Share

Bab 5

Louisa terpaku beberapa saat menangkap lelaki berkemeja abu-abu tengah berdiri menyambutnya di salah satu meja restoran. Iris biru samudra yang terasa gelap itu berkilat, bersamaan senyum miring tersungging di bibir tipisnya.

Mr. Cross.

Pelayan tadi menyilakan Louisa menghampiri CEO tersebut lantas dia melengang pergi. Bola mata Louisa melirik ke sekitar sementara kakinya mengayun mendatangi Dean yang tidak memalingkan perhatian.

"Eng ... apakah hanya kita berdua?" tanya Louisa begitu Dean menarik kursi untuknya dan mereka duduk berhadapan.

"Ya," jawab Dean. "Karena aku tidak mau ada wartawan sialan yang menyerangmu dengan pertanyaan bodoh itu. Bikin pusing saja."

Sialan! umpat Louisa begitu mendengar Dean telah mengetahui gosip yang menerpa dirinya dan Troy.

Dia tak langsung menanggapi, malah memerhatikan penampilan Dean dari dekat. Kemeja putih yang dibungkus setelan jas abu-abu gelap begitu pas di badan kekar pria itu, menonjolkan lekuk otot biseps yang begitu terlatih. Apalagi kancing teratasnya dibiarkan terbuka memamerkan kalung emas berliontin satu sayap. Sementara telinga kiri Dean terdapat satu tindik keperakan yang dirasa Louisa benar-benar bagai pria berandal.

Namun, di balik penampilannya yang luar biasa menawan, seksi, juga menggoda, ucapan Dean benar-benar terkesan angkuh, tapi tidak dipungkiri kalau itulah kenyataannya sekarang. Dia enggan bertemu wartawan dan harus menjawab pertanyaan mereka tentang Troy.

Pandangan mata Louisa mengarah ke garis bibir kemerahan Dean yang menenggak wine sampai habis tanpa menyentuh makanannya sama sekali. Lantas berpindah pada gerakan jakun di leher lelaki itu. Betapa menyenangkannya andai Louisa memberi kecupan dia sana.  

Sadarlah, Lou! Jangan terlena dengan calon pencabut nyawamu! Ingatlah, tetap sadar!

Sialnya, alam bawah sadar Louisa menyuruh untuk tetap waras sekaligus waspada atas apa yang bakal terjadi nanti. Sementara sisi lainnya yang sedang hampa usai ditinggal Troy bak kehausan ingin menikmati pemandangan seperti ini untuk beberapa saat ke depan. Belum tentu akan ada kesempatan bisa satu meja dengan petinggi agensi seperti Dean. Batinnya berbisik kalau mimpi buruk Louisa bisa berakhir dengan mimpi indah sampai tuntas hanya menikmati malam bersama salah satu ciptaan Tuhan paling sempurna! 

Dewi batin Louisa juga berkata bahwa biarlah dia mati dalam kedamaian asalkan berada dalam pelukan Dean yang sehangat kecupan mentari. Sebuah mimpi konyol di tengah-tengah keputusasaan juga kenikmatan sesaat yang bertemu dalam satu waktu. Mana mungkin hal tersebut bakal terjadi? Tapi, dia ingat apa yang dikatakan Cory itu benar, perempuan yang mendekati Dean harus berhati-hati agar tidak terjebak oleh rayuan berujung ambisi untuk mendapatkan hati sang CEO.

"Bisa kau lepas kacamatamu itu, Ms. Bahr?" pinta Dean dengan suara rendah di telinga. Nyaris seperti bisikan sensual. "Aku merasa kau tidak menghargai pertemuan ini."

"Jangan bilang Anda akan menusuk mataku dengan garpu agar bisa membunuhku dengan mudah," kata Louisa berintonasi cepat. Tidak salah kan dia menuduh Dean yang mengajaknya berbicara empat mata?

Beberapa saat Dean menganga lebar kemudian terpingkal-pingkal atas pikiran tak senonoh Louisa. Barisan gigi putih nan rapi juga bibir kemerahan itu malah menaikkan daya pikat Dean ke titik tak terbatas. Apalagi sinar mata biru samudranya bercahaya bagai bulan menerangi wajah lelaki itu. Dia menjilat bibir dengan lidah membuat Louisa berimajinasi bagaimana jikalau dirinya yang berada di sana? Menikmati belaian erotis Dean untuk melupakan sakit hatinya?

"Kau pikir aku apa? Lepas kacamatamu!" perintah Dean tegas melenyapkan senyum lebar di wajah.

Sial sungguh sial! Otak Louisa seperti disuntik bius, luluh begitu saja mendengar permintaan yang terkesan memerintah. Sementara dewi batinnya menguatkan kalau di sini tidak ada orang, jadi tidak perlu malu bagi Louisa bersikap apa adanya di depan Dean. Termasuk matanya yang bengkak dan menyedihkan.

Gadis itu mengangkat bahu sambil melipat kacamata dan menyimpannya dalam clutch hitam. "See? Aku benar-benar buruk, Mr. Cross, tapi Cory memaksa untuk menemui Anda. Selain itu ... agak aneh kalau Anda mengajak untuk bertemu secara pribadi di tempat sebesar ini."

"Kenapa memangnya,

Ms. Bahr?" tanya Dean menuangkan wine ke dalam gelas miliknya. "Aku di sini menghiburmu. Minumlah! Dari tadi kau mengabaikan hidangan itu"

Apa aku tidak salah dengar?

Sebelah alis Louisa terangkat sebelah mencari-cari maksud terselubung di balik mata biru samudra Dean. Dia mengembuskan napas seakan mengibarkan bendera putih tak mampu membuka lapis demi lapis isi kepala pria di depannya. Terlalu rumit seperti labirin dengan ratusan pintu yang tidak bisa dia pilih sekali waktu. Malah spekulasi Louisa makin menguat tentang rencana pembunuhan  Dean walau lelaki itu membantah. Jemarinya meremas clutch, pelan-pelan membuka untuk mengambil semprotan cabai, sekadar berjaga-jaga ada sesuatu yang buruk terjadi.

Namun, Dean masih terlihat begitu tenang bagai air yang tidak bisa diselami seberapa deras arusnya. Aura dan cara pandang Dean kepada Louisa membuatnya terbius oleh ratusan botol chlorofom. Dean terlalu mahir memanipulasi keadaan atau dirinyalah yang mulai terlena dan terjerembap dalam jebakan indah ini.

"Minumlah!" perintah Dean sekali lagi, menunjuk gelas wine dengan dagu.

"Aku tidak paham apa maksud Anda, Mr. Cross. Anda benar-benar tidak merencanakan sesuatu yang buruk kan?" tanya Louisa berusaha mencari jalan keluar untuk tidak kena tipu daya Dean. Namun, jemarinya menuruti perintah Dean. Lagi. Memeluk kaki gelas dan menghirup sebentar aroma anggur sebelum menyesapnya pelan. Sial, walau meneguk minuman enak itu, bola mata Louisa seolah-olah enggan berpaling dari tatapan mendominasi Dean. Apakah dia sudah mulai lupa caranya berkedip? 

Louisa mencoba menggapai-gapai apa pun untuk membuatnya bertahan agar tidak semakin jatuh ke dalam lubang yang digali Dean. Patah hati. Kalau memang ingin membunuhnya, kenapa wine yang ditenggak tidak langsung membuat jantungnya lemah? Kenapa dia masih tersadar penuh dan terfokus pada cara pandangan Dean? Louisa berpaling, menelan ludah sambil merutuk dalam hati. 

Biru samudranya sangat memesona.

"Aku senang kau mendapat pujian banyak orang. Itu yang pertama," ungkap Dean menghidu gelas wine sebelum menyesap. Gerakan tangannya memegang gelas tampak begitu elegan dan berkelas bagi Louisa. Dia mengamati urat nadi Dean yang terlihat jelas, kembali membayangkan jika jemari Dean menelusuri tiap lekuk tubuh dan memberikan jejak-jejak samar dengan bibir itu. Ketika meneguk minuman tersebut, biji mata Louisa langsung tertuju pada jakun Dean naik-turun. "Kedua. Aku mendengar kau dicampakkan kekasihmu." Ditaruh gelas itu di atas meja lantas membelai bibir kaca dengan telunjuk begitu perlahan. 

"Aku rasa itu bukan sesuatu yang perlu dibahas," balas Louisa risi. "Saya pikir pertemuan ini akan lebih banyak membicarakan prestasiku, Mr. Cross."

"Oh ... naif sekali, Ms. Bahr. Prestasimu tak perlu kau agung-agungkan," ledek Dean terkekeh. "Semua orang punya timing atas kepopulerannya dan jangan terlalu membanggakan diri. Masih banyak hal yang perlu kau raih."

Dalam hati, Louisa ingin sekali mengumpat kasar. Kalau pertemuan pribadi mereka bukan untuk membahas pencapaiannya dalam film, lalu apa? Membahas dan menertawakan betapa sakit dan menyedihkan dirinya ditinggal pergi Troy? Atau justru bergosip kalau Troy terlalu murahan untuk perempuan seperti Louisa?

"Jadi? Jika Anda tidak membicarakan apa yang sudah kucapai, bukankah lebih baik aku pergi, Mr. Cross? Anda terlalu banyak membuag-buang waktu dan--"

"Berkencanlah denganku, Ms. Bahr!" potong Dean sebelum Louisa menyelesaikan kalimat membuat rahang gadis itu nyaris menyentuh permukaan lantai restoran.

Tuhan, mimpi buruk apa lagi ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status