Di lobby kantor R.D. Company, Ziana menghentikan langkahnya demi meraup oksigen memenuhi paru-parunya yang nyaris kosong. Gelisah dan tegang, dia memeriksa jam tangannya sekali lagi, menyadari waktunya bergerak sangat cepat.
"Semoga aku tidak terlambat," gumam Ziana pada dirinya sendiri, sambil mengatur nafasnya.
Tiba-tiba pandangannya terperangkap oleh pemandangan yang mengejutkan. Semua orang berbaris di ruang lobby, seolah menunggu seseorang yang sangat penting. Ketegangan menggantung di udara, membuatnya merinding. Apa yang sedang terjadi?
Sebuah spanduk yang terpasang di dinding lobby menjawab rasa penasaran Ziana. Mereka semua menunggu kedatangan CEO baru. Ziana segera bergabung dengan barisan yang sudah terbentuk, mencoba menekan rasa penasaran yang tumbuh di dalam dirinya.
“Semuanya tenang! Pak CEO sudah datang!” seru salah satu sekuriti yang berjaga di depan lobby.
Segera, sebuah mobil mewah berhenti di depan pintu masuk, menarik perhatian semua orang di dalam lobby. Mata Ziana memperbesar, jantungnya berdegup lebih cepat lagi saat seorang pria tampan keluar dari mobil itu.
“Maha…” bisiknya pelan, hingga hanya dirinya yang bisa mendengar suaranya.
Mahanta berdiri tegak, berpakaian jas lengkap yang membuatnya terlihat gagah dan berwibawa. Wajahnya dingin, memancarkan aura kekuatan dan ketegasan. Ziana, seperti semua orang lain di ruangan itu, terpana oleh kehadiran Mahanta.
“Selamat datang, Pak CEO!” seru manajer personalia memimpin penyambutan untuk Mahanta.
Perasaan Ziana campur aduk. Bagaimana bisa Mahanta menjadi CEO di perusahaan itu. Ziana kecolongan saat mengecek pemilik perusahaan dan melupakan nama belakang Mahanta. Dia ingin sekali menghilang, bersembunyi di balik sudut ruangan, agar tidak terlihat oleh Mahanta. Tapi itu sudah terlambat, karena Mahanta semakin dekat ke arahnya lalu berhenti tepat di depannya.
Ziana berusaha menahan getaran dalam dirinya, berusaha tampak tenang meskipun pikirannya mulai kalut. Sulit menjaga sikap profesional saat gejolak emosi membombardir jantungnya. Saat Ziana memberanikan diri menatap Mahanta, pria itu balas menatapnya dingin.
“Selamat pagi, semuanya. Kembali bekerja,” ucap Mahanta dingin lalu berjalan mendekati lift dan masuk ke dalamnya.
Semua orang langsung bubar kembali ke posisi masing-masing, sambil sesekali bergosip tentang CEO mereka yang baru. Diantara mereka membicarakan sikap dingin Mahanta, tapi memuji ketampanan pria itu. Beberapa karyawan yang bekerja di lantai atas, menunggu lift dengan tertib. Saat Ziana menunggu bersama mereka, manajer personalia memanggilnya.
“Ziana, ikut saya.”
“Baik, Bu.”
Meskipun tidak mengerti kenapa dirinya dipanggil, Ziana bisa menebak kalau ini ada hubungannya dengan keterlambatannya tadi. Dibawah tatapan rekan-rekan kerjanya, Ziana mengikuti manajer personalia masuk ke dalam lift lebih dulu. Alih-alih berhenti di lantai tempat kantor manajer personalia, lift terus naik sampai ke lantai paling atas gedung itu.
Rasa hati ingin bertanya kemana tujuan mereka, tapi Ziana memilih diam dan ikut saja. Posisinya sebagai karyawan baru yang baru bekerja selama enam bulan sedang terancam. Ziana terus mengikuti manajer personalia itu sampai mereka berhenti di depan meja kerja yang kosong.
“Ziana, mulai hari ini kamu dipindahtugaskan sebagai sekretaris CEO yang baru. Ini meja kerjamu.”
“Apa?! Nggak salah, Bu?” Ziana melotot kaget dan cemas dengan kejutan yang diterimanya. “Tapi saya tidak memiliki kualifikasi sebagai sekretaris, Bu. Apa ini tidak terlalu... cepat?”
Ziana baru saja berharap tidak akan bertemu dengan Mahanta lagi. Tapi justru semesta mengirim pria itu menjadi CEO perusahaan tempatnya bekerja dan dia ditunjuk sebagai sekretarisnya. Ziana sempat berpikir untuk resign saja, tapi mengingat denda pinalti pelanggaran kontrak kerja membuatnya urung.
“Justru ini kesempatan yang bagus, Ziana. Tidak semua orang beruntung mendapatkan posisi ini. Tentu saja informasi tentang tunjangan dan juga kenaikan gaji akan segera saya kirimkan ke nomormu. Sekarang, silakan mulai bekerja. Saya akan perkenalkan kamu dengan CEO yang baru.”
Tanpa menunggu jawaban Ziana, manajer operasional itu mengetuk pintu ruang kerja CEO. Pintu itu terbuka beberapa saat kemudian, menampilkan pria yang sama dengan pria yang Ziana lihat di hotel.
“Selamat pagi, Pak Lintang. Saya mengantar Ziana, sekretaris Bapak CEO yang baru,” ucap manajer personalia itu sambil melirik ke arah Ziana.
“Terima kasih. Bu manajer bisa kembali,” ucap Lintang lalu membuka pintu lebih lebar. “Ziana, silakan masuk.”
Ziana menundukkan kepalanya sejenak, sebagai sikap sopan santun, lalu berjalan memasuki ruang kerja CEO. “Permisi, Pak.”
Untuk pertama kalinya Ziana menginjakkan kakinya di kantor CEO perusahaannya. Ruangan itu cukup lengang dengan minimnya dekorasi di dalamnya. Selain meja kerja CEO yang berada di dekat jendela, ada sofa besar yang melingkar di tengah ruangan dengan meja kaca di tengahnya.
Perhatian Ziana teralihkan saat pintu tiba-tiba tertutup. Lintang meninggalkannya begitu saja hanya sendirian di ruang kerja Mahanta. Pria itu bahkan belum terlihat batang hidungnya membuat Ziana merinding dan cemas. Tiba-tiba pintu di sebelah kanannya terbuka lebar membuat jantung Ziana nyaris lompat dari tempatnya.
“Sedang apa kamu disini?” tanya Mahanta membuat Ziana bingung menjawabnya.
“Saya dipindahtugaskan menjadi sekretaris Bapak. Apa informasinya salah? Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak,” sahut Ziana cepat lalu berbalik hendak kabur.
“Tunggu!”
Langkah kaki Ziana terhenti sebelum berbalik cepat menatap Mahanta lagi. “Ada apa, Pak?”
“Kalau keputusannya seperti itu, kamu harus terima atau mengundurkan diri. Pilih salah satu.”
Ziana ingin sekali memukul Mahanta saat itu karena menyimpulkan apapun seenaknya sendiri. Tapi ucapan Mahanta selanjutnya membuat Ziana mengepalkan tangannya menahan emosi.
“Kalau mau mundur, siapkan saja denda pinaltinya. Manajer personalia bisa membantumu mempercepatnya.”
“Saya terima tugas ini, Pak. Saya belum mengatakan apa-apa, tapi kenapa Bapak memojokkan saya seperti ini ya?”
“Memojokkan? Semakin lama tuduhanmu semakin kelewatan ya.”
Ziana mengekori langkah Mahanta yang berjalan kembali ke meja kerjanya. “Itu fakta,” bisik Ziana membuat Mahanta menatapnya tajam.
“Karena kau sudah disini, aku masih menunggu penjelasanmu. Kenapa kau meninggalkanku tiga tahun yang lalu?”
Ziana menghela nafas panjang, sebelum berkata, “Sebagai seorang pemimpin sebuah perusahaan besar, seharusnya Bapak bisa memisahkan antara urusan pribadi dan pekerjaan. Saya menolak menjawab pertanyaan Bapak.”
Mahanta mengatupkan kedua tangannya di depan dagunya tanpa melepaskan pandangannya dari Ziana. “Jadi ini pilihanmu. Baik. Kita lihat sejauh apa kau bisa bertahan.”
Ziana melihat Mahanta menekan tombol di pesawat telepon diatas meja kerjanya. Tak lama, Lintang kembali masuk ke dalam ruang kerja Mahanta.
“Ya, bos? Ada apa?” tanya Lintang.
“Lintang, tunjukkan padanya tugas sekretaris yang sebenarnya. Detail. Aku tidak mau ada sedikitpun kesalahan atau dia dipecat,” titah Mahanta lalu mengusir Ziana dan Lintang dengan tangannya.
“Ikut aku,” pinta Lintang pada Ziana.
Mahanta benar-benar serius dengan ucapannya. Ziana harus mengerjakan banyak sekali pekerjaan dibawah pengawasan Lintang. Tidak jarang Ziana harus menerima omelan dari Lintang ketika membuat kesalahan. Tidak ada celah sedikitpun karena Mahanta ingin semua pekerjaan dilakukan dengan sempurna.
“Ziana, pekerjaanmu kali ini sudah benar.” Ziana sudah merasa senang karena akhirnya dia berhasil. Tapi Lintang belum selesai. “Sekarang kamu kerjakan semua dokumen itu.”
Ziana mengikuti arah yang ditunjuk Lintang dan ternganga melihat dokumen yang hampir setara dengan meja kerjanya.
“Apa kamu nggak keterlaluan? Dia perempuan. Tubuhnya akan kelelahan kalau terus bekerja sekeras itu,” ucap Lintang setelah menjelaskan pekerjaan yang sudah berhasil diselesaikan Ziana dalam waktu singkat.“Aku hanya ingin minta penjelasan. Apa susahnya?” Mahanta mendengus cuek.“Lalu setelah kamu dengar penjelasannya, mau apa? Kamu sadar nggak, sejak awal hubungan kalian__”“Kamu mau bilang apa? Mau ngingetin lagi soal taruhan itu? Iya?”“Maksudku, hubungan kalian itu banyak banget halangannya. Dan__” Lagi-lagi ucapan Lintang terhenti karena gangguan dari ponsel Mahanta yang tergeletak di atas meja. Nama Sherena terpampang sangat jelas disana. Lintang menunjuk ponsel Mahanta, “__ dia salah satu penghalang itu.”“Jangan banyak bicara.”Mahanta tidak lantas mengangkat telepon dari Sherena. Sekali panggilannya tidak dijawab, Sherena menelpon sekali lagi, membuat Mahanta terpaksa menjawabnya. Wanita itu sangat keras kepala dan Mahanta baru menyadari hal itu sekarang.“Ada apa?” tanya Maha
“Apa kau sudah gila?! Cepat selesaikan!”“Ya, maaf, bos. Aku lupa mengganti metode pembayarannya,” sahut Lintang gugup. Untung saja Ziana punya cukup uang untuk membayar semuanya atau mereka akan ketahuan menguntit wanita itu. “Sebentar, bos. Aku telpon dia dulu.”Ziana baru saja meletakkan bungkusan makanan itu diatas meja ketika ponselnya berdering nyaring. Melihat nama Lintang, Ziana segera masuk ke kamarnya dan menjawab telepon itu.[“Malam, Ziana. Maaf mengganggu. Apa kau sudah sampai di rumah?”] tanya Lintang berbasa-basi membuat Mahanta kembali menendang kursinya.“Selamat malam, Pak. Barusan saya sampai. Ada apa ya, Pak?”[“Sebelumnya aku minta maaf ya. Tadi aku memesan makanan untuk Bos Maha. Tapi aku salah memasukkan alamat. Apa makanannya sudah sampai di rumahmu?”]Ziana mengepalkan tangannya mengira kalau semua kiriman makanan itu sengaja dikirim Mahanta untuk mempermalukannya. “Sudah sampai semua, Pak. Mau saya kirim ke kantor atau ke rumah Pak Maha?”Lintang melirik Maha
Setelah sepuluh menit, Ziana terpaksa keluar dengan tubuh berbalut handuk saja. Ia terkejut melihat Mahanta berdiri di dekat jendela besar di dalam ruangan itu. Baru saja Ziana berbalik hendak masuk kembali ke dalam kamar mandi, Mahanta memanggilnya.“Ziana, apa kau ingin menggodaku?”Ziana memejamkan matanya menahan air matanya agar tidak jatuh, lalu berkata lirih, “Toh Bapak sudah lihat semuanya. Saya hanya meminjam handuk ini sampai pakaian saya kering. Kalau tidak boleh juga, ijinkan saya meminjam kamar mandi Bapak lima menit lagi.”“Sampai kapan kau akan terus bersikap seperti ini, Ziana?”Ziana berbalik menatap Mahanta dengan air mata membasahi pipinya. Dia benci menangis di depan Mahanta, memperlihatkan kelemahannya hingga memberi celah pada pria itu untuk menghinanya lagi. Ziana bahkan tidak tahu apa kesalahannya pada Mahanta hingga membuat pria itu tega mempermainkan perasaannya.“Apa maumu, Maha? Apa salahku sama kamu? Apa aku pernah membuatmu sakit hati? Apa aku pernah melu
Mahanta dan Lintang sedang menunggu Ziana keluar dari ruang pribadi Mahanta sambil melanjutkan pekerjaan mereka. Sesekali Mahanta melirik ke arah pintu yang masih tertutup. Baru lima belas menit berlalu, dan belum ada tanda-tanda Ziana akan keluar dari sana. “Apa kau yakin dengan pemecatan Ziana? Tidak ada kesempatan lagi?” tanya Lintang memecah keheningan diantara mereka. “Aku tidak mungkin menarik kata-kataku. Dia akan berpikir aku plin-plan.” “Dia sudah berusaha memperbaiki kesalahannya. Aku dengar dari sekuriti hotel kalau Ziana hampir kecelakaan karena ngebut waktu nganterin dokumen kontrak kerja itu. Untung cuma bajunya yang kotor, nggak sampai terluka. Kesalahannya hanya tidak sengaja ketiduran karena ulahmu juga, bos.” Mahanta terdiam mendengar penjelasan Lintang. Dia terlalu keras pada Ziana demi meminta penjelasan pada perempuan itu. Egonya hampir mencelakai Ziana. “Apa kau sudah mendengar penjelasannya? Apa katanya?” tanya Lintang lagi. “Banyak salah paham diantara ka
Keesokan harinya, Ziana tiba lebih pagi di kantor CEO. Ia menyiapkan semuanya dengan baik dan teliti sambil menunggu kedatangan Mahanta dan Lintang. Berkali-kali Ziana meyakinkan dirinya untuk bersikap profesional dan tidak mengingat apa yang terjadi kemarin. “Selamat pagi, Ziana. Kau datang lebih pagi dari biasanya,” sapa Lintang. Tampak Mahanta berjalan di belakang pria itu. Tatapannya tetap tidak berubah, dingin dan cuek. “Selamat pagi, Pak Maha, Pak Lintang. Saya sudah berjanji sebelumnya. Maafkan atas keteledoran saya kemarin.” Ziana sedikit membungkukkan tubuhnya demi meminta maaf dengan tulus. “Sudah. Kembali bekerja. Hari ini kita ada klien yang sangat penting,” ucap Mahanta sambil berjalan melewati Ziana. “Baik, Pak.” Ziana segera mempersiapkan bahan meeting dan ruangan meeting yang akan menjadi tempat pertemuan kali ini. Dari profil klien yang Ziana baca, klien mereka kali ini memang sedikit rewel dan banyak tuntutan. Sepuluh menit sebelum waktu meeting tiba, klien itu
“Sampai kapan kau akan terus seperti itu, bos?” tegur Lintang setelah lagi-lagi memergoki Mahanta sedang melamun sambil menatap keluar jendela kantornya. “Apa dia serius dengan ucapannya, Tang?” “Ucapan apa? Siapa yang kamu maksud?” “Ziana.” Lintang menaikkan alisnya, mulai kepo lagi dengan urusan yang membuat Mahanta galau. “Memangnya Ziana bilang apa?” “Aku tidak bisa menjadi obat untuk lukanya.” “Aku setuju dengan Ziana,” sambar Lintang cepat, tapi pria itu menyadari tatapan Mahanta yang tidak bersahabat. “Maksudku, Ziana butuh waktu dan juga kejelasan tentang apa yang kau rasakan dulu padanya, bos. Perempuan itu ingin jaminan yang jelas untuk masa depan mereka.” “Apa maksudmu? Aku nggak ngerti.” Lintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sulit sekali menyampaikan sesuatu kalau berkaitan dengan perempuan. Ia juga tahu kemungkinan Mahanta akan jujur dengan perasaannya sendiri adalah nyaris nol persen. “Kalian hanya perlu bicara dari hati ke hati,” sambung Lintang akhirny
“Tapi nggak seharusnya dekat dengan pria beristri. Gimana kalau istrinya salah paham dan menuduhnya sebagai pelakor?” “Bukannya Sherena juga menyebut Ziana pelakor ya? Tapi kalian belum menikah tuh.” Mahanta terdiam mendengar ucapan Lintang. Pria itu tersadar dengan ucapannya pada Ziana tadi. Pantas saja Ziana mengatakan hal seperti itu. Sherena memang menuduh Ziana pelakor saat taruhan Mahanta dan teman-temannya akhirnya terbongkar. “Sudah sadar dengan kesalahanmu? Makanya kalau ngomong pakai otak,” sambung Lintang. “Kamu yang gila. Dimana-mana ngomong pakai bibir. Mikir pakai otak!” sambar Mahanta. Lintang memutar bola matanya malas. “Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan kalau tahu kebenarannya.” “Jangan berbelit-belit. Lagian kenapa kau ribut sekali membela Ziana? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia? Iya?” “Wah! Beneran sudah kena ke otak.” Lintang menunjuk Mahanta dengan kesal. “Pak Renan itu suami kakaknya Ziana.” Mahanta langsung berdiri dari duduknya hingga kursi k
“Kamu yakin nggak perlu ke rumah sakit?” tanya Mahanta saat mereka berada di dalam mobil. Setelah Ziana keluar dari toilet, ia meminta ijin pada Mahanta untuk pulang lebih dulu dengan alasan tidak enak badan. Alih-alih membiarkan Ziana pulang sendiri, Mahanta segera membayar makanan mereka dan menuntun Ziana menuju mobilnya. “Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Boleh saya turunkan kaca mobilnya?” Mahanta tidak menjawab, tapi menurunkan kaca jendela mobilnya di samping Ziana hingga terbuka seluruhnya. Pria itu juga menurunkan kecepatan mobilnya hingga semilir angin malam berhembus pelan menerpa wajah Ziana. Sesekali Ziana menarik nafas panjang sambil mengelus perutnya yang sudah kosong. “Apa kau mau makan sesuatu? Es krim vanila dengan topping coklat?” Ziana hanya diam dengan kejutan lain dari Mahanta. Pria itu mengingat makanan dan dessert favoritnya. Kalau saja hubungan mereka dulu tidak seburuk itu, mungkin Ziana akan merasa hatinya hangat atas perhatian Mahanta. Tapi justru perasaa