Share

7. Tantangan Make Up

Saat sarapan, mereka bersepuluh berkumpul di dapur dan duduk kursi meja makan. Saat sedang asik menyantap makanan, tiba-tiba Theo bersuara.

"Kalian sudah cek kotak surat?" tanyanya yang jelas menyita perhatian mereka karena memang hal yang dikatakan Theo itu penting.

"Belum." Adrian menyahut dengan tampang kosong.

"Shit." Theo langsung berdiri dan berjalan cepat ke arah pintu belakang vila, merogoh dalam kotak surat dan ketika menemukan selembar surat, ia langsung kembali ke dapur.

"Suratnya ada?" tanya Arabella ketika Theo kembali.

"Ini." Theo mengangkat surat di tangannya. "Akan kubuka."

Menyudahi sarapan, mereka memfokuskan diri pada Theo. Penasaran dengan agenda apa yang harus mereka lakukan hari ini.

"Setelah sarapan, sebuah tantangan menanti kalian di halaman belakang vila. Pergilah dengan seseorang yang duduknya berhadapan denganmu."

Mata Theo melebar saat ia menyelesaikan ucapannya. Ia langsung melihat ke arah bangkunya dan matanya bergulir menatap wanita yang duduk dihadapannya.

"Ah kita berpasangan, Bella," ujar Theo yang terdengar kurang semangat, tangannya kembali melipat kertas itu.

"Kau tidak mau denganku?" Arabella menyahut dengan wajah pura-pura marah.

"Ya tentu saja ... tidak." Theo tertawa kencang menatap wajah Arabella yang masam.

Posisi duduk mereka memang sangat kebetulan berhadapan dengan lawan jenis. Dan ini cara yang adil membagi kelompok.

Untungnya, Ethan dan Elea duduk berhadapan, jadi mereka bersama. Sementara yang lain, Grace dengan Adrian, Kevin dengan Freya, dan terakhir Azalea dengan Max.

Theo meletakkan surat yang sudah dibaca diatas meja. Ia menarik kursinya dan duduk kembali di sana. Ia mendongak menatap Arabella yang sedang menyantap habis makanannya.

"Ayo kita lakukan sama-sama, kita pasti bisa," kata Theo memberi semangat, tapi suaranya saat mengatakan terdengar lemah.

Mata Arabella membeliak. "Perbaiki dulu nada suaramu. Bagaimana aku bisa semangat jika kau saja begitu," protesnya membuat Theo tertawa.

"Baiklah. Aku akan ubah." Theo mengangguk-angguk, matanya bersinar jenaka menatap Arabella.

Setelah acara sarapan pagi hari itu benar-benar selesai, mereka akhirnya pergi beriringan menuju halaman belakang vila. Mungkin pasangan mereka tidak sesuai dengan apa yang hati mereka inginkan. Tetapi, tantangan ini adalah tantangan pertama mereka dan pastinya merasa sangat bersemangat hingga tak ada wajah-wajah kecut di sana.

Di halaman belakang yang luas dan tampak menyejukkan karena menyajikan pemandangan indah lautan tak berbatas, lima meja berdiri dengan masing-masing memiliki dua bangku dan perlatan make up di atasnya.

"Apa yang akan kita lakukan?"

Mereka tentu bertanya-tanya. Ada peralatan make up, dan juga ada sebuah tablet di atas meja, padahal peraturan awal dikatakan jika tidak boleh menggunakan gadget di sana.

"Mungkin kita harus merias para wanita," ujar Kevin menyuarakan apa yang ia pikirkan.

"Halo, semua."

"Nah, itu instruksinya."

"Tantangan pertama kalian adalah merias wajah pasangan. Para wanita akan merias wajah para pria. Waktu yang diberi hanya lima belas menit. Setelahnya, ambil gambar menggunakan tablet dan kirimkan. Setelah dinilai, akan diumumkan pemenangnya. Pasangan yang menang memiliki peluang kencan di luar pulau dan memilih siapapun sebagai teman kencan mereka. Semoga berhasil."

Bohong jika mereka tidak terkejut. Mereka sama sekali tidak tahu jika tantangan ini ada pemenang dan juga hadiahnya. Dan yang paling membuat tercengang adalah fakta jika pemenang alias satu pria dan satu wanita mempunyai privelege untuk memilih siapapun menjadi teman kencan, tempatnya di luar pulau pula!

"Kalau aku menang, apa aku bisa memilih pasanganku sekarang jadi teman kencan?" tanya Ethan penasaran.

"Mungkin saja." Adrian mengangkat kedua bahunya. "Kau terlalu jelas memilih Elea. Lagipula, iya kalau Elea memilihmu. Kalau tidak?"

"Tidak apa-apa, aku akan tetap memilihnya."

Ya dan jawaban itu cukup mengesalkan bagi beberapa orang. Ada yang menyukai Ethan, dan ada juga yang menyukai Elea.

"Ayo kita mulai saja sekarang." Grace duduk lebih dulu di kursi meja paling ujung. Ia juga menyuruh Adrian untuk segera duduk didepannya. "Aku rasa Ethan dan Elea paling populer di sini," gumamnya kemudian dan masih bisa didengar oleh Adrian.

"Ya, tidak heran," sahutnya duduk disana.

Karena semua pasangan sudah berada di tempat duduknya masing-masing, maka waktu di mulai dengan menekan tombol timer di layar tablet di samping mereka.

Sementara yang lain sudah mulai. Ethan dan Elea masih diam dan saling pandang.

"Kau suka pakai make up?" tanya Elea dengan dahi mengernyit.

"Tidak terlalu. Tapi rias saja tipis-tipis, dan jangan terlalu tebal kalau tidak mau aku seperti waria." Ethan agak cuek karena cukup kesal dengan ucapan Adrian tadi. Ia sadar jika pria itu juga tertark pada Elea, tapi entah kenapa ia tidak terima.

"Aku tahu." Elea membuka beberapa box yang berisi alat-alat make up, dan tiba-tiba pertanyaan tentang pekerjaan muncul di pikirannya. "Ah ya, kau model? Kalau kau model, itu berarti kau sudah sering dirias."

Ethan menggeleng. "Apa terlihat seperti model?" tanyanya dengan polos, jari telunjuknya terangkat menunjuk wajahnya.

Elea tersenyum menahan tawanya, ia memperhatikan wajah Ethan lekat. "Bisa iya, bisa tidak juga. Jadi, model atau tidak?"

"Coba tebak saja." Ethan mengangkat dagunya, tangannya terlipat didepan tubuhnya. Ia benar-benar menantang Elea.

Tapi sayangnya Elea sadar waktu yang terus berjalan, ia harus segera mendandan pria yang ternyata cukup mengesalkan didepannya ini sebelum waktu menipis.

"Baiklah." Ethann tampak mengalah. "Aku bukan model. Tapi aku punya bisnis gym dan mengelola beberapa kafe."

Elea mengangguk paham. Matanya fokus ke arah wajah Ethan karena ia mulai mengaplikasikan foundation berwarna senada dengan wajah Ethan.

"Kalau kau?" Ethan menatap mata Elea intens, ia suka saat wanita itu memperhatikan wajahnya seperti ini. "Pasti model."

Selesai dengan tahap awal, Elea menegakkan punggungnya dan memandang Ethan tepat di matanya. "Hm benar. Tapi, jangan berpikir aku pintar merias. Justru aku sangat payah merias, jadi jangan protes kalau nanti kita kalah."

Ethan hendak membuka mulutnya, berkata kalau tidak apa-apa mereka kalah. Namun, ia teringat akan reward dari tantangan ini. Dan bagaimana jika pasangan yang menang nanti adalah pria yang berkata tertarik pada Elea lalu mengajak wanita ini untuk berkencan. Kepala Ethan memanas memikirkannya.

"Lakukan yang terbaik. Kalau bisa kita harus menang." Ethan berujar serius, terpancar dari matanya.

Elea tidak yakin, melihat wanita-wanita disampingnya yang begitu mahir, ia jadi sedikit insecure. "Kita lihat saja nanti. Jika kalah, tidak apa, kan?"

"Asal yang menang tidak memilihmu saja, tidak apa."

Elea sedikit mencibirnya. Jika Ethan berpikir seperti itu, maka ia juga. Apalagi Ethan populer diantara wanita lainnya. Kalau yang menang nanti kelompok Freya atau Arabella, pasti mereka akan memilih Ethan.

Waktu berjalan cepat. Mereka semua sudah hampir sampai di tahap akhir. Percaya atau tidak, tantangan ini membuat mereka lebih banyak berbicara dan mencari tahu tentang jati diri masing-masing. Azalea dan Max bahkan bercerita tentang pengalaman kerja mereka saat Azalea masih sibuk mendandani pria itu.

"Kalau kita menang, siapa yang akan kau ajak?" tanya Azalea sembari meratakan lipbalm di bibir Max.

Tak sesuai yang diharapkan, Max menjawab agak lama membuat Azalea cukup kecil hati karena nyatanya Max belum terlalu yakin dengannya. Ya mau bagaimana lagi, tidak ada yang bisa diharapkan dari pertemuan yang baru sebiji jagung, pikir Azalea begitu.

"Aku tidak tahu," jawab Max jujur, walau ia tahu hal itu pasti tidak disukai Azalea. "Kalau kau?" tanyanya balik dan berharap Azalea menjawab sama sepertinya agar ia tidak merasa bersalah.

"Kau." Tapi Azalea menjawab cepat dan tegas. "Aku akan memilihmu," ulangnya dan Max sukses terdiam.

Grace dengan Adrian kebanyakan diam setelah berbincang sesaat. Ini dikarenakan Grace yang amat fokus karena ingin menang. Theo dan Arabella malah kebanyakan tertawa karena ulah Arabella yang terlalu banyak menggunakan make up ke wajah Theo.

"Oh haha ya ampun, maafkan aku," kata Arabella pura-pura menyesal. Tangannya terulur mengusap ujung bibir Theo yang belepotan akan lipstik.

"Tadi di alis, sekarang di bibir. Mungkin aku sudah seperti badut sekarang," celetuk Theo dengan wajah pasrahnya. Ia tidak bisa melihat bagaimana wajahnya sebelum riasan Arabella selesai.

"Haha!" Arabella kembali meledak dalam tawa. "Tidak kok, kau masih tampan," ujarnya tulus. Ia suka menjahili Theo karena pria itupun tidak mengambil hati atas tindakan konyolnya.

"Aku tidak yakin kita menang."

"Akupun begitu." Arabella merespon cepat. "Tidak apa, aku sudah bersenang-senang," sambungnya yang tak sadar jika kalimat itu membuat Theo ikut senang.

Hampir sama seperti Grace, Freya juga sangat serius, bahkan lebih serius. Tekadnya untuk menang menggebu-gebu dan ia juga sudah tahu siapa orang yang akan ia ajak kencan kalau ia menang nanti.

"Kau sangat menyukai Ethan, ya kan?" Kevin menebak. "Aku juga yakin jika menang kau akan memilihnya."

Freya memilih warna lipstik yang paling bagus untuk Kevin sembari menjawab, "Benar sekali. Kalau kau siapa? Grace atau Arabella?"

Kevin memasang tampang berpikir. "Aku masih tidak tahu. Percuma kupikirkan kalau nantinya tidak menang. Jadi aku akan buat pilihan setelah benar-benar menang."

"Oh ya? Kukira menang tidak menang kau sudah menentukan pilihanmu," ujarnya cukup heran, karena setahu Freya, Kevin tertariknya pada Grace atau Arabella.

Sepuluh detik dengan hitungan mundur dimulai. Masing-masing memberi sentuhan terakhir, hanya agar terlihat lebih cantik sebelum mengangkat tangan tanda benar-benar selesai.

"Okey, sekarang kita harus memotret mereka." Grace berseru sambil meraih tablet disebelahnya. Ia mengklik simbol kamera dan mengarahkannya ke Adrian.

Elea memperhatikan wajah Ethan dari tablet dan melakukannya membuatnya berdebar tak karuan. Ia benar-benar mengambil kesempatan dalam kesempitan. Tapi, Ethan terlalu tampan untuk dilewatkan begitu saja.

"Sudah? Kenapa lama? Kau diam-diam memandangku, ya?"

Secepat kilat jari Elea mengklik tombol di tengah bawah tablet untuk memotret begitu Ethan berbicara.

"Tidak. Aku tidak memandangmu, aku hanya mencari posisi yang pas untuk memotretmu," ujarnya sambil menekan simbol pesawat kertas di ujung kiri bawah, mengirim gambar itu ke produser.

"Kau bohong."

"Tidak, aku tidak bohong." Elea melipat tangannya diatas meja. "Kenapa harus seperti itu kalau aku bisa melihatmu secara langsung seperti ini."

Dan Elea langsung merasa ada yang menghantam dirinya sendiri begitu ia selesai berujar.

Ethan berdiri, membungkuk sedikit dan mendaratkan ciuman kecil di bibir Elea. "Bagus, kau bisa melakukannya setiap detik kapanpun kau mau."

Elea tersipu, wajahnya memerah dan Ethan segera mengulurkan tangannya mengusap pipi Elea.

"Jangan tersipu," ujar Ethan pelan dan dalam, karena melihat Elea yang memerah malu membuat rasa ingin memiliki wanita ini lebih besar.

"Aku rasa kita harus masuk ke dalam room chair agar bisa mengungkapkan apa yang kita rasakan saat ini. Bagaimana?" Elea sengaja mengalihkan topik pembicaraan agar Ethan tidak membuatnya berdebar lebih kencang lagi.

"Ide bagus." Ethan berdiri dan menggenggam tangan Elea, menuntunnya ke diary room chair, ruang yang dikhususkan untuk para peserta yang ingin mengungkapkan rasa senang, sedih, kecewa, apapun yang mereka sedang rasakan.

"Kau suka berolahraga?" tanya Ethan tiba-tiba. "Kita bisa berolahraga di sana setiap pagi kalau kau mau," sambungnya menunjuk ke outdoor gym bertuliskan fitness. Ada beberapa barber dengan berbagai ukuran dan juga rowing machine di sana.

"Tidak terlalu. Tapi aku mau dan kau bisa mengajariku."

Ethan tersenyum. "Tentu." Sudah pasti ia akan mengajari Elea, bahkan tanpa wanita itu meminta.

Setelah tantangan berakhir dan menunggu hasil. Semua orang berbincang dan mengambil tempat bersantainya masing-masing. Termasuk Theo dan Arabella. Mereka berdua sudah lebih dekat karena tantangan merias tadi, bahkan sekarang mereka duduk berdua di sebuah bean bag besar dibawah pohon kelapa yang rindang.

"Bagaimana hubunganmu dengan Kevin?" tanya Theo dengan mata menatap Kevin yang tampak berbaring sendirian diatas sun lounger.

"Dia bilang kalau kami belum pernah berbicara berdua, jadi dia menantikannya. Tapi sepertinya sekarang aku tidak percaya." Arabella berkata jujur. Ucapan Kevin nyatanya hanya omong kosong belaka baginya.

Theo menghela napas dan memakai kacamata hitam yang tadi dibawanya. "Aku juga belum menemukan yang cocok, tapi ya setidaknya aku bisa menikmati pemandangan yang indah ini."

"Termasuk aku?" Arabella tahu yang dimaksud Theo adalah lautan dan indahnya vila ini, tapi ia ingin sedikit berseloroh.

"Aku tidak tahu kau indah atau tidak karena aku belum melihat keseluruhanmu," ujar Theo yang jika ditilik lebih dalam, makna ucapannya cukup vulgar.

Arabella berdeham pelan, ia melihat Theo dengan seksama. Pria ini agak cuek, makanya dia tidak populer. Tapi jika lebih diperhatikan, Theo malah menarik di mata Arabella karena lelaki cuek itu bagaikan tantangan yang ia harus menangkan.

"Ada ruang rahasia di vila kalau kau belum tahu. Kita bisa melakukan apa saja di sana dan tidak akan ada yang terekspos," ujar Arabella yang mengikuti arah pembicaraan Theo, jika pria ini memancing maka ia siap dipancing.

Theo sendiri tertawa pelan. Ia menurunkan sedikit kacamatanya dan melirik Arabella. "Jadi, kau mau ke sana?"

Arabella mengambil kacamata Theo dan memakainya di wajahnya. Wanita itu lalu berdiri dan menarik tangan Theo sampai ia bangkit dari duduknya.

"Ayo, sebelum orang-orang curiga ke kita."

Awalnya, Arabella memimpin jalan mereka. Namun, hal itu tidak berlangsung lebih lama karena Theo membalik posisi mereka. Jadi kini Theo yang memimpin hingga mereka sampai di kamar rahasia di lantai dua vila.

"Benar-benar melampaui ekspetasi," gumam Arabella mengagumi isi dari kamar rahasia itu.

Theo sendiri mengunci pintu kamar lebih dulu. Bahaya jika ada orang masuk di saat mereka melakukannya.

"Lihat. Ranjangnya juga lebih besar dari ranjang di kamar utama. Ada sofa, dan juga ada kamar mandinya. Bukankah ini terlalu mewah?"

Theo melihat ke plafon kamar mencari-cari kamera yang biasanya selalu ada di setiap sudut vila, tapi di kamar ini sama sekali tidak ada. Jadi, mereka aman.

"Kurasa kamar ini memang dirancang untuk orang-orang yang mulai kehilangan kendali atas pasangannya," ujar Theo agak nakal.

Arabella tersenyum tipis. Theo begitu menantang sekarang dan ia tidak segan-segan menunjukkan pesonanya.

"Aku bukan wanita suci, Theo. Aku rasa kau harus ingat itu lebih dulu." Arabella mulai melepas pakaian atasnya. "Jika kau menantang ku, maka aku akan msnantangmu balik."

Wajah Theo mengeras melihat Arabella yang secara perlahan membuka kaitan bra-nya, memperlihatkan payudaranya yang tampak penuh dan begitu kenyal. Ia lalu melangkah mendekat dan menyentuh benda besar di dada itu, meremasnya pelan dan mengusap putingnya.

Melihat wajah Arabella yang bernafsu, membuat hasrat Theo semakin membludak, ia pun bergumam, "Sepertinya kita butuh kondom."

*

Puluhan menit kemudian. Suara dari pengeras suara berbentuk persegi memberi instruksi pada mereka semua untuk berkumpul di gazebo karena hasil akan segera diumumkan.

Untungnya, Arabella dan Theo sudah selesai dengan urusan bercinta mereka hingga bisa ikut berkumpul. Karena jika instruksi datang saat mereka masih sama-sama mendesah nikmat, maka mereka akan menghiraukan dan tetap melanjutkan kegiatan mereka.

Ketika mereka bersepuluh sudah duduk di sofa. Speaker persegi berwarna putih itu kembali bersuara.

"Halo semua. Aku akan mengumumkan pemenang dari tantangan hari ini. Begitu aku umumkan, pemenang harus segera menyebutkan nama satu orang yang akan diajak kencan."

Ketegangan diantara mereka menguat. Beberapa menggosokkan telapak tangannya tanda gugup. Sedangkan Ethan menutupi kegugupannya dengan mengusap-usapkan jari telunjuknya ke paha Elea.

"Jadi, pemenang tantangan merias adalah ..." Jeda yang cukup lama terbentang. "... Freya dan Kevin."

Semuanya melihat ke arah Freya dan Kevin sebelum bertepuk tangan memberi selamat pada dua orang itu.

"Kalian diberi waktu satu menit untuk memikirkan orang yang kalian ajak kencan. Dan aku akan menunggu."

Lampu speaker yang berwarna biru masih menyala, menandakan ia masih hidup. Jika padam, maka ia sedang di non-aktifkan.

Satu menit terasa begitu lama bagi yang tidak menang dan terasa sangat cepat bagi pemenang. Beberapa orang tegang menunggu karena khawatir pasangan mereka yang diajak kencan. Ethan, Elea, Arabella, Theo, dan Grace yang paling dibuat khawatir.

"Freya pasti memilihmu," gumam Elea di telinga Ethan. "Tidak diragukan lagi."

Ethan diam tidak menjawab. Ia juga cukup yakin seperti itu. Tapi, bisakah ia menolak? Ia memang bisa setia pada Elea, hanya saja ia tidak ingin Elea khawatir.

"Baiklah. Satu menit berlalu. Tolong sebutkan nama orang yang akan kalian ajak kencan. Dimulai dari Freya lebih dulu."

Elea menyandarkan tubuhnya di sofa, tak siap mendengar nama Ethan keluar dari mulut Freya.

"Ethan. Aku memilih Ethan."

Dan Freya mengatakannya dengan tegas dan yakin. Bahkan tak ada yang terkejut dari mereka karena sudah bisa ditebak siapa yang akan diajak oleh Freya.

Ethan sendiri memeluk Elea dari samping, meyakinkannya. Karena tidak mungkin baginya menolak permintaan itu, mau tak mau ia harus kencan dengan Freya.

"Baik. Selanjutnya adalah Kevin. Sebutkan nama orang yang kau inginkan menjadi teman kencanmu."

"Arabella atau Grace?" Max bersuara pelan menatap Kevin yang wajahnya cukup tegang.

Ya, semua orang juga tahu jika Kevin seperti berada di tengah-tengah kedua wanita itu dan siapapun yang diajak Kevin, pastinya akan menimbulkan sedikit keguncangan pada vila.

Tidak disangka, Kevin malah melirik Elea dan semua orang menangkap hal itu.

"Tidak! Jangan bilang kau--"

Kevin menulikan telinganya dari seruan Ethan, ia akan tetap teguh pada pilihan yang ia rasa paling benar saat ini.

"Aku memilih Elea."

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status