“Sampai kapan kau akan terus seperti itu, bos?” tegur Lintang setelah lagi-lagi memergoki Mahanta sedang melamun sambil menatap keluar jendela kantornya. “Apa dia serius dengan ucapannya, Tang?” “Ucapan apa? Siapa yang kamu maksud?” “Ziana.” Lintang menaikkan alisnya, mulai kepo lagi dengan urusan yang membuat Mahanta galau. “Memangnya Ziana bilang apa?” “Aku tidak bisa menjadi obat untuk lukanya.” “Aku setuju dengan Ziana,” sambar Lintang cepat, tapi pria itu menyadari tatapan Mahanta yang tidak bersahabat. “Maksudku, Ziana butuh waktu dan juga kejelasan tentang apa yang kau rasakan dulu padanya, bos. Perempuan itu ingin jaminan yang jelas untuk masa depan mereka.” “Apa maksudmu? Aku nggak ngerti.” Lintang menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Sulit sekali menyampaikan sesuatu kalau berkaitan dengan perempuan. Ia juga tahu kemungkinan Mahanta akan jujur dengan perasaannya sendiri adalah nyaris nol persen. “Kalian hanya perlu bicara dari hati ke hati,” sambung Lintang akhirny
“Tapi nggak seharusnya dekat dengan pria beristri. Gimana kalau istrinya salah paham dan menuduhnya sebagai pelakor?” “Bukannya Sherena juga menyebut Ziana pelakor ya? Tapi kalian belum menikah tuh.” Mahanta terdiam mendengar ucapan Lintang. Pria itu tersadar dengan ucapannya pada Ziana tadi. Pantas saja Ziana mengatakan hal seperti itu. Sherena memang menuduh Ziana pelakor saat taruhan Mahanta dan teman-temannya akhirnya terbongkar. “Sudah sadar dengan kesalahanmu? Makanya kalau ngomong pakai otak,” sambung Lintang. “Kamu yang gila. Dimana-mana ngomong pakai bibir. Mikir pakai otak!” sambar Mahanta. Lintang memutar bola matanya malas. “Aku ingin tahu apa yang akan kau lakukan kalau tahu kebenarannya.” “Jangan berbelit-belit. Lagian kenapa kau ribut sekali membela Ziana? Jangan-jangan kamu juga suka sama dia? Iya?” “Wah! Beneran sudah kena ke otak.” Lintang menunjuk Mahanta dengan kesal. “Pak Renan itu suami kakaknya Ziana.” Mahanta langsung berdiri dari duduknya hingga kursi k
“Kamu yakin nggak perlu ke rumah sakit?” tanya Mahanta saat mereka berada di dalam mobil. Setelah Ziana keluar dari toilet, ia meminta ijin pada Mahanta untuk pulang lebih dulu dengan alasan tidak enak badan. Alih-alih membiarkan Ziana pulang sendiri, Mahanta segera membayar makanan mereka dan menuntun Ziana menuju mobilnya. “Iya, Pak. Saya baik-baik saja. Boleh saya turunkan kaca mobilnya?” Mahanta tidak menjawab, tapi menurunkan kaca jendela mobilnya di samping Ziana hingga terbuka seluruhnya. Pria itu juga menurunkan kecepatan mobilnya hingga semilir angin malam berhembus pelan menerpa wajah Ziana. Sesekali Ziana menarik nafas panjang sambil mengelus perutnya yang sudah kosong. “Apa kau mau makan sesuatu? Es krim vanila dengan topping coklat?” Ziana hanya diam dengan kejutan lain dari Mahanta. Pria itu mengingat makanan dan dessert favoritnya. Kalau saja hubungan mereka dulu tidak seburuk itu, mungkin Ziana akan merasa hatinya hangat atas perhatian Mahanta. Tapi justru perasaa
Mahanta meremas keras kedua tangannya, merasakan sakit yang amat sangat di hatinya. Pria itu tidak menyangka akan mendengar hal mengerikan seperti itu dari Ziana. Mengingat dengan mudahnya Ziana mengatakannya, Mahanta jadi berpikir tentang kejadian tiga tahun yang lalu.“Apa kamu sudah pernah melakukannya tiga tahun yang lalu?”“Melakukan ap__ iya.” Ziana segera mengiyakan pertanyaan Mahanta. Perempuan itu ingin membuat Mahanta membencinya agar mereka tidak terlibat lagi dalam hubungan personal.“Jangan bohong, Ziana. Tiga tahun lalu aku memakai pengaman. Setidaknya periksa dulu faktanya sebelum memilih membohongi dirimu sendiri.”Ziana menghela nafas panjang. Ia sudah sangat lelah dengan semua kejadian yang menimpanya hari ini. Mendapatkan gadis perawan tapi dengan cara yang aman, hanya Mahanta yang bisa memikirkan hal sedetail itu. “Tolonglah, Maha. Hubungan kita sudah berakhir tiga tahun lalu. Aku juga sudah menjelaskan alasan kepergianku. Apalagi yang kau inginkan?”“Tapi semua ya
“Mau bicara apalagi?” Ziana sedikit ngelag setelah perutnya kenyang.“Ziana,” panggil Mahanta dengan suara beratnya.Ziana mengalihkan pandangannya menatap pemandangan di luar jendela apartemen Mahanta. Perempuan itu ingin sekali menanyakan satu pertanyaan yang selalu menghantui Ziana sejak tiga tahun lalu. Tapi Ziana takut mendengar jawaban Mahanta.“Ziana, menikahlah denganku.”Kalau saja Mahanta mengatakannya tiga tahun lalu, mungkin Ziana akan langsung setuju dengan perasaan yang sangat bahagia. Tapi Ziana sudah tahu alasan pria itu melamarnya hanya karena bayi di dalam kandungan Ziana.“Bukannya lebih mudah kalau kau berkata ‘Gugurkan saja. Akan kubayar biayanya’. Aku bisa mendapat uang banyak dan pergi jauh dari kehidupanmu.”Tidak mudah bagi Ziana mengatakan hal mengerikan seperti itu untuk kedua kalinya. Hal pertama yang ia takutkan setelah menghabiskan malam panas bersama Mahanta adalah hamil diluar nikah. Ziana sudah bertekad saat itu akan menjaga bayinya dengan baik jika di
Mahanta merasakan denyutan sakit yang menghantam kepalanya seperti palu pemukul yang tidak kenal ampun. Dari sudut pandangnya yang buram, ia memandang sekeliling dengan mata yang masih setengah terpejam, mencoba memahami di mana ia berada. Apartemennya. Sofa. Bau alkohol yang tercium sangat kuat. Dan dalam benaknya, kejadian malam sebelumnya mulai muncul seperti bayangan buram yang ingin ia tolak.Mata Mahanta terbuka perlahan. Cahaya pagi yang masuk melalui jendela apartemennya menusuk seperti pedang tajam, membuatnya menutup mata kembali dengan cepat. Kepalanya terasa berat, dan setiap gerakan yang dilakukannya hanya membuatnya semakin merasa mual.Dia mencoba mengingat apa yang terjadi. Ah, Ziana. Mantan kekasihnya. Segala hal tentangnya seperti terpatri di setiap sudut apartemen ini. Tetapi Ziana tidak lagi bersamanya. Dia tidak menerima Mahanta kembali. Dan itu membuat Mahanta merasa hancur.Karena rasa sedih yang menghimpit, Mahanta meraih botol kosong yang tergeletak di meja, m
“Kamu sudah selesai sarapan?” tanya Mahanta membuat Ziana menoleh ke arah pintu kamar. Pemandangan yang dilihatnya membuat Ziana buru-buru menatap mangkuk buburnya yang sudah kosong. Mahanta tanpa malu keluar dari kamarnya hanya memakai handuk membalut pinggangnya.“Bisa nggak sih, pakai baju dulu?” protes Ziana kembali berpura-pura tidak melihat tubuh Mahanta.“Kenapa? Kau sudah melihat semuanya. Lagian mana bajuku?”Ziana menatap bingung pada Mahanta yang justru berdiri di samping meja makan dan membuka bungkusan bubur untuknya. “Bajumu di lemari ‘kan? Kenapa tanya aku?”“Biasanya ‘kan baju suami disiapkan oleh istrinya. Memangnya kamu tidak tahu?”“Istri?! Aku belum jadi istrimu, Maha.”“Soon ‘kan? Jadi apa salahnya berlatih sekarang. Ambilkan bajuku dan pakaikan sekalian.”“Kamu nggak malu sama umur ya?”Mahanta menggeleng, sengaja membiarkan handuk di pinggangnya terlepas hingga jatuh di kakinya. Ziana langsung beranjak dari duduknya lalu mendekati lemari pakaian Mahanta. Jantung
“Pelajari teknik menenangkan seperti ini, Maha. Peran suami juga penting untuk menjaga istri yang sedang hamil agar selalu merasa bahagia. Kamu pernah nggak merasakan patah tulang?”Mahanta mengangguk hingga membuat Ziana menatapnya. “Pernah. Aku mengalami kecelakaan saat mencari Ziana dulu. Kakiku patah. Dan aku harus beristirahat sebulan penuh.”Ziana tidak menyangka kalau Mahanta pernah mengalami kecelakaan karena mencarinya. Rupanya banyak hal yang terjadi selama Ziana pergi dari kehidupan Mahanta.“Rasa sakit wanita yang sedang melahirkan itu seperti 20 tulang patah secara bersamaan. Kamu tidak akan bisa membayangkan rasa sakitnya. Menyentuh pinggang, punggung, dan juga perutnya seperti yang kuajarkan tadi, bisa mengurangi setidaknya sedikit saja dari rasa sakit itu. Dan ibu hamil akan merasa tenang dan terlindungi. Kamu paham?”“Aku akan banyak berguru padamu, dokter Kavya.”“Aku serius. Kau juga harus perhatikan bengkak di kaki Ziana nantinya. Semakin besar kandungannya, Ziana