Share

Bab 3. Debar Jantung Yang Aneh

Setelah persetujuan itu, Edgar menyuruh Sylvia untuk merapikan pakaiannya di lemari sebelah kanan. Pria itu sama sekali tidak mau membantu, bahkan hanya untuk mengangkat koper Sylvia.

Wanita itu terus bergumam kesal sambil memindahkan pakaiannya ke dalam lemari. Di tengah kesibukannya memindahkan pakaian, Sylvia tidak sadar kalau Edgar sudah membuka kemejanya di depan kamar mandi. 

Lantas, ketika menoleh dan Sylvia melihat hal itu, tentu saja ia langsung berteriak. “Aaaaaaa!” 

“Kamu kenapa?” tanya Edgar bingung.

Dengan menutup matanya menggunakan kedua tangannya, Sylvia memekik, “Seharusnya aku yang bertanya sama kamu! Kamu ngapain buka baju di sini? Mau pamer dada di depan aku, hah?!”

Edgar terdiam, lalu tampak menyunggingkan bibirnya. “Kalau iya, kenapa?”

“Sialan!” Sylvia mulai melempari barang-barang di dekatnya ke arah Edgar sambil menutup mata. Sudah pasti semua itu meleset dari sasaran.

Sedetik kemudian, bisa didengar kekehan dari pria itu. Tentu saja Sylvia semakin kesal. Pria ini sedang meledeknya sekarang.

“Aku kira, kamu wanita yang gak punya nafsu,” ucap Edgar sambil membuka pintu kamar mandi. “Ternyata, bisa juga goyah melihat dadaku, ya?”

Brak! 

Seiring dengan bunyi pintu tertutup, emosi Sylvia semakin. Sylvia membuka matanya. Dari sepatu sampai pakaiannya berserakan di depan kamar mandi. Itu semua karena ulah Edgar.

“Aku doakan kamu tenggelam di kamar mandi!” teriak Sylvia dari luar sambil memunguti kembali barang-barangnya.

“Tapi sayangnya, kamar mandiku tidak memiliki bathtub, Istriku,” jawab Edgar dari dalam, lalu tertawa keras.

Sylvia kembali berteriak kesal. Dengan perasaan menggebu-gebu, ia melanjutkan memindahkan pakaiannya dari koper ke lemari. Saking kesalnya, ia bahkan tidak peduli kalau beberapa pakaian jadi kusut.

Setelah semuanya selesai, ia langsung keluar dari kamar untuk mencari udara segar di balkon rumah. Sorot matanya langsung tertuju pada kursi ayun di sana. Sylvia memutuskan untuk duduk di sana sambil membawa iPad yang ada di tangannya.

Dengan menyalakan kembali iPad-nya. ‘Sebaiknya aku lanjutin membuat rancangan desain bajuku. Dari pada di kamar, yang ada digangguin mulu sama cowok nyebelin itu.’

Sylvia adalah seorang desainer pakaian yang memiliki beberapa cabang butik di Indonesia. Rancangannya pun sudah banyak yang dipamerkan sampai luar negeri. 

Selain itu, ia juga terkadang membantu sang ayah untuk mengurus manajemen perusahaan mereka yang bergerak di bidang fashion. Sylvia adalah gambaran sempurna wanita karier yang diimpikan semua orang.

Namun, banyak juga yang menilai kalau Sylvia terlalu sulit diraih. Sifatnya yang keras dan tegas, membuat beberapa pria menyerah untuk mendekatinya. Hanya Edward yang berhasil membuat Sylvia tertarik. Pria itu adalah lawan yang sepadan untuknya.

Tetapi, pria itu menghilang sekarang. Yang ada hanyalah adik kembarnya yang bawel dan manja.

“Kamu lagi apa, Sylvia?” 

Di saat Sylvia sedang asik mendesain, Catherine muncul dan menyentuh pundaknya. Sylvia yang sedikit terkejut dengan kedatangan ibu mertuanya, langsung menutup iPad-nya. Bahkan ia pun berpindah ke kursi yang lain untuk bisa mengobrol lebih sopan dengan ibu mertuanya.

“Ada apa, Tante?” tanya Sylvia.

Catherine mengibaskan tangannya. “Ayolah… sudah jadi keluarga, masa mau tetap panggil Tante. Panggil Ibu saja, kayak Edgar.”

Sylvia mengangguk. “Baik, Bu.” Ia tersenyum.

“Ibu tadinya ingin menemui kamu di kamar. Eh, ternyata kamu malah lagi duduk di sini,” ucap Catherine sambil duduk di sebelah Sylvia.

Catherine pun mulai memegang salah satu tangannya Sylvia, “Sylvia, ibu tau saat kamu setuju menikah dengan Edgar, itu adalah keputusan yang sulit untuk kamu.”

Sylvia mengangguk. “Tidak apa-apa, Bu. Aku akan bersabar sampai Edward ditemukan.”

Mendengar jawaban Sylvia, Catherine menghela napas dan mengalihkan pandangan. “Itulah masalahnya, Nak….”

“Maksudnya?”

“Bisakah Ibu minta tolong supaya kamu mau membujuk Edgar?”

Sylvia langsung mengerutkan keningnya dan bertanya, “Membujuk Edgar?” 

“Bujuk Edgar menggantikan posisinya Edward di perusahaan.

Sylvia membulatkan matanya. Entah kenapa, ia merasa takut sekarang. Ia sudah melihat bagaimana sifat Edgar, dia sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan Edward.

Tidak cukup membuatnya stres dengan pernikahan ini, apakah Sylvia harus repot juga membimbing anak manja itu mengurus perusahaan?

Catherine melanjutkan, Edward sampai saat ini belum ditemukan, kalau para klien atau bahkan para pesaing tau Edward mengalami kecelakaan dan jasadnya belum ditemukan, mereka akan menggunakan ini untuk menghancurkan perusahaan.”

Sylvia kehabisan kata. Ia masih mencerna semua ucapan Catherine.

“Sebelum semua orang menyadari tentang hilangnya Edward, Edgar harus mau menjabat sebagai CEO, menggantikan posisinya Edward,” tutup Catherine.

Sylvia sungguh ingin menolak. Membimbing anak manja itu pasti akan membuat hidupnya semakin merepotkan. Lagipula, Sylvia tidak mau berdekatan dalam waktu yang lama dengan Edgar.

Catherine semakin mengeratkan genggamannya. “Bagaimana, Nak? Kamu mau, kan?”

Melihat sorot matanya Catherine yang sangat berharap kepada dirinya, Sylvia tidak tega untuk menolak. Ia bimbang. Jika tidak membantu, perusahaan mereka akan dalam bahaya. Namun jika membantu, itu artinya mereka harus bersama dengan Edgar dalam waktu yang lama.

‘Baiklah, Syl… untuk sementara saja. Sampai Edward ditemukan!’ Sylvia menguatkan dirinya sendiri.

Sylvia mengangguk pelan. “Baik, Bu, aku akan berusaha untuk membujuk Edgar.” 

Mendengar ucapannya Sylvia, senyum langsung terpancar di wajahnya Catherine. “Terima kasih, Sylvia! Ibu senang sekali karena bisa memiliki kamu sebagai menantu Ibu!” 

***

Setelah pembicaraan dengan Catherine tadi, Sylvia langsung kembali ke kamarnya. Namun, ketika membuka pintu kamar, emosi Sylvia memuncak melihat handuk basah tergeletak di atas tempat tidur.

“Edgar!” teriak Sylvia.

Mendengar Sylvia berteriak, Edgar bukannya merasa bersalah, tapi justru menutup telinganya dengan menggunakan earphone. Sylvia yang kesal, langsung melemparkan handuk basahnya Edgar ke wajahnya Edgar.

Edgar melepaskan earphone-nya dan berkata, “Kamu bisa sopan sedikit? Ini muka aku, bukan jemuran handuk!”

Dengan berkacak pinggang Sylvia berucap, “Lantas, kamu pikir tempat tidur ini jemuran handuk? Seenaknya aja taruh handuk di sana. Kalau udah selesai mandi, handuknya langsung dijemur, jangan ditaruh sembarangan!”

Selama Sylvia marah-marah, Edgar hanya menatapnya. Itu tentu membuat Sylvia semakin kesal. Apalagi ketika pria itu mengangkat salah satu sudut bibirnya.

“Udah selesai ngedumelnya?” tanya Edgar.

“Belum!”

Edgar mengangkat bahu. “Baik, lanjutkan saja.”

Edgar pun dengan cueknya kembali melemparkan handuknya ke sisi sofa dan berjalan ke arah cermin untuk menyisir rambutnya. 

Sylvia bergegas menghampiri Edgar, dan berniat membungkus kepala batu itu dengan handuk basah ini. Namun, sayangnya ia justru terpeleset karena lantai yang sedikit basah karena ulah Edgar sebelumnya. 

“Aahh—”

Sylvia memejamkan mata, siap merasakan lantai kamar yang keras dan dingin. Namun, dua detik menunggu, ia tidak merasakan apa pun. Ia malah merasakan sebuah tangan kokoh menopang punggungnya, dan aroma sabun yang khas di ujung hidungnya.

Sylvia membuka mata perlahan. Pada saat itulah ia merasakan tetesan dingin air dari ujung rambut Edgar di pipinya. Napas pria itu menyapu pipinya dengan halus. Tatapan mereka bertemu dan saling tenggelam.

Seketika hembusan angin masuk ke dalam kamar Edgar. Detak jantungnya berdetak kencang.

‘Enggak! Aku gak mungkin memiliki perasaan untuk pria menyebalkan seperti Edgar!’ batin Sylvia menolak, tapi matanya tidak lepas dari mata Edgar yang masih menatapnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status