Share

Bab 3 Dilema

“Maaf, gue telat,” bisik Alex dengan lembut sambil membuka ikatan mulut dan juga tanganku. Lalu, pemuda jangkung ini melepaskan hoodie-nya dan memakaikannya di tubuhku. 

Aku memandangnya lekat-lekat. 

Ada apa dengannya? Kenapa sikapnya jadi manis begini? 

“Kenapa lihat-lihat? Udah naksir, ya?” tanya Alex dengan menyeringai. 

“Apaan!” Aku mendorong tubuh Alex dengan kasar. 

“Jadi gini tanggapan lo sama orang yang udah nolongin lo dari kebuasan tua bangka tadi.” 

Alex merengkuh pinggangku dengan kasar. 

“Lo sama biadabnya dengan Juragan Jaka, jadi buat apa gue bersikap manis.” Aku membalas tatapan Alex dengan sama tajamnya. Pemuda ini tidak bisa diprediksi. Sebentar lembut. Sebentar kasar. 

“Benar juga, gue memang gak ada bedanya sama rentenir tadi. Sama-sama menginginkan tubuh lo. Sialnya pria tua tadi sempat mengingkari janjinya. Gue udah bilang bakal lunasi utang lo dua kali lipat. Dia menyanggupi. Eeh, dia malah berbuat curang dengan ngeduluin ke sini buat nikmati tubuh lo.” 

Alex melepaskan pelukannya dan melangkah keluar. Aku segera menaikkan resleting Hoodie agar menutupi tubuhku dengan benar. Baru akan keluar, pemuda itu sudah kembali masuk membawa baskom berisi air. Tanpa berkata, Alex membimbingku untuk duduk di tepi ranjang. 

“Aaww!” pekikku saat Alex menempelkan kain yang sudah dicelupkan ke baskom. 

“Tahan sedikit, biar gak terlalu memar.” 

Aku terdiam, membiarkan Alex mengompres pipiku yang tadi ditampar Juragan Jaka. Selama beberapa menit kami terdiam, aku tidak berani menatap pemuda yang kini duduk jongkok di depanku. 

“Gue harus bikin perhitungan sama tua bangka itu, berani-beraninya mukul lo sampai kayak gini.” 

“Gak usah cari masalah, Lex. Bisa-bisa lo yang babak belur.” 

Alex menarik sudut bibirnya ke atas. Meremehkan kekhawatiranku barusan. Pemuda itu bangkit dan menuju kursi dekat meja belajar.D   merogoh sakunya dan mengeluarkan bungkus rokok.

“Gue benci asep rokok!” ketusku berusaha menghentikan gerakan tangan Alex yang akan menyalakan rokoknya. 

“Bodo.” Alex tetap melanjutkan kegiatannya. 

“Gue gak pernah minta lo buat lunasi utang, apalagi sampai dua kali lipat. Itu urusan lo, ya. Gue Cuma akan bayar lima puluh juta. Dan itu dengan dicicil semampu gue.” 

Pemuda itu kembali mendekat. Lagi-lagi tangannya lancang menyentuh wajahku. Dengan sangat arogan, Alex mengembuskan asap rokoknya tepat di wajahku. “Lo gak tau terima kasih, ya, tadi siapa yang hampir diperkosa. Gue memang menginginkan tubuh lo, tapi gue bukan tipe yang suka maen kasar. Lo tau, kalau gue mau, kita udah berbagi keringat di gudang.” Alex menyeringai lebar. 

“Gue gak akan berterima kasih sama orang yang sama bejadnya dengan juragan Jaka.” Aku menggertakkan gigi. 

“Lo pilih tidur sama gue, atau tua bangka itu? Gue sih gak masalah, gue bisa minta balik uangnya dan membiarkan lo menjadi istri kedua Juragan Jaka. Setelah itu nikmati hari-hari lo yang akan hidup di bawah cengkeramannya.” 

“Setidaknya dia mau menikahi gue, kalau gue mau menerima lamarannya dengan baik, pasti Juragan Jaka gak akan maksa kayak tadi.” 

“Hahahahaha, sekarang lo nunjukin siapa diri lo, ya. Tapi, setelah gue bisa ambil apa yang gue mau.” Alex makin mendekatkan wajahnya.  

Tubuhku tersentak. Mata menatap tajam sosok yang kini sudah tak berjarak lagi. 

“Jangan maen-maen, Lex.” Aku mendorongnya kuat dan segera bangkit menuju pintu. 

Sial. Kuncinya tidak ada di pintu. 

“Mana kuncinya, gue mau keluar.”

“Urusan kita belum selesai.” 

“Gue gak berasa punya urusan sama lo.” 

“Kenapa lo keras kepala, Ra. Lo tadi tanya Sarah tentang kerjaan sampingan dia, kan. Lo tau kerja sampingan Sarah apa? Nemenin om-om di club malam. Sekarang apa bedanya kalau lo tidur sama gue, bahkan gue udah bayar di muka.”

“Gue memang tanya, tapi bukan berati gue mau kerja itu.” 

Tanganku mengepal. Ingin rasanya mencakar-cakar wajah Alex. 

“Memangnya lo mau kerja apa biar bisa lunasi utang lo, jadi pelayan di warung tetangga gak akan cukup.” 

“Asal lo kasih kelonggaran, gue pasti bayar.” 

“Sayangnya gue gak mau, lo harusnya seneng, Ra. Setidaknya gue gak maksa seperti juragan Jaka tadi. Gue mau ngelakuin itu dengan lo yang siap.” 

“Gue gak bakal siap buat berzina. Mending lo masukin gue ke penjara, atau bunuh aja gue, ambil nyawa gue sebagai ganti utang.” 

“Brengsek! Lo ngeselin banget, Ra. Jual mahal.” 

“Biar. Itu prinsip gue, sesusah apa pun gak akan gue jual kehormatan?” 

“Oke, lo mungkin tahan untuk hidup di jalanan. Tapi apa lo tega adik-adik lo juga kesusahan hanya karena lo mementingkan harga diri.” 

Alex menyeringai. Pemuda itu seperti baru saja menemukan cara untuk bisa membuatku menuruti kemauannya. 

“Jangan bawa-bawa adik gue!” 

“Bokap lo pakai surat rumah ini buat jaminan utang ke rentenir. Otomatis karena gue yang lunasin, surat-surat rumah ini ada sama gue. Dan gue bisa suruh Lo pergi dari rumah kapan pun. Terserah lo mau pilih mana? Keluar dari sini tanpa ada tempat bernaung? Atau lo mau melayani gue?” 

Alex membuka pintu lantas pergi begitu saja. 

Di ruang tengah, Rani dan Ridho duduk dengan wajah ketakutan. 

Ya Tuhan, apa yang harus aku lakukan?

Sepanjang sisa hari itu, aku terus berpikir langkah apa yang harus kuambil. Menuruti kemauan Alex atau membiarkan pemuda itu mengembalikan uangnya pada Juragan Jaka. Itu artinya aku harus bersedia menikah dengan rentenir itu. 

“Aaarrggh!” Aku menarik rambutku dengan kuat. 

“Kenapa kamu, Neng? Meni ruwet pisan mukanya?” Bu Jamilah menatap heran. Wanita ini adalah pemilik warung yang sudah berbaik hati mau menerimaku sebagai pelayan. 

“Enggak apa-apa, Bu. Cuma lagi pusing aja.” 

“Apa ini karena utang kamu itu?” Bu Jamilah menatapku prihatin. 

“Iya, Bu. Besok jatuh tempo dan Maura belum ada uang sepeser pun.” 

Ibu berjilbab maroon itu mengembuskan napas dengan kasar. Lantas duduk di bangku depanku. 

“Ibu juga gak ada simpenan sebesar itu, Ra. Jadi Ibu gak bisa bantu. Mungkin gak ada salahnya kamu menerima tawaran Juragan Jaka buat jadi istri keduanya. Jangan sampai memilih jalan yang salah, Ra.”

“Maksud, Ibu?” 

Lagi-lagi wanita setengah baya di depanku mengembuskan napas panjang. 

“Jaman sekarang banyak gadis-gadis menjajakan tubuhnya demi uang. Ibu harap kamu gak begitu, kamu anak baik. Lebih baik jadi istri kedua tapi kehidupan kamu terjamin, dari pada kamu menjual diri.” 

“Astaghfirullahal adzim, jangan sampai, Bu.” 

“Makanya, kamu pikir matang-matang, ya. Sekarang kamu beres-beres yang di belakang. Ini udah waktunya tutup.” 

“Iya, Bu. Maura ke belakang dulu.” 

Aku melangkah ke dapur dan mencuci piring bekas makan para pelanggan.

Tepat pukul sepuluh malamamalam sampai di rumah. Kulihat Ridho masih belum tidur, adikku yang satu ini tampak memikirkan sesuatu. 

“Ido, ada apa, Sayang.” Kuusap lembut puncak kepalanya.

“Ido mau ngomong sesuatu sama Teteh, tapi Ido gak tega karena Teteh lagi banyak masalah.” 

Aku menatap lekat wajah adikku. Anak seusianya harusnya sedang senang bermain dan belajar, bukan memikirkan beban kehidupan yang sedang kutanggung sekarang. 

“Teteh ini kakak kamu, Ido. Jadi, apa pun yang kamu pikirkan, jangan sungkan ngomong sama Teteh. Insyaallah Teteh akan menyelesaikan semua masalah keluarga ini. Sekarang Ido bilang ada apa, hm?” 

“Besok hari terakhir pembayaran iuran ujian, Teh.” 

Ya Tuhan. Kenapa aku bisa lupa. Ridho sudah memberitahukannya sejak seminggu yang lalu, tapi karena sibuk memikirkan utang pada Juragan Jaka membuatku lupa yang satu ini. Bahkan aku pun belum membayar uang ujianku. 

Huft. Harus ke mana mencari pinjaman. Sementara gajian tempat Bu Jamilah pun sudah aku kasbon. 

Haruskah aku memilih lamaran Juragan Jaka? Tapi, apa pria itu mau mengembalikan uang sebesar itu pada Alex? Atau ... kuturuti saja kemauan Alex. Jika bermain aman, pasti tidak akan ada yang tahu tentang ini. Namun, haruskah aku mengorbankan harga diri demi sebuah kenyamanan. Apa jadinya jika melakukan hubungan intim tanpa sebuah pernikahan?

Tuhan, aku benar-benar buntu. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status