteksi pria itu kini telah pergi tanpa merasa perlu mengatakan apa-apa lagi. Lizzie merasakan tenggorokannya tercekat,
Mina tidak masalah bila dia harus tetap tutup mulut, tapi tidak dengan Armant. Pemuda itu penasaran soal Lizzie yang kerap menyelinap keluar tiap kali dia punya kesempatan. Mina dan Armant tentu mengetahui soal pendanaan yang tidak lagi diberikan oleh ayahnya Lizzie, tapi mengingat disemester ini gadis itu tampak tenang dan tidak pontang panting soal uang membuat keduanya lega tapi juga khawatir disaat yang bersamaan. Darimana Lizzie mendapatkan uang untuk biaya kuliahnya? Apa yang gadis itu lakukan? “Aku keluar,” kata Lizzie sambil mengemasi barang-barangnya. “Lagi? kau kan baru saja pulang kerja.” Armant melipat tangannya seraya menaikan sebelah alis. “Ini masih pagi.” “Ya memang.” “Lizzie.” “Hm?” “Apa kau melakukan sesuatu yang … illegal?” Armant memicingkan matanya ke arah Lizzie, melihat ekspresi gadis itu berubah drastis dari terkejut menjadi tersinggung. “What the fuck? Kau serius berpikir aku sebodoh itu?” “Kadang-kadang.” Lizzie memutar kedua matanya tapi Armant yang
Setelah menyingkirkan pakaiannya kini Lizzie hanya mengenakan sport bra dan celana pendek, Daxon sendiri sudah duduk di luar. Porsche kesayanganya telah dia parkirkan di bawah sinar matahari. Semua perlengkapan kebersihan tertumpuk rapi tepat disebelah ember. Daxon menikmati pemandangan di hadapannya dengan santai. Duduk di kursi panjang dengan setumpuk dokumen di tangan. Untungnya rumah Daxon tipikal rumah yang tertutup, jadi dia merasa lega karena tidak akan ada yang bisa melihat Lizzie saat dia berpakaian menggoda seperti itu. Lizzie terlihat menikmati kegiatannya, tidak dia hiraukan tubuhnya yang terkena semprotan air. Membuat kulitnya yang putih berkilauan oleh bulir air yang terkena cahaya matahari. Daxon menurunkan kertasnya untuk sekadar menatap gadis kesayangannya yang lucu membungkuk mengambil selang air yang ada di bawah. Tidak ada yang menggoda dari gerakan gadis itu, tetapi karena kepolosannya itu membuat Daxon justru tergiring untuk memikirkan pikirkan kotor. Gadis it
Suara lembut tersebut tidak hanya mengubah reaksi Daxon, tapi juga reaksi Lizzie. Dia merasa tegang, dan rasa mual langsung datang tanpa dapat dicegah. Gadis itu menutup mulutnya dengan tangan. Rasa takut dan malu bercambur baur menjadi satu, mendengar suara seorang wanita dibelakang sana. Daxon menarik tangannya dan menjauhkan diri dari Lizzie untuk menghadapi wanita yang memanggil namanya.Lizzie sendiri agak takut untuk berbalik, tapi setelah dia memberanikan diri kedua matanya langsung melebar.Itu adalah wanita yang sama, wanita yang mereka temui sepulang dari restoran setelah makan malam bersama. Lizzie dapat menyimpulkan bahwa dia masih memiliki ikatan dengan Daxon melalui pekerjaannya. Dilihat dari bagaimana cara wanita itu berpenampilan. Setelan rok span dan sepatu hak tinggi serta rambut pirangnya yang diikat kebelakang menunjukan profesionalisme-nya sebagai seorang wanita karir.Pipi Lizzie memerah karena malu, dia bergumam sendiri dengan suara yang hanya bisa di dengar Dax
Adalah keputusan yang bagus bagi Lizzie untuk menemani Daxon berjalan-jalan dengan mobil mewahnya. Perjalanan bersama terbukti memang sesuatu yang mereka berdua butuhkan.Hanya butuh beberapa menit saja setelah mengemudi dengan posisi top down di Porsche mewahnya, seluruh sikap dan pembawaan Daxon sedikit mulai berubah. Alisnya yang semula bertaut mulai melembut, dia juga tidak lagi mengatupkan bibirnya dengan lengkungan kebawah. Lebih tepatnya sekarang dia sudah sedikit lebih rileks dengan posisi rest. Pria itu sudah lebih santai di kursi kemudi, mengendarai mobil hanya dengan sebelah lengan sementara satu lengannya yang bebas dia gunakan untuk menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dengan malas.Lizzie mulanya berusaha untuk tidak memperhatikan setiap detail itu, dan lebih memilih menyibukan diri dengan memandangi lautan luas yang mereka lalui, menikmati udara yang berembus dari jendela yang sengaja Lizzie buka dan debur ombak yang membuat gadis itu mau tidak mau tersenyum simpul.