“Ke mana sebenarnya perginya Winter?” Vincent bersedekap kesal duduk di hadapan Benjamin. Dia sudah kembali sejak satu hari yang lalu, namun kedatangannya tidak di sambut siapapun karena Winter memberi kabar bahwa dia pergi untuk liburan. Winter sama sekali tidak memberitahu dia pergi liburan ke mana, dia meninggalkan handponenya dan hanya membawa Nai sebagai pengawalnya. Sialnya Nai juga sama sekali tidak bisa di hubungi. “Aku juga tidak tahu” jawab Benjamin sambil fokus melihat layar komputer di hadapannya, Benjamin mengulang-ulang rekaman cctv yang memperlihatkan Winter masuk ke ruangan kerjanya mengambil uang dan bereaksi histeris menangis ketika melihat isi amplop rahasia miliknya. Selama ini Benjamin sering menjauhkan Winter dari hal-hal yang bersangkutan dengan Kimberly, namun Winter tidak pernah mau berhenti, terkadang dia merelakan untuk diam-diam menemui Kimberly. Benjamin melarang Winter tanpa memberikan alasan yang pasti kepada puterinya, namun satu hal yang pasti, in
Paula membuang napasnya dengan lega karena akhirnya Lana mengirimkan pengacara untuknya, ternyata selama ini Lana berusaha mencari pengacara untuknya. “Ingin berdiskusi apa?” Kevan menggeleng dengan berat. “Saya tidak datang untuk berdiskusi, namun membawa kabar untuk Anda,” jawabnya dengan berat dan penuh tekanan, mengisyaratkan jika pria itu membawa kabar yang benar-benar sangat penting. Kening Paula mengerut samar, gadis itu menatap Kevan dengan serius. “Kabar apa?” “Sejak satu minggu lalu saya tidak bertemu lagi dengan ibu Anda. Namun tiga hari yang lalu saya di hubungi oleh pihak kepolisian, mereka memberitahu bahwa nyonya Lana di temukan tewas karena bunuh diri, dia melompat menabrakan diri pada rel kereta,” jelas Kevan seraya mendorong Koran yang memuat berita kematian Lana. Genggaman Paula pada gagang telepon terlepas, gadis itu tecekat kaget dan napasnya tertahan di dada. Paula berkedip dengan cepat, wajahnya pucat pasi, dengan ragu Paula menurunkan pandangannya, melihat
Dua jam setelah kedatangan Vincent ke apartement, Winter memutuskan pulang bersama Nai, kedatangannya kembali ke rumah di sambut oleh beberapa orang dokter yang langsung ingin menangani lukanya, namun Winter menolak dan memilih akan kembali pergi jika Benjamin tidak memulangkan mereka. Winter tidak membutuhkan perawatan apapun, yang dia butuhkan sekarang adalah penjelasan langsung dari mulut Benjamin. Penjelasan Benjamin akan membuat Winter memutuskan apakah dia pergi meninggalkan keluarga Benjamin atau memaafkan mereka. Benjamin membawa Winter ke dalam ruangan kerjanya, Benjamin tidak bisa langsung berbicara begitu merasakan ada sesuatu yang berbeda pada diri Winter. Benjamin sangat gelisah, dia terlihat kacau hingga tidak tahu harus memulai perbincangan mereka dari mana. Pembicaraan ini adalah sesuatu yang paling tidak ingin Benjamin lakukan seumur hidupnya karena harus mengorek luka lama. Luka lama lama itu masih belum kering, masih sangat menyakitkan dan membutuhkan banyak pen
“Apa Winter menghubungimu?” tanya Benjamin. Vincent menggeleng, sejak pembicaraan serius keluarga mereka kemarin, Winter masih belum memberikan tanda-tanda bahwa dia akan kembali pulang. “Bagaimana dengan keadaannya?” tanya Benjamin lagi. “Dia mau menerima dokter yang kita kirimkan,” jawab Vincent dengan pelan. Vincent sedikit bisa bernapas dengan lega, meski Winter kecewa padanya dan Benjamin, setidaknya Winter mau menerima tawaran penyembuhan lukanya. “Ayah,” panggil Vincent dengan lembut. Benjamin menengok, menatap sendu Vincent. Rasa lelah dan sedih tergambar jelas di mata Benjamin, namun dia tidak bisa mengeluh karena dia seorang kepala keluarga. “Ada apa?” tanya Benjamin. Vincent menelan salivanya dengan kesulitan. “Maaf,” ungkap Vincent begitu dalam. “Aku minta maaf, karena kehadiranku, aku merenggut kebahagiaan Ayah.” Benjamin terdiam, bibirnya bergerak samar membentuk senyuman. Vincent yang begitu keras dan tidak pernah membicarakan masalah ini, kini akhirnya mau memb
Winter berjalan menyusuri lorong rumah sakit, gadis itu kembali berdiri di tempat biasanya, berdiri di belakang tembok melihat pintu ruangan tempat Marius berada yang selalu di jaga dengan ketat oleh keamanan. Winter tersenyum samar, betapa ingin dia pergi menemui Marius dan melihatnya sekarang, namun dia tidak ingin menimbulkan keributan karena kesembuhan Marius adalah yang paling penting dari keberadaanWinter di sisinya. Tidak ada yang akan mengganggu Marius lagi kedepannya karena Sean dan Shanom sudah hilang dari muka bumi ini. “Nona Winter.” Winter tersentak kaget karena seseorang memanggilnya dari belakang, Winter menengok dan melihat Jenita yang memanggilnya. Jenita tersenyum begitu senang melihat kehadiran Winter. Winter terpaku kaget, gadis itu melihat Jenita dengan kebingungan karena tiba-tiba Jenita menjadi baik kepadanya dan menyambutnya. Kening Jenita mengerut samar melihat wajah Winter yang memiliki luka lebam begitu pula dengan tangannya yang begitu dia raih, bu
Levon duduk dengan tegak di samping Marius, pria itu kembali datang dengan cepat dan memilih mengesampingkan semua pekerjaannya yang selama ini selalu menjadi prioritasnya. Sejak Marius terbangun kembali, tidak ada pembicaraan yang berarti terjadi di antara mereka. Levon sendiri sadar, terlalu banyak kesalahan yang telah dia buat hingga tidak dapat lagi di jabarkan dengan kata-kata. Kini Levon sedang berusaha membuka kasus di balik penyerangan yang di alami puteranya, namun yang menjadi masalahnya adalah Shanom dan Sean tiba-tiba menghilang sejak beberapa hari yang lalu. Perginya mereka secara bersamaan semakin menguatkan kecurigaan Levon jika keduanya memang dalang dari semua masalah yang terjadi. Jika Marius semakin tidak berdaya dengan keadaan tubuhnya, hal ini akan menciptakan guncangan hebat untuk perusahaan dan Sean akan terpilih sebagai peminpin selanjutkan ketika Levon pensiun di karenakan Sean lebih berpengalaman. Hak Marius tidak mungkin juga di ambil Jenita begitu saja
Levon dan Jenita yang tertidur di sofa langsung di buat terbangun begitu merasakan pergerakan orang yang lewat. Mereka melihat ke penjuru ruangan, memperhatikan kedatangan dua dokter dan satu perawat memasuki ruangan tempat Marius berada, para ahli medis itu mereka langsung menuju ranjang dan melakukan suatu tindakan yang terlihat darurat karena Marius semakin kesulitan bernapas. Perlahan Levon bangkit, dari balik kaca Levon melihat para pekerja medis yang terlihat sangat berusaha membantu Marius agar kembali stabil. Wajah Levon tampak pucat di penuhi oleh kekhawatiran, padahal dua jam yang lalu keadaan Marius terlihat membaik bahkan Marius sempat berbicara dengan akrab bersamanya dan juga Jenita, namun ternyata kini keadaan dia kembali memburuk. Jenita meminta Levon terduduk lemah, rapalan do’a dan harapan tidak pernah putus, namun suara kesakitan Marius yang teramat dalam begitu menyiksa pendengaran Jenita dan Levon. “Masa depanku sudah gelap semenjak melihat Marius kembali ter
Winter tertunduk mengenggam tangan Marius, gadis itu bernapas dengan tersenggal tidak mampu menutupi apapun lagi yang selama ini dia rahasiakan. Winter meletakan bunga itu tangan Marius agar pria itu menggenggamnya. Rahasia yang begitu sulit untuk Winter beritahu mengenai siapa dia sebenarnya kini akhirnya meledak mendorong Winter lebih berani berkata jujur. “Dulu, saat masih kecil, tepat di hari kasih sayang, kita menjual bunga mawar di jalanan hingga malam hari agar aku kita bisa membeli sepatu baru karena sepatu lamaku harus di pakai adik-adikku. Aku masih ingat, saat itu tiba-tiba saja kau berlari pergi mengambil sebuah simpul kain berwarna biru yang mengikat beberapa cangkang kado, kau menutup mataku dan memaksaku untuk pergi dari tempat itu. Kau bilang kau akan memberiku kejutan. Sebenarnya aku tahu, alasan kenapa saat itu kau terburu-buru membawaku. Di dekat toko kita berjualan, ada ayahku yang tengah makan malam bersama isteri dan anaknya, mereka terlihat bahagia, kau membaw