Sementara itu, Revin telah menghabiskan rotinya, dan sekarang dia tengah menyesap kopi sambil mengawasi Lisa yang sedari tadi hanya menunduk memandangi roti di piringnya.
"Kenapa? Mau pura-pura sakit? Lagi akting tidak selera makan, ya?" ejek Revin, kemudian ia mendengkus. "Kau itu sungguh licik. Dasar, ular betina," ucapnya dingin.
Revin teringat kejadian di kamarnya tadi di mana Lisa tampak tidak berdaya bahkan untuk bergerak sedikit saja sepertinya tidak bisa, tetapi baru beberapa menit dia berada di toilet, Lisa sudah menghilang dari kamarnya. Revin merasa nyaris tertipu dibuatnya.
Tanpa berucap apa-apa, Lisa memakan roti itu perlahan. Revin kembali mendengkus, dan meminum kopinya, lalu beranjak pergi tanpa permisi. Kali ini Lisa hanya diam membisu menatap punggung Revin yang semakin menjauh dan lalu menghilang di balik pintu.
•
•
Setelah meng
Terima kasih atas dukungan Readers sekalian! ^^
Setelah mendapat izin untuk cuti kuliah, Lisa melajukan mobil menuju kafe miliknya. Ponselnya berbunyi. Dia menepikan mobil lalu mengangkat telepon. Lisa terkejut, ternyata telepon itu berasal dari kantor polisi.Adik tirinya terlibat tawuran antar geng dari dua sekolah. Lisa mendesah, jujur saja ia keberatan pergi ke sana."Aneh sekali," keluhnya dengan suara pelan.Kenapa adik tirinya itu memintanya untuk mengurus masalahnya, kenapa tidak menghubungi ibunya saja? Selama ini pun mereka tidak pernah akrab. Jangankan akrab, berbicara saja nyaris tidak pernah. Tetapi sekarang, adik tirinya itu malah memintanya datang untuk mengeluarkannya dari kantor polisi. Lisa bukannya tidak mau menolong, masalahnya Lisa selalu berupaya sebisa mungkin untuk tidak berurusan dengan hal apa pun yang berkaitan dengan Nafa, ibu tirinya itu.Lisa menghela napas berat. Setelah berpikir beberapa saat akhirnya Lisa memutuska
Lisa terdiam. Bingung harus menanggapi seperti apa. "Ini ponselmu." Damian memberikan ponsel itu ke tangan Lisa, kemudian dia berlari meninggalkan Lisa yang masih mematung. ••• Di kafe, Lisa terus mengerutkan kening. Untuk pertama kalinya dia benar-benar berbicara pada adik tirinya. "Kenapa Damian berucap seperti itu? Apa dia membenci papa dan mama? Sudahlah.. Lagian apa yang bisa kuperbuat?" Lisa memutuskan untuk tidak melapor. Entah keputusannya benar atau salah, Lisa tidak tahu. Yang pasti Damian sudah mengatakan bahwa ia tidak akan terlibat masalah semacam itu lagi. *** Sepulang dari kafe dan berbelanja sebentar, Lisa langsung mandi dan kemudian beristirahat. "Syukurlah keadaan kafe masih lancar seperti biasanya," gumamnya. Selesai beristirahat, Lisa menyempatkan diri untuk m
Jam sembilan malam, Lisa berbaring sedikit meringkuk di ranjang kecilnya. Ekspresi wajahnya tampak datar. Di pikirannya saat ini adalah ucapan Revin tadi yang mengatainya sebagai wanita sampah."Wanita sampah," gumam Lisa pelan. Tanpa dikatai seperti itu pun Lisa sebenarnya sudah selalu merasa bahwa dirinya tidak berharga. Lisa juga sadar bahwa Revin pasti bisa mendapat wanita yang jauh lebih baik dari dirinya. Tetapi Revin menjadi terikat dengan perempuan sepertinya karena janin yang ada di perutnya. Persoalannya adalah Revin berkeyakinan bahwa Lisa telah menjebaknya, padahal Lisa tidak pernah berniat untuk melakukan perbuatan kotor seperti itu. Kehamilannya adalah sesuatu yang tidak direncanakan, tetapi apa pun yang ia katakan untuk membela diri, Revin tetap tidak percaya. Bagi Revin itu hanyalah omong kosong. Di mata Revin, dia adalah pembohong besar dan licik. Dan itu tidak bisa diperbaiki lagi."Ular betina," bisik Lisa. "Sshhh..Sshhh..
"Tampaknya kau tak banyak bicara lagi. Sudah mulai sadar diri ya?" Revin tersenyum mengejek. Lisa diam tak menanggapi. "Kenapa diam? Apa otakmu sudah rusak sehingga tidak bisa menanggapi?" ucap Revin jengkel. Lisa menatap Revin. "Aku ular betina," gumamnya pelan. Alis Revin berkedut. Walau suara Lisa pelan tapi Revin mampu mendengarnya. Dia kemudian mendengkus. "Tanpa tahu malu kau mengakui dirimu ular. Benar-benar perempuan setan." Revin melempar kulit pisang ke atas meja, kemudian beranjak pergi meninggalkan Lisa. Beberapa saat Lisa hanya diam saja memandang ke arah perginya Revin. Kemudian ia melanjutkan makannya perlahan. • • Beberapa hari berlalu dengan hinaan, ejekan dan makian dari Revin. Lisa hanya bisa menutup mulutnya rapat-rapat, menahan rasa sakit di hatinya, menerima saja apa yang Revin katakan. Lisa takut, jika
Acara wisuda berlangsung dengan lancar dan saat ini adalah sesi foto bersama. Suasana di sana begitu ramai tetapi sangat menyenangkan."Evans, ayo foto bareng!" ajak Revin penuh semangat pada sahabatnya itu. Evans mendekat dan mereka berfoto bersama."Sayang!" panggil Evans pada istrinya. Erika pun mendekat. "Ayo foto lagi, sayang!" Evans dan istrinya pun kembali berfoto bersama."Kak Revin, kenapa tidak mengajak Lisa?" tanya Erika.Revin mendesah. "Erika, kau tahu kan kalau aku membencinya?" jawab Revin.Erika diam tidak menjawab. Padahal menurut Erika selama ini Revin itu baik dan ramah, tetapi kenapa mampu membenci seperti itu? Sedikit banyak Erika sudah mendengar dari Evans bagaimana Revin memperlakukan istrinya. Erika ingin sekali menasihati Revin, tetapi Evans melarangnya untuk ikut campur. Lagian Evans sudah memberikan cukup banyak nasihat pada Revin.
Lisa memutuskan untuk memanggil taksi online. Dia tidak mungkin menyetir di saat lemah seperti ini. Begitu taksi online itu datang, Lisa langsung berangkat menuju rumah sakit. Lisa memutuskan pergi ke Rumah Sakit Citra Kasih, itu adalah rumah sakit tempat dulu dia dirawat. • • Saat ini Lisa sudah berhadapan dengan dokter. Sebelumnya terlebih dahulu dokter melakukan serangkaian pemeriksaan pada kandungan Lisa, dan saat ini dokter paruh baya itu sedang melihat riwayat kesehatan Lisa dalam rekam medis. Kening dokter itu sudah mengerut bahkan sewaktu tadi melakukan pemeriksaan pada Lisa, dan sekarang lebih mengerut lagi. Hal itu membuat Lisa semakin cemas. "Dokter Inggrid, bagaimana?" tanya Lisa ragu-ragu. Dokter menghela napas pelan. "Ibu Lisa, berdasarkan rekam medis anda yang saya baca di sini, harusnya anda tidak boleh hamil," ucap Dokter Inggrid dengan suara lembut.
Mata Lisa menatap kosong ke langit-langit kamar rumah sakit. Saat ini ia berbaring di ranjang rumah sakit dengan jarum infus yang tertancap di punggung tangannya. Sesuai saran dokter, Lisa harus menjalani rawat inap hari ini karena keadaannya yang sangat lemah. Lisa menuruti saja karena itu demi kebaikan janinnya. Sebelumnya ia sempat tertidur karena terlalu lelah menangis, dan sekarang dia sudah terjaga kembali.Sangat berat dan buruk, itulah yang dirasakan Lisa tentang kehidupannya mulai sekarang. Sebelumnya pun hampir sama seperti itu, tetapi setidaknya, walaupun Revin tidak akan mungkin menerimanya untuk selamanya, tetapi ia memiliki harapan lain yang sangat penting, di mana ia selalu membayangkan dirinya merawat bayinya dengan penuh kasih sayang hingga nanti anaknya besar. Mungkin itulah yang akan menjadi kebahagiaannya kelak, menjadi ibu yang mencintai dan dicintai anaknya. Tetapi harapan satu-satunya itu pun harus kandas sejak dokter mengatakan bahwa must
Lisa berharap perempuan itu benar-benar baik seperti yang diinginkan Revin, dengan begitu mungkin bayinya akan hidup lebih baik nantinya. Lisa hanya bisa menyerahkan segalanya pada Tuhan sambil berupaya bertahan hidup hingga mengantarkan anaknya selamat ke dunia. Menjelang malam, Lisa mengirim pesan chatting pada Revin. Lisa tampak berpikir sejenak sebelum kemudian mengetikkan pesan di ponselnya. Lisa = Kak Revin, maaf...malam ini aku tidak pulang. Aku akan menginap di kafe, soalnya sedang ramai. Lisa memutuskan untuk berbohong, tidak mungkin malam ini Revin pergi ke kafe menemui dia seperti yang pernah terjadi sebelumnya, karena sekarang ini Revin sudah jijik padanya. Jadi jelas itu tidak mungkin. Lagian Revin saat ini sedang berkumpul bersama orang tuanya dan berangkat makan malam di sebuah restoran, seperti apa yang dikatakan Revin padanya. Kening Revin mengerut keti