Terima kasih atas dukungan kakak sekalian pada novel ini. Happy Reading! ^^ ❤️
Menjelang malam, Revin masuk ke dalam rumah dan mencium aroma lezat masakan. Dia menoleh dan mendapati Lisa yang memakai apron berwarna coklat tua sedang meletakkan hasil masakannya di atas meja makan untuk makan malam nanti. Pandangan mereka bertemu saat Lisa mengangkat wajahnya, tetapi itu hanya sekilas karena Lisa langsung mengalihkan wajahnya.Seperti biasa, Lisa hanya diam tidak berkata apa-apa untuk menyambut kepulangan suaminya. Dia langsung melengos memasuki dapur. Tetapi kali ini Revin merasa tidak nyaman melihat sikap Lisa tadi. Mungkin karena tadi pagi dia mengecup kening Lisa jadi dia merasa bahwa Lisa bersikap seperti itu karena sudah besar kepala. Padahal dari kemarin-kemarin Lisa memang sudah seperti itu, diam selalu lantaran Revin juga selalu menanggapinya dengan sikap ketus, dingin, dan bahkan sarkastik ketika ia menyambutnya.Revin segera menepis rasa tidak nyaman itu dan mulai menaiki tangga.Setelah mandi, Revin bersiap turun ke lantai bawah untuk makan malam, tetap
Begitu memasuki kamar Revin, Lisa mengedarkan pandangannya pada ruang luas yang bernuansa maskulin itu."Kau bisa memasukkan pakaianmu di ruang pakaian. Sudut kiri ada lemari kosong," ucap Revin tiba-tiba."Oh iya, Kak.""Apa kau ingin mandi duluan? Aku bisa pakai kamar mandi lain.""Kakak saja yang duluan mandi aku ingin beristirahat sebentar," jawab Lisa."Baiklah kalau begitu." Revin pun berlalu memasuki kamar mandi. Lisa memilih duduk di sofa panjang."Ini maksudnya apa aku akan tidur sekamar dengan Kak Revin?" Lisa bertanya dalam hati dengan perasaan tidak nyaman. Bukankah Revin jijik padanya? Satu-satunya alasan Revin mau memperlakukannya agak lebih baik itu tidak lain karena surat perjanjian yang ia tandatangani. Sebelum menandatangani surat itu, Revin juga sudah menandaskan padanya bahwa perasaannya akan tetap sama terhadap Lisa yaitu jijik dan benci. Dan Lisa harus mengingat itu. Terkadang situasi tertentu membuat Lisa lupa akan hal itu, akibatnya hinaanlah yang dia dapatkan
"Permisi Nyonya, makan malam sudah siap," ucap seorang pelayan setelah memasuki ruang keluarga yang suasananya tampak tegang. Pelayan itu segera meninggalkan ruangan itu setelah pamit."Ayo kita makan malam. Mama sudah memasakkan makanan yang kau suka," ucap Renata menatap putranya lembut."Makasih, Ma," sambut Revin sambil tersenyum. Maka mereka berempat pergi ke ruang makan. Di meja makan Lisa dengan telaten meladeni suaminya.Renata melirik putranya. Tidak semua menu yang ada di meja disukai oleh Revin, ada menu yang tidak disukainya tapi disukai oleh ayahnya, dan Lisa tahu memilih mana masakan yang disukai oleh Revin, juga menyisihkan apa yang tidak disukainya."Um, enak banget. Rindu juga masakan Mama," ucap Revin sambil makan dengan lahap, membuat Renata mengulas senyum puas."Apa istrimu bisa memasak seperti ini?""Dia bisa," jawab Revin ringan."Oh baguslah. Istri harus bisa memasak, kalau tidak, bagaimana bisa mengurus suami dan anak dengan baik?" ucap Renata.Lisa menghela na
Revin mengatupkan mulutnya saat dia keluar dari kamar. Dia tidak mengira bahwa yang diminta oleh Lisa adalah agar dia tidak menikah dengan Cherrine. Tadinya dia berpikir bahwa Lisa mencoba meminta bagian dari harta Revin.Tetapi walaupun ternyata Lisa hanya meminta hal yang menurutnya tidak begitu penting, tetap saja Revin tidak suka jika Lisa mencoba melunjak dengan mengatur-atur siapa perempuan yang akan dinikahinya.Revin kemudian menuruni tangga untuk menemui orang tuanya. Rasanya kurang leluasa berbicara dengan kedua orang tuanya saat ada Lisa."Revin, apa besok kau akan ikut pemeriksaan tes HIV? Apa kau merasa tidak sehat sampai berencana ikut melakukan pemeriksaan itu?" tanya Renata khawatir saat Revin menghampiri mereka.Revin mendesah. "Aku dan Lisa tidak memiliki penyakit itu. Yang kutahu dia rajin melakukan pemeriksaan diri. Itu sebabnya aku bebas menggaulinya selama ini. Papa dan Mama saja yang konyol. Aku tidak cereboh separah itu. Tapi supaya kalian puas, kami akan tetap
"Supaya ini tidak lengket, harus ditaburi tepung dulu, Ma," ucap Lisa saat mereka sedang menyiapkan bahan masakan."Oh begitu? Saya biasanya merendamnya sedikit lebih lama.""Merendamnya juga bisa, tapi seperti ini akan lebih menghemat waktu," ucap Lisa sambil menggerakkan tangannya dengan cepat menaburi tepung."Oh benar juga," gumam Renata.Akhirnya sarapan lezat tersaji di meja makan. Makanan itu dihiasi dengan cantik oleh Lisa."Ini terlihat spesial. Kau seperti koki, Lisa," ucap Renata apa adanya tanpa niat memuji."Mama bisa saja." Lisa tersenyum lembut."Kata Revin kau mengalami morning sickness. Apa tadi pagi kau muntah-muntah?" tanya Renata ingin tahu."Eh?" Mata Lisa sedikit melebar menyadari sesuatu. "Aku tidak muntah tadi pagi, Ma. Mungkin karena..." Lisa tidak melanjutkan. Dia malu mengatakan, mungkin karena Revin memeluknya dengan hangat saat dia tidur. Itu adalah alasan yang konyol bagi Revin. Dan Revin jijik dengan alasan seperti itu."Karena apa? Baguslah kalau kau tid
"Kenapa Erwin harus mengalami nasib yang sama denganku? Kami sama-sama mendapat istri yang tidak beres."Ben menutup matanya saat mengingat hubungannya dengan Kamila."Sudah berapa kali kukatakan! Kuruskan badanmu itu yang sudah seperti ba**bi!" bentak Kamila pada Ben."Iya, aku akan mencoba diet, tapi aku tidak bisa berkonsentrasi kerja kalau lagi lapar, Mila," lirih Ben dengan suara rendah."Alasan! Dasar rakus! Kau membuatku muak!"Hampir setiap hari mereka bertengkar.Saat itu, Ben masih miskin, masih proses meniti masa depan. Lalu Kamila, istri Ben, berselingkuh dengan pria lain yang tampan dan kaya. Begitu perselingkuhannnya ketahuan, bukannya memohon maaf, Kamila malah terang-terangan mengatakan bahwa Ben tidak bisa memuaskannya!"Tiga tahun kita menikah, tapi aku tak juga kunjung hamil! Kau tau kenapa? Itu karena kau impoten!" teriak Kamila dengan air mata berlinang. Seolah Kamila yang paling tersiksa dalam hubungan ini.Sebagai pria, harga diri Ben hancur berkeping-keping.Ben
Revin mengatupkan mulutnya saat mematikan panggilan. Dia menoleh pada Lisa dan menatapnya tajam."Nick Sialan itu suka berkunjung ke kafemu," ucapnya dengan nada menuduh."Tidak, aku sudah lama tidak bertemu dengannya, Kak," sangkal Lisa cepat. "Tadi siapa yang menelepon? Dan kita akan datang ke mana?" Wajah Lisa penuh tanda tanya bercampur khawatir."Mamamu yang gila itu yang menelepon. Dia mengundang kita makan siang di rumahnya, dan aku menerimanya. Apa kau senang?" tanya Revin dengan nada jijik. Tentu saja ia menyebut Nafa sebagai orang gila. Belum tahu pasti siapa yang mengangkat teleponnya sudah memaki-maki sembarangan.Tetapi tiba-tiba Revin sedikit menyipit saat menyadari sesuatu dalam pikirannya.'Wanita itu tadi memakiku sebagai pelacur sialan. Kalau dia memang benar menebakku sebagai Nick, bukankah harusnya ia menyebutku sebagai gigolo sialan?' Menurut Revin ini agak ganjil, tapi tidak mungkin juga Nafa memaki putri yang sangat ia sayangi seperti itu. Revin kembali menatap
Revin membuka suaranya. "Biar kau tahu, aku tidak mencintai putrimu sama sekali.""Aku tahu. Tapi putriku mencintaimu. Berikanlah dia kesempatan dan buka hatimu sedikit untuknya. Kalian akan memiliki bayi, dan saat kau melihat langsung darah dagingmu nanti kau akan merasa takjub," ucap Hendra membujuk."Aku masih tidak tahu apa janin itu darah dagingku atau bukan.""Lho, bukankah Lisa sudah melakukan tes DNA?" tanya Hendra terkejut. Hendra berpikir bahwa tidak ada keributan berarti masalah tes DNA berjalan dengan baik."Belum. Kandungannya lemah. Dokter melarang untuk melakukan tes DNA. Mungkin di bulan keempat atau kelima baru bisa melakukannya," jelas Revin apa adanya.Setelah makan siang dan berbincang sebentar di ruang keluarga, Revin dan Lisa pun pamit pulang. Saat mereka beranjak dari sofa, Hendra dan Nafa ikut berdiri."Kenapa terburu-buru? Bagaimana kalau kalian menginap malam ini? Bukankah besok hari Minggu?" ucap Hendra sambil merangkul lembut putrinya. Tubuh Lisa yang kurus