"Apa maksudmu, Shada?" Ruth tidak percaya dengan indera pendengarannya sendiri. Apalagi ketika wanita di depannya menuduh Ruth adalah vampir. Ia memandangi Shada dengan gugup, mencari-cari pembenaran di pikirannya."Oh, ayolah. Kau pasti tahu maksudku. Apa kau benar-benar vampir?" ulang Shada dengan setengah berbisik. Shada menyelidiki secara penuh raut muka Ruth.Ruth menggelengkan kepalanya tegas. "Dari mana kau tahu tentang vampir? Aku bukan vampir," sangkal Ruth cepat. Demian pasti memberitahunya. Batin Ruth langsung menebak."Aku bertemu salah satunya. Jangan bohong padaku. Aku tidak suka ketidakjujuran." Kedua mata Shada tajam. Menunjukkan betapa serius dirinya.Ruth menghela napas. Ia memejamkan kedua matanya rapat, sampai-sampai di dahi pucatnya terlihat garis kerutan yang amat jelas."Yah, okay. Itu benar, kau tidak salah," akunya kemudian seraya mengangkat kedua tangan tanda menyerah. Ruth lalu sedikit mencondongkan tubuhnya ke depan dan menatap Shada sungguh-sungguh."Rahas
Max semakin tidak bisa menahan semua rasa sakit yang merayap hingga ke saraf-saraf tubuhnya. Ia mulai menggeliat aneh. Max sempat melirik ke arah Richard yang mulai mabuk dan tak sadarkan diri. Saat ini, hanya Max yang bisa menolong dirinya sendiri.Max memutuskan untuk segera keluar ruangan ketika rasa gelisah mulai mencekik dan mendominasi tubuhnya. Ia berlari dengan keringat yang mulai bercucuran membasahi dahi putihnya. Napasnya tercekat, tapi melegakan bisa lekas menemukan sebuah papan bertuliskan toilet di sana. Meskipun tidak dengan kesadaran penuh.Namun saat Max akan memasuki toilet tersebut, ia justru menabrak seorang wanita."So-sorry," ujarnya berusaha memegang kendali tubuhnya. Kedua tangannya terangkat di depan dada tanda meminta maaf.Max tak dapat melihat wajah wanita itu dengan jelas. Ia hendak melewatinya saja, tetapi tangan wanita tersebut berhasil mencegahnya."Pak, jangan masuk ke sana. Itu toilet wanita," bisik sosok perempuan yang kini mendekatinya, membuat gele
"Kau yakin akan menemuinya sekarang?" tanya Shada ragu. Ia juga agak kesal jika Demian meninggalkan tehnya begitu saja tanpa dihabiskan. Itu berarti Demian tidak menghargainya.Berkebalikan dari Shada, Demian justru semakin yakin. Mudah sekali melacak keberadaan Ruth di kota ini. Tetapi masalahnya, wanita itu juga bisa menghindarinya kapanpun tanpa kesulitan yang berarti."Aku yakin sekali," ucap Demian tegas. Mata kelamnya lurus menatap ke depan.Kemudian Demian menoleh ke arah Shada. "Kau mau ikut? Katamu ingin menguping pembicaraan kami," ledek Demian langsung disusul oleh tekukan wajah Shada."Tidak usah, tidak jadi. Aku sedang tidak mood." Shada membuang muka dan melipat tangan di depan dada. Demian yang mendengar dengusan halus dari sistem pernapasan wanita di sampingnya tersebut kini tertawa.Demian mengubah posisi tubuhnya menghadap Shada agar bisa memandangnya lebih teliti. Semakin dilihat, sikap Shada semakin lucu. Demian menyeringai, ingin menggodanya lebih. Ia lantas mengu
Napas Ruth tersendat di tenggorokannya. Dadanya mulai sesak. Kekuatan Demian berkumpul di tangan yang sedang mencekik lehernya sangat menyiksa bagi Ruth. Beberapa kali Ruth melenguh kesakitan."Le-lepaskan aku gila! Kau i-ngin membunuhku, hah?!" pekiknya di tengah napasnya yang nyaris terhenti.Demian menyeringai puas lalu segera melepaskan cengkraman tangannya. Ruth terlihat terbatuk-batuk, wajahnya merah seperti tomat."Lama tidak bertemu, Ruth. Apa kabar? Apa kau bahagia di kota barumu ini?" Demian mengulas senyumnya. Kedua alis tebalnya ia naik-turunkan, seperti sengaja mempermainkan Ruth."Iya, lama tidak bertemu, tapi kau tambah gila!" protes Ruth yang masih berupaya mengembalikan kondisi tubuhnya yang masih sakit karena dicekik Demian."Hahaha.." Demian tertawa membuat Ruth semakin kesal."Bagaimana kau menemukanku?" sungut Ruth. Kedua mata hitamnya memelototi Demian. Rasanya ingin sekali wanita tersebut menghujani Demian dengan tatapan geram agar Demian merasa bersalah. Tapi bu
Max menatap dengan teliti layar monitor yang baru saja diantar oleh orang suruhannya ke dalam ruangan di kantornya. Sesekali ia menonton seraya mengusap rahangnya dengan gelisah.Tangannya lalu terkepal erat saat melihat Shada dan Demian pagi ini. Mereka terlihat begitu dekat saat berbincang di depan balkon minimalis depan kamar Shada.Max memijat pelipisnya dan memejamkan kedua mata bersamaan dengan hembusan napas beratnya. Setelah memberanikan diri membuka mata untuk memandang layar monitor tangkapan CCTV lagi, dahinya mengerut dengan serius."Kau sudah tahu asal-usul pria itu?" lirih Max sambil melirik Tonny, orang suruhannya yang duduk bersama Max."Sampai sekarang kami masih mencari tahu, Tuan. Tapi pria bernama Demian tidak terdaftar dalam data kependudukan wilayah Toronto."Max langsung berpaling, menatap penuh perhatian lawan bicaranya. Mata birunya mengerjap cepat. "Lalu?""Menurut informasi yang kami temukan, Demian dan keluarganya bertempat tinggal di daerah barat daya, jau
Baik Max, Robert dan Morris langsung saling melempar pandang satu sama lain. Mereka bingung terhadap situasi yang tengah mereka hadapi ini.Morris memandang Shada dengan penuh rasa iba. Shada mengunyah makanannya kaku sembari menahan emosi. Wajahnya memerah. Begitu melihat George dan Malta di sini, nafsu makannya raib seketika.Tidak ada yang tahu dan tidak ada yang menyangka bahwa George dan Malta akan hadir juga di pertemuan keluarga hari ini. Mereka cukup terkejut karena George dan Malta datang bersama. Atau lebih tepatnya tidak sengaja tiba di sini di waktu yang sama, tidak ada yang tahu betul hal itu.Beberapa orang tersebut makan dengan canggung, sesekali bunyi denting sendok dan piring mengisi kesunyian di tengah mereka. Tidak ingin hening lebih lama, Robert berdeham."George, maksudku kalian, aku tidak menyangka kalian akan hadir hari ini. Hehehe.." ungkap Robert mengawali pembicaraan.George dan Malta tersenyum kaku tanpa melihat satu sama lain meskipun posisi duduk mereka be
"Stop, stop! Apa maksudmu? Kau di Sierra Madre? Kau siapa sebenarnya?" Shada tak sabar.Kepala Shada berdenyut. Ia lantas memukulinya dengan frustasi. Demian langsung menghentikan gerakan tangan wanita cantik tersebut."Sudah, Shada. Tenanglah! Kita bisa bicara pelan-pelan," sahut lembut Demian.Shada mengamati paras Demian. Kedua mata cokelat miliknya menjelajahi pria itu dari ujung kepala sampai kaki, berusaha mengingat beberapa orang yang ada di memori masa kecilnya dulu."Jelaskan padaku kalau begitu," pinta Shada dengan pasrah. Pasalnya, ia belum menemukan seseorang pun yang mirip dengan Demian yang sekarang ada di hadapannya.Sementara Demian terdiam. Ia terlihat menimbang-nimbang sembari melemparkan tatapan skeptis kepada Shada."Apa yang kau ingat dulu di Sierra Madre?" tanya Demian akhirnya. Ekspresinya terlihat putus asa.Shada mengerutkan dahinya. Ia menggelengkan kepala tak yakin, tapi sambil menyebutkan satu per satu ingatan yang menurutnya berakhir tak begitu menyenangka
Di meja kerjanya, Shada merenung. Bahkan lembar pekerjaannya belum selesai ia isi. Tatapannya lurus jauh ke depan seakan mampu menembus tebalnya monitor di hadapannya. Shada menopang dagu dengan tangan sebelah kanan.Ruth yang berada di samping Shada sesekali mengamati wanita tersebut. Di menit berikutnya, dering telepon di depan mereka langsung membuyarkan lamunan Shada.Sontak Shada langsung mengangkat telepon itu. Ruth hanya menggelengkan kepala seraya mengembuskan napas berat melihat Shada tak seperti biasanya."Halo? Oh iya.. eh? Ini kurang sedikit kok. Sebentar lagi aku kirim ke emailmu," tandas Shada lalu menutup teleponnya. Shada meraup udara sebanyak-banyaknya lantas segera melanjutkan pekerjaannya yang belum selesai.Ruth mencondongkan tubuhnya ke samping ke arah tempat duduk Shada. "Telepon dari siapa?" tanyanya penasaran.Shada menjawab dengan mata yang masih terfokus pada layar monitor di depannya. Ia menghela napas sambil memutar bola mata malas. "Huft... biasa, Richard.