Rangga mengumpat pelan, kemana pun dia berjalan dia menjadi bahan ejekan karena setia mengekori Naima kemana pergi. Naima bersikap tak peduli, tapi Rangga semakin salah tingkah setiap menangkap bisik-bisik miring para juniornya itu.
Sekarang Naima menyuruhnya menunggu, ada buku yang harus diambilnya terlebih dahulu."Hai, Bro."Tepukan halus di bahunya membuat Rangga menoleh. Alex, dua tahun di bawahnya, tapi pria itu tak menghormatinya sedikit pun."Kau jadi artis di kampus kita, jadi trending topik.""Kenapa?" Rangga menangkap ada yang mau dikatakan Alex, Alex sangat suka ikut campur."Habisnya kau menghinggapinya seperti lalat.""Apa ngak ada perumpamaan yang lebih baik dari itu? kau tidak sopan." Rangga mendecakkan lidahnya, dia tidak suka dengan orang yang tidak sopan."Aku heran, apa keuntungan yang di dapat dari dosen cantik itu?" Alex semakin penasaran."Aku cepat lulus, itu saja.""Itu keuntungan biasa, selain itu?""Keuntungan apa lagi?" Rangga tidak paham ke mana arah pembicaraan pemuda urakan itu."Setidaknya kau dapat kehangatan darinya, atau lebih tebatnya hubungan satu malam."Rangga marah, kemudian memukul kepala Alex, mulut itu benar-benar kurang ajar. Alex malah tertawa."Kau kira aku sepertimu.""Ayolah, kau kolot sekali, dua puluh tahun masih perjaka? Kau merusak citra orang ganteng abad ini.""Terserah kau saja." Rangga tidak tertarik membahas masalah itu."Ck ck ck...kasihan dia, wajah kakunya itu karena tidak pernah mendapatkan sentuhan laki-laki."Belum selesai Alex bicara, sebuah pukulan yang sangat keras mendarat di wajahnya, Alex meringis, bangkit dari duduknya, mengusap bibirnya yang pecah. Wanita yang berada di sana menjerit saat Alex bangkit membalas pukulan Rangga, dua manusia itu saling bangku hantam tanpa berniat mengakhiri.Alex sudah babak belur, Rangga menunjuk wajah lebam itu dengan geram, secara fisik dan kemampuan bela diri, dia jauh lebih unggul dari Alex."Jaga mulutmu! jangan bicara kurang ajar.""Ha ha ha." Alex tertawa. "Apa kau impoten? Karena aku mendapati pacarmu masih dalam keadaan perawan, pacarmu luar biasa...."Rangga mengamuk, sekali terjang akhirnya Alex tak sadarkan diri. Dia sangat marah dengan apa yang dikatakan Alex. Apa yang baru saja Alex katakan? Mendapati pacarnya yang masih....Di sudut sana, seorang wanita berkerudung biru menyimak semua kejadian itu dengan bibir bergetar. Dia adalah Naima, dia tak menyangka sedikit pun, begitu rendah Alex menilainya.Tak ada yang berani membantu Alex, dan belum ada satu pun ke amanan yang datang di lokasi itu, karena mereka agak jauh dari gedung pusat.Rangga mengusap darah yang mengalir di bibirnya secara kasar, ketika dia berpaling, matanya menangkap wajah Naima, matanya berkaca-kaca, dan pandangannya sulit di artikan.Naima berlari, sejauh yang dia bisa, Rangga mengejarnya, dia tak peduli dengan bisik bisik penasaran mahasiswa lain.Rangga berhasil menangkap lengan Naima, walaupun di hempaskan secara kasar."Bu, sejak kapan ibu berada di situ?""Itu bukan urusanmu." Naima berjalan ke parkiran, membuka kunci mobilnya, dengan sigap Rangga masuk lebih dulu."Turun!" perintah Naima ketus."Saya tidak mau.""Aku bilang turun!" jeritnya."Tidak." Rangga menjawab dengan suara meninggi."Ini mobilku.""Kau istriku." Rangga tidak mau mengalah. Naima putus asa, kalimat penghinaan yang dilontarkan Alex terus terngiang di kepalanya.Dia menundukkan wajah ke stir mobil. Bahunya bergetar, tapi suara tangis itu tidak keluar."Tinggalkan aku sendiri!""Aku tidak mau, kau harus mendengar langsung dariku.""Sejak kapan kau menjadi tidak sopan kepadaku." Naima mendelik dengan mata basahnya."Kita harus bicara! aku tak ingin kau memiliki kesimpulan sendiri.""Jangan mendikteku! kau hanya... hmmmmphhtf...."Ucapan Naima tenggelam di tenggorokan saat Rangga membungkamnya. Naima memukul mukul dada Rangga, berniat melepaskan diri.Plak!Sebuah tamparan mendarat di pipi Rangga. Rangga tersenyum masam, meraba pipinya, tidak hanya Naima yang terluka hatinya saat ini, dia lebih jauh terluka mengetahui fakta tentang kekasihnya, dia tidak menduga sama sekali akan mendapatkan pengkhianatan separah ini."Jangan kurang ajar padaku!" Naima menghapus sisa perbuatan Rangga yang tertinggal di bibirnya."Keluar dari mobilku!"Naima kembali berteriak. Rangga menatap nanar, akhirnya dia mengalah."Kita akan bicara di rumah," jawab Rangga kemudian.Rangga menutup pintu mobil Naima dan menyalakan motornya, kemudian dia pergi dengan kecepatan tinggi. Wanita itu adalah tujuannya, orang yang sangat dicintainya, dia harus mendengarnya sendiri, dia berharap apa yang dikatakan Alex hanya sekedar bualan.Naima terisak, dia sangat terhina, kenapa laki-laki memandang rendah dirinya hanya karena dia perawan tua. Ucapan Alex sangat menyakiti hatinya, apa salahnya pada Alex selama ini.Rangga mengetatkan rahangnya, andaikan yang di depannya ini adalah laki-laki, dia akan menghajarnya, hatinya sangat sakit, mendengar pengakuan Nayla yang menjijikkan.Gadis cantik itu masih terisak, aib yang selama ini disimpan rapi akhirnya terbongkar juga. Dia sudah menduga semua ini akan terjadi. Tapi tidak menyangka akan secepat ini."Kenapa kau lakukan itu?"Rangga menatap dingin, ternyata semua yang di sangka bualan Alex adalah sebuah kenyataan. Jika biasanya dia memuja wanita di depannya, sekarang dia begitu jijik, semua bagian yang ada pada tubuh wanita bodoh itu sudah tidak suci lagi.Dia mengaku sudah melakukannya selama dua bulan terakhir bersama Alex, dan Rangga tidak tau? Betapa bodohnya dia selama ini. Pantas saja Alex terang terangan mengejeknya."Maafkan aku!""Kenapa? Apa yang kurang dariku selama ini?"Rangga meremas rambutnya, hatinya benar-benar hancur."Aku juga ingin seperti orang lain, berpelukan, berciuman....""Dan berzina? Itu yang kau inginkan?" Rangga geram
Bulan Desember diidentik dengan musim hujan, benar saja, hujan sudah turun dari jam lima sore dan sampai jam sepuluh malam belum juga berhenti.Naima termenung, dia melipat kakinya di atas kursi, memeluk lututnya sendiri, teh hijau mengepulkan asap karena masih sangat panas.Suasana hatinya belum membaik, setelah penghinaan Alex dan ciuman sepihak Rangga, dia semakin kesal, apa alasan di balik itu, bahkan itu adalah ciuman pertamanya.Naima masih ingat, aroma mint yang bercampur rasa karat karena bibir Rangga yang berdarah. Sudah tiga jam Naima berfikir, namun belum juga dia menemukan alasan yang paling tepat atas perbuatan Rangga.Baru saja dia berniat menyesap tehnya, bunyi bel apartement menghentikannya, Naima meletakkan kembali cangkirnya, berjalan berlahan menuju pintu.Rangga berdiri di sana dengan penampilan kacau, rambut dan tubuhnya basah kuyup, wajah lebam dan bibirnya pecah.Jika biasanya senyum konyol keluar dari bibir itu, sekarang hanya ada wajah datar dan dingin. Tak ad
Rangga mengamati wajah mungil yang sedang sibuk mengoleskan anti septik ke pipi kirinya, Naima yang dingin, Naima yang datar, perhatiannya fokus ke bagian wajah Rangga yang terluka.Rangga bersumpah, saat ini dia tidak menganggap Naima adalah dosennya, pelayanan kali ini sebagai sebuah wujud bahwa wanita itu memang adalah istrinya yang sah.Jari halusnya mengobati luka Rangga dengan telaten, meniup sedikit bagian luka ketika Rangga mendesis merasakan sakit. Hujan semakin deras, udara semakin dingin, tak ada percakapan apapun, hanya suara hujan yang disertai suara guntur yang menemani mereka.Rangga tetap saja merebahkan kepalanya di sisi sofa dengan Naima di sampingnya. Baru satu luka yang diobati Naima, ada luka yang lebih parah dari itu, berada di tempat yang mereka perdebatkan tadi.Naima mengalihkan pandangannya, terpaku pada bibir yang sudah berbuat suka hati kepada dirinya siang tadi, Naima menjauhkan tangannya, dia gugup... terlebih lagi mata tajam Rangga menembus bola matanya
Hari hari Naima kembali sepi, tak ada lagi celotehan Rangga di rumahnya, tak ada lagi yang mengekorinya ketika di kampus. Semuanya terasa janggal dan aneh, karena dia sudah terbiasa.Naima tidak menyangka Rangga akan setersinggung itu, dia tidak berniat mengusirnya, dia cuma takut mereka bertindak lebih jauh. Hasrat yang baru mereka kenali akan membakar mereka tanpa sisa dan membuahkan penyesalan di kemudian hari.Tiga hari, tiga hari Rangga tidak menampakkan batang hidungnya di depan Naima, Naima tidak tau keberadaannya, tidak tau nomor telponnya, jika Rangga begini maka tujuan mereka tidak akan tercapai.Naima cukup pusing, Rangga adalah tanggung jawabnya, jika saja dia gagal membina laki-laki itu maka kualitasnya akan dianggap menurun, dia tidak mau itu terjadi, bertahun- tahun dia tertatih untuk mencapai karir setinggi ini, menjadi salah satu orang yang berpengaruh besar di Universitas.Naima tidak boleh kehilangan semangat, anggap saja semua ini bukan untuk Rangga, tapi untuk dir
Naima mengamati Rangga dari ujung rambut sampai ke ujung kaki, kenapa tuhan menciptakan manusia secara tidak adil, laki-laki di depannya memiliki ketampanan yang kelewatan, apalagi tanpa senyuman bodoh di wajahnya, cukup! Naima menghentikan pikirannya yang mulai melantur.Rambut Rangga berantakan ditiup angin sore, sebagian menutup separuh wajahnya, kaos tanpa lengan dan celana robek, ciri khas yang tidak pernah lepas dari pria itu. Rambut gondrongnya diikat asal, menyisakan anak rambut yang menjuntai di bagian lehernya."Ini tempat persembunyianmu?" Naima mendongak melihat rumah pohon dengan mata berbinar."Begitulah." Rangga sedikit heran, kemaren dia ditampar oleh Naima, sekarang Naima malah tersenyum dan berbinar. Dia terlihat bahagia, bahkan Rangga masih merajuk karena ulah wanita itu."Kau tidak sopan." Naima melipat tangannya."Bu, saya tidak...." Rangga masih penasaran kenapa wanita itu sampai di sini. Tapi ucapannya langsung disela olehnya."Aku ingin naik ke atas." Naima tid
Naima memandang ke luar, hujan sudah turun sejak dua jam yang lalu, bahkan tidak ada tanda-tanda akan berhenti, langit semakin kelam.Naima melirik jam tangannya, jam enam lewat sepuluh, hampir malam.Untung saja, rumah pohon ini dibuat dengan tingkat keamanan yang tinggi, hanya saja udara basah terus saja menerjang masuk sehingga suhu teramat dingin.Naima melihat mobilnya yang sudah berkubang lumpur, air hujan menggenang di sekelilingnya dengan ketinggian dua puluh senti meter.Rangga betah dengan kesunyiannya, Naima pikir, laki-laki itu tipe pendendam, bahkan dia sudah memancingnya bicara berulang kali, dan ditanggapi Rangga dengan acuh tak acuh.Naima tidak lagi memaksa Rangga, patah hatinya cukup mempengaruhi mood-nya, dia tak seperti biasanya. Laki-laki itu tak menanggapi apapun yang dikatakannya, dia sibuk menghisap rokok di tangannya, bahkan puntung rokok itu sudah memenuhi asbak."Ini sudah hampir magrib, bagaimana caranya aku pulang, ya?" Naima terdengar seperti tengah berta
Naima meringkuk menghangatkan dirinya sendiri dengan pakaian basah, dia memeluk lututnya, menumpukan dagunya yang bergetar kedinginan, tak ada percakapan karena Naima sengaja membelakangi Rangga, menyembunyikan tubuhnya karena baju basah yang lengket di kulit.Rangga menghidupkan lentera kecil, meletakkannya di dinding berdekatan dengan lukisan pegunungan, cahaya temaram berpendar ke penjuru ruangan, hujan belum juga berhenti, malah angin semakin kuat menerpa ke dalam rumah pohon.Rangga menarik tali penutup jendela, mengurangi angin yang masuk dan membuat mereka menjadi beku. Naima semakin mengigil, meremas lengannya sendiri.Rangga mendekatinya, meraih bahu bergetar itu berlahan. Mata Naima agak membesar kaget, tapi dengan cepat dia kembali menguasai diri."Ibu, lapar?"Naima menggeleng, kemudian mengetatkan lagi tangannya untuk memeluk kakinya sendiri."Maafkan saya," lirih Rangga, ke adaannya juga tak kalah basah, tapi dia kuat dan tidak terlihat kedinginan sama sekali.Hujan teru
Malam merangkak larut, hujan sudah berhenti menyisakan gerimis dan suara binatang penghuni malam yang berbunyi bersahut sahutan. Padang ilalang disekitar rumah pohon ini lebih cocok digunakan untuk berkemah, melihat tidak adanya falisitas apapun di rumah pohon ini, menandakan bahwa yang punya tidak tidur disini dimalam hari.Rangga sibuk dengan pensil dan sebuah kertas di tangannya, dia mengalihkan kebosanan dengan menghasilkan karya, Naima mengamatinya, lengan kokoh berotot yang menjanjikan perlindungan.Pada dasarnya hubungan mereka baik, sebelum insiden penghinaan yang di lakukan Alex dan tragedi patah hati Rangga.Naima bangun dan menyandarkan kepalanya ke dinding. Mereka harus memulihkan komunikasi yang beku selama beberapa hari ini."Apa cita citamu?"Rangga menghentikan gerakan tangannya, menoleh ke arah Naima."Menjadi pelukis handal.""Lalu kenapa kau mengambil jurusan bisnis?" tanya Naima penasaran."Karena menurut bapakku melukis bukanlah pekerjaan dan dianggap tak berguna.