Saturday, freeday.
Keuntungan tinggal sendiri adalah kebebasan di hari libur. Hendak bangun siang, hendak sekian jam rebahan, tidak akan ada yang mencerca. Meski jendela kaca dengan gamblang sudah mempersilakan cahaya masuk ke dalam. Memberi terang pada segala benda yang bergumpal di berbagai bidang.
Berbalut kaus putih polos dan celana panjang dominan hitam, Juna masih tenggelam di atas kasur. Selimut kelabunya sudah tak tentu tempat, sebagian menyapu lantai di bawah ranjang. Sementara sang empu tengah berada di semestanya sendiri.
Kedua tangan Juna memegang ponsel di udara, tepat di atas dadanya. Tidak ada aktivitas yang dilakukan oleh jemarinya setelah tadi berkirim pesan dengan orang tua. Saat ini Juna benar-benar hanya diam sembari menatap layar hidup itu.
Sebelum... dia tersenyum sendirian.
Mau tau apa yang dilihatnya? Jika ditebak itu video anak-anak kucing atau cerita bergambar macam komik, maka itu
D-day, theme park.Alunan musik yang mengisi ruang udara tiap penjuru taman hiburan benar-benar memanjakan telinga. Baru memasuki gapura, wahana pencakar langit sudah menampakkan rupanya. Membuat orang-orang tertantang untuk menaklukkan mereka. Terlebih ketika cuaca yang begitu mendukung seperti hari ini.Tidak ada badai, tidak ada hujan. Gumpalan kapas samar terlihat di langit lazuardi. Sinar dari sang rawi hangat menyapa tubuh-tubuh yang kegirangan melangkah usai menyerahkan tiket pada para petugas. Mereka yang menjadi bagian dari pengunjung itu berjalan bersama, dua belas orang jumlahnya. Banyak juga ternyata. "Gunting, batu, kertas!" Dengan sangat tiba-tiba salah seseorang berteriak. Manggala Banu, kini tangannya sudah mengacungkan dua jari berlambang V di depan tubuhnya. Begitu juga dengan sebelas orang lainnya—secara otomatis. Meski mereka tidak tahu untuk apa melakukan itu. Sementara Banu kembali meneriakkan tiga kat
"Aaa!!!"Sepertinya pengelola theme park harus menambahkan satu manusia sungguhan yang berperan dalam rumah hantunya. Untuk lowongan itu Sena sudah memenuhi kriteria sebagai aktor utama. Bagimana tidak? Sejak memasuki wahana Adu Nyali dua menit lalu, suara teriakkannya mengalahkan pekikan audio yang diputar dalam ruang sempit nan panjang itu. Berjalan di tengah, teman-teman yang ada di depan dan belakangnya seringkali menggerutu karena terkejut dengan ulah Sena. Sementara Lila yang sedari tadi dicengkeram lengannya hanya sesekali mengumbar tawa. "Gue lebih takut teriakan lo daripada suara hantu di sini, anjir," gerutu Yasa yang memimpin perjalanan bersama Yusi. Ia melirik singkat pada Sena sebelum kembali fokus untuk jalan. "Dandanin dikit aja lo bisa lah kerja di sini. Gue yakin bakal lebih nyeremin daripada zomb—TUH! TUH! TUH KAN MUNCUL LAGI!" Niat Banu mau ikut mencerca Sena, tapi ia sendiri juga terkejut sebab ada makhluk pe
Orang kata, Senin adalah hari yang berat. Actually, yes. Sebenarnya apa yang membuat awal pekan itu menjadi suram dan tak nyaman? Meninggalkan dua hari bebas, lantas kembali pada rutinitas? Rasanya seperti memulai sesuatu yang lama-lama membosankan, ya?Bagi Juna, Senin pada pekan ini berbeda. Bukannya positif, malah negatif saja yang bertambah. Semua rumit, sejak dia kenal cinta. Terlebih, penolakan kemarin. Ah! Juna ingin mendelesi diri dengan mantra. Ketika segala hal berputar tak beraturan di kepala, mood pun ikut terseret jadinya. Ketika psikis terasa lelah, fisik juga terkena imbasnya. Dengan langkah gontai, Arjuna menapaki lorong fakultas untuk sampai di kelas pagi ini. Jujur saja dari hatinya yang paling dalam, ia malas melakukan apapun hari ini. Tetapi juga enggan jika presensinya tidak lengkap untuk tiga mata kuliah, lalu berakhir tidak bisa ikut ujian semester nantinya. Tak kalah mengenaskan daripada ditolak oleh orang yang disukainya.&n
Gelap sepenuhnya menyapa dirgantara. Rembulan menggantikan sang surya bekerja. Berteman bintang dan lampu bohlam, beberapa orang masih stay dengan aktivitasnya. Detak jarum jam sebulat bumi di dinding memekakan telinga. Menyatakan sepi menjadi semakin kentara. Dan Juna dibuat bersiap meninggalkan tempat kerja kala shift-nya hampir usai malam ini. Pemuda itu memeriksa isi tas, memastikan ponsel sudah dalam saku, lalu tinggal menunggu rekannya untuk menggantikan pekerjaan. Juna bertemu dua teman kerja setiap harinya. Ketika raja siang bersinar kokoh hingga melukis senja, maka lelaki tengil bernama Morgan yang menemani Juna. Kala putri malam mempercantik hitamnya angkasa, ada Oliv yang menggantikan tugas Juna hingga tepat tengah malam sekaligus penutupan jam operasional kafe. "Juna, air!" Seseorang menempel pada pintu kaca yang terbuka. Bukan Morgan, bukan pula Oliv rekan kerja Juna. Kehadiran satu orang ini sudah biasa, n
Apa yang menentukan bagaimana rupa hari esok? Jawabannya adalah usaha hari ini.Di bawah kanvas putih yang mendukung sinar matahari menghujam ke bumi, di antara semilir angin yang menarikan ranting-ranting minim daun mungil, dan di depan sebuah bangunan penuh estetika yang akrab disebut Fakultas Ilmu Budaya—seorang pemuda menyandarkan punggung pada gerbang. Ujung jemari hingga pergelangan tangan bersembunyi di balik saku blazer hitam. Sedang tapak suku berbalut converse monokrom menendang-nendang debu yang terdiam di atas bidang hingga beterbangan. Gelagatnya macam tengah menunggu seseorang. Sehubungan dengan opsi kemarin, antara mewujudkan angan atau mendelesinya, Juna memilih yang pertama. Dikira dia akan menyerah begitu saja? Nope. Meski harus melewati dilema sehari semalam, keputusannya adalah kembali mengejar apa yang diinginkan sang hati dan pikiran. Putaran menit kesekian, usai deru karbondioksida tere
Ketika ada milyaran manusia di dunia, sebanyak itu pula perasaan yang tengah dirasa orang-orang dalam satu waktu saja. Beberapa mungkin jadi sama, yang lainnya tak jarang berbeda. Seperti bintang yang tersebar di angkasa. Ada yang bersinar terang, ada juga yang semakin redup lalu mundur dari tugasnya.Ketika ada bahagia di luar sana, berbeda dengan aura di dalam bilik earth tone itu. Berbaring di atas tempat tidur, gadis dengan rambut panjang tergerai sebagai penguasa ruangan menatap langit-langit kamarnya. Tidak ada objek yang menarik dilihat, pandangan itu juga bukan bertujuan mengamati sesuatu. Sebab kelir maya di otaknya sudah melukiskan apa yang ia lihat tadi siang. Macam gulungan film lawas dengan warna cokelat karat dari tiap gambaran yang diputar.Kafe. Arjuna. Lalu... Arin.Semacam itulah yang tengah diulas oleh ingatan Yusi. Kemudian satu helaan napas perlahan keluar dari kedua pipinya yang menggembung. Ada yang terasa berat di titik terdal
The wait is overThe time is now, so let's do it right - - -Rabu mendung. Gumpalan serat kapas di angkasa berulas warna kelabu. Menurut waktu, hari masih siang, lepas pukul 01:31. Namun langit tiada noktah lazuardi lagi. Mungkin matahari ingin rehat memanasi bumi. Siang ini saja, jangan selamanya. Terlalu bahaya. Katanya ingin bertemu, si Yusi itu, tapi Juna dibuat menunggu di suatu jalan beraspal yang lumayan jauh dengan pusat universitas. Bersandar pada sebatang pohon nan kering, Juna mengamati satu bangunan dominan kuning tempat Yusi menimba ilmu—yang seringkali pula membuat gadis itu kewalahan dengan mata kuliah dan antek-anteknya. Belum ada tanda-tanda presensi seseorang bermanik sipit yang keluar dari gedung. Juna menghela napas seraya melipat kedua tangan di depan dada. Memang benar, tidak ada perjanjian jika jalan itu menjadi tempat pertemuan awal. Tetapi, jam kuliah si adam selesai lebih cepat, ia pikir tidak ada
Satu pijar memanjang di langit-langit sebuah ruangan. Tidak terlalu terang, tidak juga gelap seutuhnya. Yang memenuhi tiap sisi dinding adalah poster beserta stiker dengan ukuran beragam. Yang mendominasi bidang lantai adalah beberapa kursi dan sofa usang. Satu karpet di bawah meja juga sering digunakan penghuninya untuk rebahan.Soal penghuni, ada tujuh anak muda yang mengakui ruang itu sebagai markas mereka. Menghabiskan sepanjang waktu di sana, biasanya sih setelah menyelesaikan segala urusan di luar. Seperti sekarang, pukul lima di perpotongan swastamita. Dari tujuh taruna: dua diantaranya duduk di sofa, dua yang lain mondar-mandir sesukanya, satu manusia sibuk mencari camilan di meja, sementara satu lagi sedang asik dengan ponselnya.Lalu di mana si pemuda ketujuh?Baru datang, dia yang bersurai kecokelatan. Kini menutup kembali daun pintu di ujung ruangan kemudian menaruh tasnya sembarang. Cowok itu pun menyempilkan tubuh di antara temann