Jantung Shada terlonjak. Dunianya seakan berputar kencang lalu berhenti saat itu juga. Kepala Shada mendadak pusing.Apa yang barusan ditangkap oleh indera pendengarnya salah kan?Tubuh Shada lemas, meskipun ia sendiri tak yakin. Shada menoleh. Menatap Jennifer dengan pandangan yang terkunci dan membisu.Jennifer memandangnya dengan tatapan remeh. Setelah menyunggingkan senyum miringnya, wanita itu segera mematikan sambungan teleponnya."Ada apa, Shada? Ada yang perlu kau tanyakan?"Shada membeku. Segala emosi langsung saja menyergapnya. Marah, benci, sakit hati, ingin menangis. Shada sampai bingung harus melampiaskan mana yang lebih dulu."Kau telepon siapa?" Hanya pertanyaan singkat nan dingin yang dapat keluar dari bibirnya."Oh, ini tadi ya? Temanku, kau kenal?" Jennifer mengangkat kedua alisnya, sengaja mempermainkan emosi Shada. Ekspresi mengejek terlihat jelas di guratan wajahnya."Bukan Max?"Jujur Shada membenci Jennifer yang sengaja mengulur-ulur waktunya. Shada sedang tidak
"Besok aku akan ambil cutiku sehari."Ruth yang sedang meneguk air mineral di gelas ketiga nyaris tersedak. Ia segera meletakkan gelas di atas meja, menyeka bibirnya yang basah lantas membelalakkan mata tak percaya."Kenapa tiba-tiba?""Aku penasaran dengan Demian. Katanya ia akan menunjukkan sesuatu," gumam Shada. Matanya tak bisa lepas dari pesan yang dikirim Demian. Ia bahkan bingung mau membalas apa."Apa kau tahu?" Shada mendongak tiba-tiba, menatap Ruth penuh harap.Ruth segera mengibaskan sebelah tangannya. "Eh, jangan tanya aku. Demian itu vampir yang sulit dimengerti. Aku tidak bisa menebaknya.""Bukannya harusnya kau bisa membaca pikiran orang lain?"Ruth menelan ludah. Padahal dulu ia sempat membohongi Shada. Tetapi justru dibahas lagi dengan temannya itu."S-siapa yang bilang? Kan aku dulu pernah menjelaskan kalau aku hanya peka dengan sifat dan karakter manusia," protes Ruth tak terima jika kebohongannya sampai terbongkar. Wajahnya sudah merah karena memanas."Oh iya.. ak
Shada berdiri saking terkejutnya. Kedua matanya mengerjap cepat. Cahaya merah itu dari beberapa hari lalu sudah menakutinya. Dari mana asal sinar tersebut?Sontak Shada berlari memasuki kamarnya. Ia mencari Ruth. Setelah menuruni beberapa anak tangga dan melihat Ruth sedang memasak, Shada memberitahunya dengan wajah yang sudah pucat pasi."Ruth, aku melihat cahaya itu lagi!"Ruth menghentikan kegiatannya. Ia memutar tubuh sambil memasang wajah heran. "Cahaya apa?" tanyanya masih kebingungan.Shada tergegau, ia belum menceritakan hal itu sama sekali kepada Ruth. Dengan panik, Shada langsung menarik tangan Ruth."Sini aku tunjukkan kepadamu," ujarnya masih erat memegang tangan Ruth."Eh, tunggu. Aku sedang memasak, nanti gosong." Ruth melepas pegangan Shada, lantas menuruni tangga demi mematikan kompor.Setelahnya, ia berlari menyusul Shada yang masih menunggunya di tangga. Mereka berjalan beriringan menuju balkon. Seketika angin kencang menyambut mereka.Cahaya itu masih ada. Berpendar
Pagi ini cuaca sangat cerah. Diselingi oleh burung-burung yang melayang bebas di udara yang cukup sejuk. Sesekali terdengar burung-burung itu mencericip menyukakan hati.Mobil Demian melesat membelah jalanan kota Toronto. Pagi yang cukup ramai bersamaan dengan jam-jam orang bekerja. Entah kenapa Shada senang. Suasana pagi cerah yang tak terlalu panas membuatnya selalu bersemangat. Beberapa kali ia sempat menikmati daun pepohonan yang mulai kecokelatan lalu berguguran.Ini sudah 45 menit sejak mereka meninggalkan kota Toronto. Semakin lama, udara di sekitar mereka semakin dingin. Shada juga menyadari pepohonan tinggi yang mulai meranggas memenuhi sisi kanan dan kiri jalan.Demian mengemudikan mobilnya sangat cepat. Roda mobilnya menghasilkan angin setelah melewati jalan sehingga membuat daun-daun yang berguguran terhempas bebas.Dahi Shada berkerut. "Ini dimana?"Shada mengedarkan pandang menyapu alam yang berada di luar mobil. Tempat yang cukup indah, namun belum ia kenali. Shada belu
"Bra ungu?" papar Demian santai, membuatnya langsung mendapat sebuah tamparan keras di pipi kirinya.Sontak Shada membalikkan badan. Di wajahnya muncul semburat merah. Ia menekuk wajah, merutuki setiap perbuatannya tanpa alasan yang jelas.Ini sangat memalukan! Erangnya dalam hati.Demian mengusap wajahnya panik. Kedua pipinya juga memerah ikut menanggung malu.Keduanya menjadi bingung. Shada yang tak membawa pakaian ganti, sementara Demian akan membawa Shada ke dua tempat lagi. Tidak mungkin Shada ia bawa dalam kondisi seperti itu.Mereka hening selama beberapa detik karena pikiran masing-masing. Shada menggigit jari sambil mengerutkan dahinya.Demian lalu teringat di dalam mobilnya terdapat kaos. Namun, ia sempat ragu karena kaos itu merupakan kaos untuk promosi."Hmm, Shada. Sebenarnya di mobilku ada kaos. Tapi..."Shada membalikkan badan dan merapatkan jaketnya. Ia menaikkan kedua alis menunggu ucapan Demian yang sempat menggantung."Tapi apa?""Itu kaos milik temanku," jawab Demi
"Mom, tolong kendalikan dirimu," ucap Demian memperingatkan.Sementara itu, Demian dapat merasakan tubuh Shada yang bergetar ketakutan di belakangnya.Ellene tergegau. Ia berusaha untuk menguasai pikirannya. Maklum, sudah lama sekali ia tak bertemu dengan manusia. Terakhir kali saat ia menemukan Ruth di jalanan."Oh, ah, iya. Dia siapa?" tanyanya kemudian kepada Demian. Kedua alisnya terangkat menunggu penjelasan pria itu."Shada, temanku. Ngomong-ngomong, aku sudah menepati janjiku."Ellene langsung mengendurkan wajahnya. Ia paham apa yang dimaksud Demian. Ternyata wanita ini yang membuat anaknya banyak berkorban dan akhirnya berurusan dengan dunia manusia. Ellene mengangguk lalu menatap Shada lamat-lamat.Bulu kuduk Shada meremang. Dipandang seperti itu, dirinya justru semakin ketakutan. Dan tadi apa yang dikatakan Demian barusan? Menepati janji ibunya? Jangan-jangan ia menjadi tumbal di rumah ini."Kau jangan berpikir macam-macam. Kami tidak akan membuatmu menjadi santapan di sini,
Kedua telapak tangan Shada mulai berkeringat. Membayangkan wajah Mike tadi begitu menyeramkan di benaknya. Shada beringsut saat Mike melempar pandang ke arahnya lagi. Ia bergerak tak nyaman sambil memasang kewaspadaannya kembali.Hidung Mike kembang-kempis mencium aroma lezat yang menguar dari dapur. Lantas ia mengalihkan pandangnya ke arah Ellene di sampingnya."Wangi apa ini, Mom?"Ellene tergelak, sembari mencubit hidung mancung Mike. "Kau ini. Tahu bau makanan saja langsung bangun. Itu kakakmu sedang membuatkan makanan untuk kita."Mike mengernyit. "Benarkah Demian masak?" Ada rasa menaruh harap karena ia sangat merindukan masakan kakaknya tersebut.Ellene mengangguk mengiyakan. "Yups, benar. Kau tidak sabar untuk makan ya?" tebak Ellene penuh tawa."Sudah lama aku tidak merasakan masakan Demian, Mom." Kedua mata Mike berbinar. Shada yang menyaksikannya cukup terperanjat. Ternyata lelaki yang menyeramkan tadi ada sisi imutnya.Lalu setelah Shada amati kembali, Mike tampan dan lebi
"Maafkan aku, Mike. Aku tidak tahu." Demian mengangkat kedua tangannya. Ia sedang berdebat dengan Mike."Itu salahmu! Kau datang di waktu yang tidak tepat. Padahal aku cuma menyentuh kulitnya saja! Makanya kau tanya dulu jangan asal percaya dengan persepsimu sendiri!"Demian mendesah panjang. "Iya-iya, Mike. Jangan ngambek. Tadi aku datang hanya untuk mengabari kalian kalau makanan sudah siap."Demian tak henti-hentinya berusaha menjelaskan kepada Mike yang marah. Kini mereka berempat sedang menuju ruang makan. Ellene hanya menggeleng menyaksikan pertengkaran mereka. Sedang Shada diam karena lebih banyak terpukau dengan ornamen di sekelilingnya.Mereka lantas duduk di kursi masing-masing. Shada duduk tepat di samping Ellene, juga berseberangan dengan Demian. Demian dan Mike yang duduk bersebelahan masih sempat berdebat. Demian tak putus asa membujuk adiknya itu agar tidak marah lagi.Di tengah-tengah mereka, banyak sekali makanan yang tersaji oleh hasil karya tangan Demian. Beef steak