Aktivitas pagi ini menjadi moment yang membahagiakan untuk Aldi khususnya. Dia jadi semakin dekat dengan Ranu yang kini tengah bersiap di bawah."Mas, aku duluan turun ya? Takut Ranu kesiangan," kata Serena yang sudah berdiri di dekat pintu."Mas yang antar, tunggu sebentar!" Aldi mengancingkan kemejanya, dasinya masih letak di atas tempat tidur, dia sudah menyusul istrinya."Dasinya?" Serena mengingatkan."Nanti balik lagi, hayuk! Ranu nggak boleh telatkan?""Kamu juga," sahut Serena."Kamu lupa, suami kamu bosnya?""Iya deh!" Percakapan ringan saja sudah bisa menghibur hati keduanya. Mereka bercanda sambil menuruni anak tangga dan terkejut di bawah ada Lydia dan Aneska."Wah, ada tamu bukannya di sambut, malah asyik berduaan," celetuk Aneska, lagian Mas Aldi kok belum siap, padahal udah jam tujuh lewat loh."Lydia menyenggol lengan mantan adik iparnya itu pelan, karena ucapannya seolah tak di gubris oleh pasangan itu."Di, maaf! Aku mampir pagi ini, mau kenalan sama istrimu,"
Sejak saat itu Serena lebih banyak diam, dia hanya bicara seperlunya saja kecuali dengan Ranu dan Hilda. Hal itu membuat Aldi mulai cemas. Bagaimana kalau istrinya itu berubah pikiran dan akan meninggalkannya lagi?Sore ini Serena dan Ranu baru saja pulang dari rumah ibu mertuanya, kali ini Aldi tidak ikut karena masih berada di hotel, namun tetap saja dia menyuruh seseorang mengikuti mereka."Mami, kapan kita ke rumah Kakek?" Yang di maksud adalah kakek Arman."Ranu mau main ke sana?""Iya, ke rumah Kakek dari papi juga," lanjut Ranu. Seketika senyum Serena sirna saat mendengarnya. Bertepatan pula saat mereka sampai, sebuah mobil terparkir di depan, Serena sudah tahu siapa pemiliknya. "Ranu masuk dan langsung ke kamar ya? Minta Mbak Hilda nyiapin bajunya, sepertinya ada tamu, mami mau nemuin mereka," ujar Serena sebelum mereka turun dari mobil. "Ok, mam!" jawab Ranu patuh.Keduanya turun dan Ranu tidak melewati pintu depan, melainkan pintu samping yang tidak jauh dari kamar
Sudah berhari-hari Himawan tidak menemui cucunya. Hari ini ia segaja pergi ke toko mainan untuk membeli berbagai jenis mainan anak-anak seusia Ranu.Di dalam mobil ia terus tersenyum membayangkan akan bermain dengan Ranu. Sopir yang membawanya pun tidak pernah melihat ia seperti ini.Ia turun dari mobil bertepatan dengan Ranu yang baru pulang dari sekolah. Anak itu langsung berlari menghampirinya."Kakek!"Di sapa dengan sebutan itu saja sudah sangat-sangat membahagiakan hatinya. Himawan hampir menangis lagi siang itu.Serena pun mendekat dan menyapa ayah mertuanya, hal tidak terduga terjadi, Himawan mengusal kepalanya dengan lembug hingga ada, kecanggungan di antara mereka.Di ruang keluarga Ranu mengeluarkan semua mainannya, dengan senang hati Himawan menjelesaskan setiap pertanyaan anak kecil itu."Serena!"Istri Aldi itu terkejut saat di datangi oleh Himawan. Ia yang sedang membantu Mbok Darmi di dapur segera berbalik."Ayah ingin bicara padamu," kata Himawan. Serena mengangg
Aneska di pulangkan ke rumah orang tuanya, tapi tidak dengan pekerjaan. Dia masih mengelola salah satu hotel di Jakarta. Himawan kembali menarik saham yang pernah di atasnamakan untuk putri angkatnya itu.Bukan hanya dia saja, Serena juga di berikan kepercayaan yang jelas sudah ia tolak karena merasa tidak perlu. Serena hanya takut Aneska semakin membencinya. "Kamu berpengalaman, ayah akan menjadikanmu pimpinan di atas Aneska agar dia tidak semena-mena lagi." Himawan tetap memaksa. Dia sudah menerima Serena dan juga Ranu cucunya. Kekecewaannya terhadap Aneska sangat dalam. Aldi senang saja mendengarnya. Istrinya sekarang punya saham sendiri dan menjadi pimpinsn di salah satu hotel mereka."Mas, Aneska akan semakin membenciku," protes Serena saat mereka berdua di kamar."Justru dengan kau di atasnya, dia akan takut berbuat jahat. Ayah sudah mengancamnya, kalau dia nekat menyakitimu maka tak ada yang diberikan ayah untuknya. Lagi pula kau sudah memiliki wewenang bila dia melakukan
"Sia*lan! Dia memutus pemasukanku, Bu. Dari mana lagi kita akan dapat uang?" Aneska terkejut saat gajian dia hanya menerima yang semestinya sedangkan uang yang selalu ia terima tiap bulan di luar gaji benar-benar di stop oleh Serena.Sudah satu bulan dia memilih diam dan tak mengusik Serena, semua ia lakukan demi mengambil hati ayahnya kembali. Dengan kata lain Aneska ingin di akui kembali oleh Himawan sebagai anak."Lantas kita harus apa? Ibu juga sudah pusing nggak pernah menyimpan uang lagi." Susi ikut menggerutu, "kamu sih Nes, harusnya jangan gegabah!""Ibu kok nyalahin aku? Padahal ibu sendiri yang nggak sabaran sampai melabrak anaknya si Serena. Sekarang semuanya apes. Mana saham yang atas namaku udah ditarik lagi." Aneska ingin mengumpat saja. Punya keluarga tidak ada yang bisa di andalkan. Belum lagi Susi yang hobinya berjudi padahal selalu kalah. "Kenapa nggak rayu lagi ayah angkatmu, jangan nyerah minta maaf. Demi uang apapun harus kau lakukan." Susi memberi saran.
Aaaa...."Brisik! Jadi cowok kok menjerit," ucap Aneska santai, ia tengah duduk bersandar di headboard sambil meniup-niup kukunya."Tidak, ini tidak mungkin! Ya Tuhan! Apa yang sudah terjadi padaku?" Billy rasanya ingin menangis, dia lebih fokus pada dirinya sendiri dari pada dengan Aneska.Ingatannya kemudian berputar pada kejadian tadi malam, temannya mengajak bertemu di club, tapi Billy tidak minum sampai seorang bartender wanita berkepala plontos mengantarkan jus kepadanya."Tuan, ini jus khusus untuk pengunjung yang tidak suka alkohol." Jane yang menyamar meletakkannya di atas meja. Billy sempat mengucapkan terima kasih.Kedua temannya mengajak bersulang dan Billy pun meminum jus itu perlahan, namun sampai habis tak bersisa."Kasihan, pasti dari tadi kamu haus," komentar temannya.Billy mengangkat bahunya, "Aku bukan peminum seperti kalian," kata Billy, "oh ya, sepertinya aku harus pergi sekarang." Billy kemudian pamit."Ya, silahkan, terima kasih sudah datang ke sini!" ucap
"Bu, jangan menangis, bisa saja ini akal-akalan mereka. Kita pulang saja sekarang!" Sudah satu jam sejak Dewi bangun dari pingsannya.Billy menenangkannya, tapi ibunya menolak untuk pulang, "Jangan mudah tertipu dengan orang yang tidak kita kenal," katanya lagi agar ibunya segera menurut."Kamu nggak kenal dia? Apa kamu mau lepas dari tanggung jawab? Nih, nih, lihat wajahnya baik-baik, kalian pernah ketemu kan di forum bisnis?" Jane mengangkat dagu Aneska agar wajah itu terlihat jelas oleh Billy.Billy terkejut, sekarang dia melihatnya dengan jelas, tadi saat di tempat tidur dia hanya melihatnya dari samping."Kau!" ucapnya pelan. Billy meneguk ludahnya. Bertanggung jawab dengan perempuan jahat yang pernah mencelakai Serena, mustahil baginya.Billy tak akan lupa dengan perbuatannya yang turut andil dalam perpisahan Serena dulu.Dewi berdiri, ia mendatangi gadis yang sudah tidur dengan anak kesayangannya, ia menatap Aneska dari ujung kaki hingga kepala.Kulitnya bersih, sepertinya
Susi masuk ke dalam, ia meminta handphone dengan menengadahkan tangannya, "Berikan cepat!" perintahnya.Dodi menyembunyikan di balik tubuh kurusnya, "Nggak mau, ini privasiku, Bu," tolaknya."Privasi-privasi? Emangnya kamu siapa pakai privasian segala. Makanmu saja masih ibu yang tanggung sok segala privasi." Susi mengomel sambil melotot, "cepat sini!""Nggak, nanti ibu ambil semua." Dodi tetap bersikeras memegangnya. Susi geram dan akhirnya maju lalu merebutnya dengan paksa."Bu!" protes Dodi saat benda pipih yang menyimpan rahasia m bankingnya sudah beralih ke tangan ibunya."Udah diem!" Susi menggulirnya dan menemukan pesan m banking senilai sepuluh juta rupiah, "Apa yang kamu jual ha? Ini uang dari mana?" Susi marah dan menatap kakak dari Aneska itu."Sembarangan ibu tuduh aku menjual, yang ada ibu tuh yang sudah jual sofa sama lemari. Terpaksa duduk di lantai kita," gerutu Dodi tak terima."Ibu jual juga biar kita bisa makan, kau pikir sekarang mau dapat duit dari mana, Ane