Satu pekan berlalu begitu saja, lebih cepat dari pada yang diinginkan oleh Lizzie. Dia menjadi semakin gugup dan khawatir tatkala dekat dengan akhir pekan dimana hari ulang tahunnya berada. Dia tidak siap mendapati kenyataan bahwa Daxon akan bertemu dengan orangtuanya. Dia takut dengan apa yang akan dikatakan oleh ayahnya, mengingat ayahnya kemungkinan besar pasti akan berada disana. Dia sama sekali tidak takut ayahnya membenci Daxon, karena Lizzie sudah tidak peduli lagi soal itu. Dia hanya takut bila ayahnya membuat keributan di depan Daxon dan membuatnya malu. Itu masih belum seberapa dibandingkan dengan ibunya yang memang sudah super kepo sejak awal.Karena jika ibunya membenci Daxon, maka itu berarti akhir dari segalanya. Tidak ada jalan kembali, pendapat wanita itu adalah yang paling penting bagi Lizzie. Lebih daripada pendapat Mina dan Armant, sebab wanita itu yang paling tahu segala hal tentangnya. Dia juga tidak akan lagi meragukan naluri dan insting seorang ibu kepada pasang
Lizzie mengambil kesempatan itu untuk menyelinap dari pembicaraan. Dia duduk bersama Armant dan Mina di bar. Gadis itu menghela napas sambil tersenyum ke arah mereka berdua. Segalanya tampak berjalan lancar dan maksimal di titik ini. Daxon dan ibunya mengobrol dengan cara yang baik dan ibunya juga menanggapi dengan sangat ramah, mengobrol tentang hal-hal khusus. Lizzie memainkan tangannya di atas meja, mengamati kebersamaan mereka berdua dengan gugup. Armant menepuk lututnya dan memberi gadis itu sebuah senyuman lembut.“Tidak apa-apa,” ujarnya. “Aku rasa mereka cukup cocok.”“Mereka terlihat selaras dan itu sepertinya angin segar untukmu, sepupu,” timpal Mina pula.Dari sudut pandangnya, Daxon dan ibunya tiba-tiba tertawa dan itu cukup menarik perhatian semua orang. Daxon sedang membuka botol wine yang dibawanya sebagai buah tangan dan mendengar semua hal yang ibunya katakan dengan baik. Dia juga mengeluarkan kertas di meja dan mencatat beberapa poin yang disampaikan oleh wanita itu.
Meskipun memang ada sedikit masalah dengan ayahnya, tetapi keseluruhan dari dinner birthday berjalan baik dan menyenangkan. Terlebih lagi, Lizzie menghabiskan hari Minggunya tanpa melakukan apa pun selain bersantai di kamar tidur pria itu.Cuaca diluar sana kebetulan juga sejuk dan berangin, tetapi masih ada sinar matahari yang menjaga udara tetap hangat. Mereka membiarkan jendela sedikit terbuka, membuat udara segar masuk, sementara mereka berdua berpelukan erat di tempat tidur. Televisi dinyalakan tapi dengan volume rendah, memberikan dengungan lembut di latar belakang sementara Lizzie berbaring dengan kepala terselip di bawah dagu Daxon dan lengan yang otomatis melingkari pinggang pacarnya. Daxon memegang lengan Lizzie, sementara lengannya yang lain melingkar membiarkannya bertumpu di rambut Lizzie. Meski mengenakan hanya pakaian dalam, tetapi tidak satu pun dari mereka cukup terangsang untuk melakukan aktivitas seksual.Mereka lebih suka dengan kegiatan seperti ini. Berpelukan dan
Perjalanan ke galeri berlangsung terbilang singkat, kegembiraan memancar dari diri Lizzie. Armant menurunkannya di depan pintu lalu dia sendiri pergi menuju ke parkiran mobil bersama Mina. Mengapa dia diturunkan duluan karena untuk meminimalisir dirinya berantakan dan berkeringat.Lizzie memasuki pintu galeri dan melihat sekeliling dengan senyuman lebar. Tempat itu masih sama persis seperti yang dia ingat. Bercat putih polos, tetapi dindingnya kali ini sebagian besar di isi oleh hasil lukisannya di beberapa titik. Lukisan bunga, dinding batu, pohon raksasa. Ketiganya merupakan konsep yang Lizzie rumuskan untuk dia pilih salah satu diantaranya. Tetapi siapa sangka bahwa Dr. Pixys menyukai ketiganya.Tiba disana dia menemukan Dr. Pixys sedang bicara dengan seorang pria yang tampak lebih tua darinya, dia akan mengganggu pria gondrong itu nanti untuk sekarang dia memutuskan untuk melihat-lihat sendirian.“Lizzie! Lizzie!”Begitu namanya dipanggil, dia melihat Marie dan Levin disisinya. Li
Sesaat Lizzie berharap bahwa orang yang menepuk bahunya adalah Daxon, tapi saat dia berbalik justru yang berdiri dibelakang adalah ibunya. Senyuman yang penuh rasa kebahagiaan terlihat jelas, dia memeluk Lizzie tapi saat itu dia tidak fokus dan ponselnya masih berada di dekat telinga. Sekali lagi yang dia dengar justru adalah pesan suara saja. Ekspresi wajah Lizzie berubah muram, membuat ibunya langsung menangkupkan wajah gadis itu.“Sayang, ada apa?” tanya Elliza pada putrinya.“Ah … aku mencoba menghubungi Daxon tapi dia ….”“Sedikit terlambat?”“Entahlah Bu, aku tidak tahu. Aku tidak bisa menghubungi dia sama sekali,” kata Lizzie, dia sedikit lebih gelisah dari pada biasanya. “Aku harap dia baik-baik saja.”Elliza memeluk putrinya sekali lagi dan kali ini bahkan jauh lebih erat. “Dia akan baik-baik saja, sayang. Ingat dia adalah seorang pria yang bekerja sebagai pengacara dengan jadwal yang lumayan padat. Dia termasuk dalam deretan orang paling sibuk.”“Aku tahu itu kok.”“Ngomong-
“Lizzie, dengar dulu. Ini tidak ada hubungannya dengan siapa yang lebih penting bagiku. Tapi situasinya sekarang adalah hanya aku satu-satunya yang—”“Dia punya suami, Om. Kau juga tidak berhutang apa-apa padanya, dia menyelingkuhimu kalau boleh aku ingatkan! Kenapa harus kau yang repot mengurus mantan istrimu. Ada banyak orang yang bisa dia mintai bantuan. Tapi kenapa harus kamu dan tepat disaat aku juga membutuhkanmu?!”“Lizzie, tolong dengar—”“Om, tahu tidak aku ini sejak tadi menunggu kedatanganmu! Aku sangat mengkhawatirkanmu dan takut terjadi sesuatu kepadamu!” teriak Lizzie, dia tidak bermaksud untuk itu hanya saja emosinya mendadak tinggi, apalagi saat dia tahu apa yang menyebabkan pria favoritnya itu terlambat bahkan sekarang setelah pameran seninya berakhir pria itu betul-betul melewatkannya untuk membantu mantan istrinya. Dia marah dan kesal setengah mati. Amarahnya mendidih dan terus menerus di dalam hati dia merutuk Petra yang tidak tahu diri. “Aku pikir kau mengalami ke
Lizzie tidak yakin bagaimana dia bisa sampai di rumah, tetapi ketika dia sadar dia sudah terbaring di tempat tidur kesayangannya dan rasa pusing langsung menggelayutinya begitu dia terjaga. Gadis itu juga bisa mendengar suara Mina dari dapur, dia tahu bahwa itu Mina tentu saja karena dia mendengar sepupunya sedang bicara dengan seseorang. Lizzie mendekatkan selimut kedagunya sendiri, seraya mencoba mengingat beberapa kepingan memori tentang apa yang terjadi semalam.Dia ingat galeri seni, dia ingat berteriak dan bertengkar dengan Daxon, dia ingat soal minum, dan dia juga ingat tentang lelaki tua yang bicara dengannya, membelikannya minuman dan mereka …“What the fuck ….” Rasa bersalah langsung menyelimuti diri Lizzie. Dia tersentak, menutup mulutnya ketika air mata langsung menyeruak ke luar. Dia mulai gemetar dengan air mata yang berubah menjadi suara isak tangis yang pelan.Dia merasa jijik dengan dirinya sendiri. Dia sungguh sangat menjijikan. Jenis kotoran yang tidak hanya sampah
“Selamat siang,” sapa Daxon dari balik pintu. Hanya dengan mendengar suaranya Lizzie merasa hatinya mencelos. Mina langsung dengan inisiatif menggenggam tangan sepupunya ketika gadis itu pucat pasi. “Aku harap kedatanganku tidak mengganggu.”“Umm … tidak sama sekali,” sahut Armant, pemuda itu melangkah mundur untuk mempersilahkan Daxon masuk ke dalam. “Haruskah aku dan Mina menghilang untuk sementara waktu?” tanya pemuda itu kepada Daxon. Dia cukup peka terhadap situasi yang sedang terjadi diantara sosok pamannya dan sahabatnya, karena itulah dia menawarkan sebuah opsi.Daxon menggelengkan kepala. “Itu tidak perlu.”Lizzie hanya bisa menatapnya saat pria itu masuk ke dalam apartment. Dan sialnya, hanya Daxon yang masuk sambil membawa buket kecil tulip merah dan beberapa buah bunga lily. Daxon menatap padanya dengan senyuman yang hangat dan lembut.“Aku berhutang bunga kepada seseorang,” kata Daxon.Saat itulah rasa bersalah makin menyeruak tidak karuan dalam diri Lizzie. Daxon benar-b