Terima kasih atas dukungan readers tercinta. ^^
Revin mengetuk pintu dan langsung masuk ke ruangan ayahnya. Saat ini ia sedang berada di kantor. "Ada apa Papa memanggilku?" tanya Revin setelah duduk di hadapan ayahnya. "Hendra baru saja mengajukan kerja sama dengan perusahaan kita. Padahal baru kemarin ia menjadi besan. Setelah Papa selidiki lebih saksama, Perusahaan Wijaya sedang mengalami krisis." Revin mendengkus tidak suka mendengarnya. "Jadi, apa Papa menerimanya?" "Mau bagaimana lagi?" jawab Alex sambil memberikan dokumen kerja sama. Revin sekilas membaca dokumen tersebut. "Harusnya Papa menolaknya! Lisa sudah menjebakku untuk menikahinya. Sekarang keluarganya terang-terangan mengambil untung dari pernikahan ini. Jangan-jangan ini salah satu tujuan Lisa menjebakku! Demi menyelamatkan perusahaan papanya." Revin mengepalkan tangannya, kebenciannya terhadap Lisa semakin bertambah. Alex menghela nafas panjang. "Dalam kerja sama ini, kita akan lebih berhati-hati. Papa akan pastikan agar kita tidak merugi." Revin menghembuska
Lisa mengolesi kakinya yang melepuh dengan salep yang diresepkan dokter padanya. Salep itu terasa dingin, di kulit kakinya. Kata dokter, luka melepuh ini tidak akan berbekas, membuat hati Lisa melega. Lisa juga mengolesi kulit memarnya yang ada di bahu dan paha dengan salep yang berbeda. Lisa memang selalu memperhatikan penampilannya. Itu sebabnya kulitnya sangat mulus, lembut dan kencang, baik yang terlihat maupun yang tak terlihat. Lisa menatap pelayan yang sibuk bersih-bersih dengan lincah di rumah barunya dengan Revin. Tadi dia menghubungi sebuah yayasan terpercaya untuk mengirimnya seorang pelayan wanita yang umurnya tidak terlalu muda dan tidak terlalu tua. Dan dalam waktu singkat pelayan berusia 37 tahun itu sudah berada di rumahnya. Lisa menghela napas. Ia merasa membutuhkan asisten rumah tangga setelah merasakan dirinya yang gampang lelah. Tetapi Revin sedang membencinya. Apa Revin akan langsung mengatainya pemalas dan manja karena hal ini? Rumah mereka memang memiliki dua l
Saat ini Revin berada di klub malam bersama Evans. Revin-lah yang menelepon Evans untuk bertemu. Sebagai sahabat, Evans tentu bersedia untuk datang menemui Revin, walaupun sebenarnya Evans lebih suka di rumah dan memeluk istrinya di ranjang sepanjang malam. "Bagaimana jadinya? Jangan sampai aku duluan yang wisuda." Evans terkekeh setelah mengatakan kalimat itu. Revin tersenyum kecut. "Kalau soal itu semua sudah beres. Satu-satunya yang tidak beres adalah perasaanku yang sedang kacau balau," ucap Revin. Evans menghela napas. Dia tahu Revin sangat stres akan pernikahan yang sama sekali tidak diinginkannya. "Semua sudah terlanjur terjadi. Ambil hikmahnya saja." Revin mendengkus. "Satu-satunya hikmah yang kuambil adalah jangan mudah percaya pada mulut wanita." Setelah berucap seperti itu, Revin menuang anggur ke gelas dan meminumnya. "Kau benar. Tapi hikmah yang paling utama, kau harus menanamkan pada calon anakmu kelak agar memiliki moral yang baik, salah satu manfaatnya agar ia tida
Sakit pada bagian perut bawah Lisa akhirnya mereda. Lisa perlahan mengusap perutnya dengan minyak esensial peppermint agar ia merasa rileks dan nyamam. Besok, ia berencana akan pergi ke dokter kandungan untuk memeriksa kandungannya. Lisa benar-benar takut jika harus mengalami keguguran lagi. Dia sangat menyayangi janinnya, buah cintanya dengan Revin. Belum lagi, jika Lisa mengingat betapa sakitnya rasanya dikuret, dan juga ketika ia demam tinggi karena infeksi akibat luka parut kuretan di dinding rahimnya, rasanya Lisa tidak akan kuat menjalaninya. Lisa kembali mengusap perutnya yang masih rata dengan sayang. Baru sebulan janin itu bersemayam di perutnya, tetapi naluri keibuannya sudah memenuhi perasaannya. "Sayang...Tetap kuat ya.. Jangan tinggalkan mama," lirih Lisa. Air mata Lisa mengalir begitu saja. Dia merasa hidupnya sangat berat, khususnya ketika ia sedang menghadapi kebencian dan kemarahan Revin. Seluruh tubuh Lisa langsung terasa lemas sekali ketika suaminya itu membentakn
Begitu Revin melepasnya, Lisa langsung bergerak perlahan, sedikit meringkuk memunggungi Revin, menghadap tembok. Sementara itu dengan malas Revin bangkit duduk dan meraih selimut yang sudah teronggok di lantai. Matanya setengah terpejam ketika melebarkan selimut itu untuk menutupi tubuhnya dan Lisa, setelah itu Revin kembali berbaring dan memiringkan badannya menghadap Lisa yang masih meringkuk memunggunginya. Tangannya yang kekar secara naluri menarik tubuh Lisa hingga punggungnya menempel sepenuhnya ke dada Revin. Revin memang sangat menyukai aroma Lisa, apalagi seusai bercinta. Mencium aroma tubuh Lisa dan memeluk tubuh mungil nan lembut itu, benar-benar sesi penutup yang menenangkan bagi Revin sebagai penghantar tidurnya. Itu sebabnya selama ini Revin selalu memeluk dan mengusap-usap Lisa ketika selesai bercinta, bahkan tidak melepasnya sepanjang tidur. Lisa cukup terkejut merasakan tangan kekar yang menaunginya, tetapi ia memutuskan untuk tidak membalikkan badan ataupun membalas
Lisa menghidangkan dua piring nasi goreng sapi lada hitam di meja makan dengan hiasan yang cantik seperti di restoran. Lisa memang selalu menyajikan makanan dengan indah. Lisa juga memasak kerupuk udang kesukaan Revin, yang sangat cocok untuk pendamping nasi goreng. Lisa tersenyum kecil melihat hidangan tertata rapi di meja makan. Seraya menanti Revin turun, Lisa menyeduh kopi untuk suaminya itu. Tadi di sela masaknya, Lisa sudah menyempatkan diri ke atas untuk menengok Revin apakah sudah bangun. Dan ternyata Revin sudah bangun karena ia tidak ada di ranjang. Sepertinya suaminya itu sedang mandi. Jadi kemungkinan sebentar lagi Revin akan turun. Dan benar, tidak berapa lama suara langkah kaki Revin terdengar menuruni anak tangga. "Pagi, Kak Revin," sapa Lisa dengan tersenyum kikuk. "Ayo, sarapan bersama. Aku masak nasi goreng daging sapi. Kakak pasti suka." Lisa berupaya cerah dan bersemangat menyambut suaminya.
Setelah menyesap kopinya yang terasa nikmat, Revin mengeluarkan sesuatu dari kantongnya. Itu adalah sebuah kartu ATM. Dia meletakkannya di atas meja dekat ke arah Lisa."Ini ambil," ucapnya."Ini..?" Lisa memegang kartu itu."Itu untuk kebutuhan rumah tangga. Nomor PIN-nya sudah kukirim lewat chat padamu. Aku sudah mentransfer sejumlah uang untuk bulan ini. Tiap bulan akan kukirimkan. Tapi perlu kau ingat, yang kaya itu papaku, bukan aku. Jadi pergunakan uang dengan bijaksana," jelas Revin dengan nada datar.Ya, dari dulu Revin memang berencana ingin mandiri jika dia sudah menikah nanti. Dia tidak ingin bergantung pada kedua orang tuanya jika ia sudah memulai kehidupan rumah tangga. Itu sebabnya setelah menikah dia tidak mau tinggal bersama kedua orang tuanya. Selain itu, rumah berlantai dua yang ia beli dan sudah ditempati mereka saat ini pun cukup sederhana, tidak mewah. Itu karena Revin membelinya
Lisa menelan ludah. "Apa...kakak keberatan kalau kita pakai jasa asisten rumah tangga?" tanyanya ragu-ragu. Lisa berpikir bahwa Revin marah karena tidak suka jika mereka punya ART. "Ini bukan soal keberatan atau tidak. Masalahnya kau tidak meminta izin sebelumnya padaku. Kau sudah melangkahiku sebagai suami!" tegas Revin. Sudah melangkahi suami? Lisa pun tersadar akan kesalahannya. Sewaktu kemarin ia memutuskan untuk memakai jasa ART, Lisa hanya berfokus memikirkan penilaian Revin terhadapnya, apakah nanti suaminya itu mengatainya pemalas atau bagaimana, sama sekali dia tak terpikirkan untuk meminta izin terlebih dahulu. Ia menunduk. "Maafkan aku, Kak. Harusnya aku meminta izin terlebih dahulu. Aku salah," lirih Lisa. Lisa sudah terbiasa hidup mandiri sehingga segala sesuatunya selalu dia putuskan sendiri. Setelah berumah tangga, Lisa jadi butuh waktu untuk beradaptasi