"Apa kau mau mencoba mencintaiku, Lena?"Lena diam. Dia memilih untuk berpura-pura tak mendengar apapun dan membaringkan tubuhnya jadi posisi terlentang untuk menghidari tatapan Oliver. Sebab, tatapan buas pria itu yang terus menatap intens dirinya dalam keadaan telanjang dibawah selimut seperti ini, benar-benar terasa tak nyaman."Kuharap kau bisa mencoba mengenal dan mencintaiku, Lena."Kedua mata Lena terpejam. Masih enggan menanggapi apapun yang coba Oliver katakan dengan suara rendah dan lembut itu. Sikap Oliver seperti ini membangunkan alarm bahaya di kepala Lena yang berteriak kencang untuk mewanti-wantinya agak tak terjerat cinta pria itu.Cukup menyebalkan dan cukup benci untuk mengakuinya, tapi dengan kesadaran penuh Lena tahu kalau pada tiap menit yang mereka habiskan untuk berhubungan intim, Lena menyukai dan menikmatinya. "Lena," panggil Oliver akhirnya karena tak sekalipun mendapatkan tanggapan dari istrinya itu."Kau sangat berisik Oliver, aku lelah. Aku ingin tidur," g
Lena merasa kalau kartu superman adalah ide terburuk yang pernah dia buat. Sebab, karena kartu itu menbuatnya benar-benar tak bisa berkutik sekalipun Oliver melakukan hal-hal yang dibencinya.Pada akhirnya, dengan pasrah dia membiarkan Oliver masuk ke dalam Jaquzi dan bergabung dengannya."Kenapa kau selalu menggunakan kartunya untuk hal-hal tak senonoh, apa tidak bisa kau menggunakannya untuk hal lain yang lebih berguna?" cibirnya.Alih-alih segera menjawab pertanyaan itu, Oliver justru tanpa aba-aba memeluk tubuh telanjang Lena dari belakang dan membuat Lena terkesiap keras."Oliver," desisnya tajam."Kenapa kau seterkejut itu, Lena? Bukankah dari awal aku sudah berkata kalau aku menggunakan kartu supermannya untuk berendam dan-" Oliver menjeda ucapannya untuk mendekatkan mulutnya ke dekat telinga Lena dan berbisik. "Bercinta dengannu di sini."Lena dibuat merinding oleh hangat napas pria itu yang menerpa daun telinganya, juga suara berat pria itu. Seolah tersihir, Lena hanya membek
"Berdandanlah yang cantik, Aralena. Aku menggunakan kartu terakhirku untuk memintamu menemaniku jalan-jalan."Lena menatap Oliver sejenak, sebelum kemudian menghela napas berat. "Baiklah," ucapnya terpaksa.Dengan malas, dia pergi menuju lemari, mengambil dress lalu terdiam dan menoleh terlebih dahulu untuk sekadar mendapati Oliver yang masih duduk di tepian tempat tidur."Apa lagi yang kau tunggu? Keluarlah. Aku akan berganti pakaian.""Lakukan saja aktivitasmu dengan tenang, Lena. Aku hanya menunggumu.""Yang benar saja Oliver, apa kau secabul itu sampai-sampai ingin melihat wanita sedang berganti pakaian?" gerutu Lena.Namun, Oliver tetap tak bergeming dari tempatnya duduk dan dengan santainya mengangkat bahu."Itu bukan hal besar. Toh aku sudah melihat tiap inci dari dirimu," ujarnya ringan. Tanpa sekalipun menyadari kalau ucapannya itu benar-benar membuat sekujur tubuh Lena merinding."Kau pria paling cabul yang pernah kutemui," hardik Lena seraya bergidik ngeri. Pada akhirnya, s
"Apa kau juga menyewa restoran mewah ini?" tanya Lena sesaat setelah dirinya dan Oliver yang mendapatkan pelayanan khusus dari penjaga pintu juga pelayan di restoran bergaya eropa ini."Aku pikir kau sudah mengertahui jawabannya," sahut Oliver tenang. Dia dengan penuh perhatian memberikantempat duduk pada Lena dan setelah memastikannya duduk dengan nyaman, Oliver pun baru mengambil posisi duduk di kursinya.Tak ada orang lain selain mereka berdua di dalam restoran itu. Namun, karena sudah tahu betul apa yang terjadi, Lena tak ingin bertanya-tanya lagi tentang situasi seperti ini.Selang beberapa lama, seorang pelayan menanyakan hidangan pembuka dan hidangan utama yang akan dipesan dan berlalu pergi setelah menuliskannya."Apa kau menyukai tempat ini?" tanya Oliver memastikan."Apa teman wanitamu juga yang memesan tempat ini untukmu?" sahut Lena balik bertanya. Dengan bosan, dia memainkan gelas winenya, membuat cairan merah di dalam gelasnya itu terus membuat gelombang kecil."Tidak. A
Semalaman suntuk, Lena tak bisa tidur. Dia hanya berguling ke sana kemari di atas pembaringannya karena sama sekali tak menemukan posisi yang nyaman untuk tidur. Bukan tanpa sebab, tapi kegelisahan Lena ini disebabkan karena dirinya yang masih saja terngiang-ngiang ucapan Oliver beberapa jam yang lalu saat mereka berdua sedang berada di dalam Yacht."Dia selama ini melakukan banyak pekerjaan kasar, apa itu alasannya dia terkadang dalam waktu lama tak pernah terlihat di rumah orang tua Vincent?" gumam Lena berbicara sendiri. Pikirannya melayang jauh ke hari di mana Vincent bercerita padanya tentang bagaimana Oliver yang tetap membebani keluarganya, terutama sang ibu, sampai kedua orang tuanya itu meninggal karena kecelakaan yang menimpa keduanya. "Lantas mengapa hal yang diceritakan oleh Oliver sangat berbeda dengan apa yang diceritakan oleh Vincent? Apa sebenarnya tadi itu Oliver mengatakan cerita bohong?"Pada akhirnya, setelah terlalu banyak berpikir, Lena jadi semakin frustrasi. Di
Hari ke 14 ....Lena mengepak beberapa helai pakaian miliknya kedalam koper dan membiarkan pakaian yang masih baru dan belum pernah dipakainya itu berada di dalam lemari. "Vincent, aku akan pulang dalam 2 hari lagi. Kuharap kau bisa bersabar sampai hari itu tiba," gumam Lena penuh harap ke arah koper yang ditutupnya itu. Kemudian dia meraih tas tangannya, mengambil selembar tiket pesawat yang dipesannya secara daring itu, lalu dia pun memeluknya erat-erat.Perasaan di hatinya terasa meletup-letup. Dia berharap bisa segera pulang dan segera memeluk Vincent erat-erat. Banyangan tentang momen-momen manis yang bisa dilakukannya bersama Vincent, membuat Lena dipenuhi perasaan rindu yang begitu besar."Sepertinya aku harus mengatakan rencana kepergianku hari ini agar Oliver bisa bersiap-siap dan bisa dengan tenang membiarkanku pergi. Toh untuk bisa pulang, aku tetap membutuhkannya untuk mengantarku sampai ke bandara."Tanpa menunggu
"Aku tahu kau belum mencintaiku. Aku juga tahu kalau hatimu masih dan akan selalu jadi milik Vincent. Namun, meskipun kau belum mencintaiku. Jangan pernah lupakan aku. Tolong selalu ingat aku walaupun dalam bentuk kebencianmu.""Aku harus segera pergi." Lena mengurai pelukannya dan langsung berjalan mundur untuk menjauhkan diri dari Oliver.Secepat kilat dia berbalik dan melangkah pergi menuju ruang tunggu keberangkatan.Namun, belum sampai dia menaiki eskalator, tiba-tiba saja tubuhnya limbung, kehilangan keseimbangan dan langsung jatuh berbaring di lantai. Dalam sisa sisa kesadarannya dia melihat petugas bandara juga Oliver datang menghampirinya."Lena, apa yang terjadi!" pekik Oliver yang dengan paniknya segera merengkuh tubuh lunglai Lena.Beberapa kali dia menepuk pipi Lena untuk menyadarkannya dan berulang kali pula dia memanggil nama istrinya itu. Namun, nihil, Lena tak kunjung membuka matanya. Hal itu semakin menambah kepanikan Oliver."Siapapun tolong pangil ambulan sekarang
Dalam hening ruangan rawat inapnya, Lena tenggelam dalam keputusasaan menghadapi kehamilan yang dinyatakan telah mencapai usia 8 minggu. Pertanyaan yang tak kunjung usai menghantuinya, "Kenapa keadaan ini bisa terjadi padahal aku sudah sanvat berhati-hati dalam mengatur jadwal kesuburan dan waktu tidur bersama Oliver."Air mata Lena mengalir tanpa henti, melambangkan benih kebencian yang tumbuh di dalam hatinya untuk Oliver. Padahal sudah susah payah dia menekan kebenciannya pada pria itu karena dia ingin pulang tenang, tapi kejadian ini membuatnya benar-benar terpukul."Aku tak pernah menginginkan bayi ini," gumam Lena nelangsa.Dengan wajah yang berurai air mata, Lena menatap nanar langit-langit kamarnya ini. Rasanya seperti terkena petir di siang bolong, Lena tak pernah menyangka kalau dirinya akan mengandung darah daging Oliver."Sudah 8 minggu lamanya dia tumbuh, kenapa selama ini aku tak menyadarinya. Padahal aku benar-benar sudah sangat berhati-hati," dengan kasar, Lena menyeka