Bab 5
"Sedang apa?" Sebuah suara bariton menyela dari pintu keluar dapur.Aku dan Bang Bara sontak menoleh.Laki-laki berperawakan Timur tengah yang selalu mampu menggetarkan hatiku, menatap kami tajam."Kami sedang mengobrol," jawab Bang Bara santai. Tak merasa canggung atau takut Bang Hafiz salah paham. Begitu pun dengan aku. Karena ia memang tak pernah cemburu atau berfikir yang tidak-tidak tentang kedekatan kami. Kadang aku pernah ingin ia merasa cemburu. Tapi mengingat cinta yang tak pernah hadir di antara kami, rasanya itu tak akan mungkin."Hanya berdua?" tanya Bang Hafiz lagi, tatapan serta raut wajahnya tajam dan menyelidik. Ini tak pernah terjadi. Kenapa tiba-tiba ia curiga?Bang Bara sendiri tampak tercenung."Eng ... Enggak... Di situ ada Ayah," tunjuknya ke arah barisan pohon tomat milik Abi."Pak Hasan?" selidik Bang Hafiz lagi sembari melayangkan tatapan ke kebun tomat."Iya, lagi motongin tunas yang mesti dibuang. Tadinya aku di sana juga. Tapi demi melihat mendung di sini, aku coba samperin bentar."Mata ini langsung memelototi Bang Bara. Tak setuju kalau ia menceritakan kesedihanku saat ini. Setelah kejadian di meja makan tadi, aku pasti terlihat egois di mata Bang Hafiz. Aku tak ingin dikira mengadu pada Bang Bara."Mendung?" tanya Bang Hafiz bingung."Aku masuk dulu," selaku cepat sembari bangkit dari kursi.Begitu sampai di dalam, ku dengar Bang Bara bertanya."Kau cemburu bukan? Tidak, kali ini kau tak hanya cemburu, tapi kau takut."Langkahku langsung terhenti."Takut? Takut untuk apa?" Terdengar dengusan halus darinya. Seolah ingin menunjukan bahwa tudingan Bang Bara sama sekali tak benar."Kau tau takut apa yang ku maksudkan. Tapi kali ini aku tak akan memaklumi mu. Ku katakan sejujurnya, aku menyesal telah menolak ajakanmu untuk bertukar peran saat Abi meminang Maysarah."Tubuhku serasa membatu.Ternyata Bang Hafiz dari dulu memang tak ingin menikah denganku? Dari awal dia telah menolakku?**"Nina, malam ini Nina tidur sama Nenek, ya," ujar Ummi Rahma saat makan malam.Aku langsung mengangkat wajah. Ini pasti strategi Ummi Rahma agar Bang Hafiz tidur di kamar Nabila."Dan Hafiz, malam ini kau temani Nabila."Mataku beralih menatap Bang Hafiz. Entah kenapa, hati ini terus saja penasaran walau telah tau apa yang akan dijawab nya."Iya, Ummi...."Nah!Ku letakkan sendok yang telah terisi sesuap nasi berikut lauk nya. Selera makan ini hilang. Aku akan sendirian malam ini. Suamiku diambil, anakku pun dirampas.Aku tak ingin hanya berdiam diri. Tapi apa yang bisa ku lakukan?Sampai tengah malam aku tak mampu memejamkan mata. Mengetahui Bang Hafiz sedang berdua dengan wanita lain di salah satu kamar rumah ini, dadaku rasanya sesak.Aku ingin berteriak. Aku ingin pergi. Aku akan mengambil Nina dan semua baju kami. Masih ada mahar dari Bang Hafiz dulu yang bisa menjadi modal hidupku dengan Nina. Walau sedikit, aku bisa membuka usaha kecil-kecilan.Tapi bagaimana kalau semua orang melarangku membawa Nina?Huh! Aku tak akan menyerah! Kalau perlu aku akan mengancam mereka dengan pisau. Tak ada yang bisa memisahkan ku dengan Nina selain Allah.Tapi, haruskah kulakukan semua itu sekarang?Ku usap keringat dingin yang muncul di dahi akibat ketegangan yang kurasakan dari bayang-bayang kemungkinan yang terjadi jika aku nekad nanti.Jam sudah menunjukkan pukul dua malam.Aku bangkit untuk bertemu dengan Yang Maha Pengasih di sepertiga kesunyian. Aku tak sendiri. Allah bersamaku. Ku berserah dan memuji keagungan-Nya dalam setiap zikir yang terucap lisan. Memohon petunjuk dan pertolongan-Nya.Aku menghela nafas panjang sembari membuka mukena. Lalu duduk terpekur di atas sajadah. Hati ini terasa tenang sekarang.Padahal, inilah obat keresahan. Berserah pada Allah.Hingga kemudian, aku terlelap dalam sejuknya ketenangan hati.Pagi menjelang. Nabila keluar sedikit terlambat dariku. Ku lirik ia sekilas. Ada rembesan air di kerudungnya. Pertanda kalau rambutnya sedang basah. Hati ini langsung serasa disayat. Ternyata, mereka telah bermalam pertama.Tungkai ini lunglai sudah. Aku terduduk di bangku dapur dengan mata yang terasa perih."Non Maysa, pagi ini Bibi mau buat omelette kesukaan Nina, Bibi akan buatkan sekalian buat Den Hafiz. Jadi, Non lebih baik nengokin Nina saja, biara Bibi yang nyiapin sarapannya pagi ini."Bibi Halimah berkata lembut sembari menyentuh pundakku. Sepertinya wanita baik hati ini menyadari kesedihanku, dan ia tak ingin aku semakin terluka berada satu ruangan dengan wanita yang baru bermalam dengan suamiku.Aku mengangguk sembari menyembunyikan mata yang telah berkabut.Sesuai permintaan Bibi Halimah, aku beranjak untuk mencari Nina. Putri kecilku pasti masih tidur di kamar kakek dan nenek nya.Kaki ini melangkah lemah, sementara wajah ku hanya mampu menunduk. Aku seperti prajurit yang kalah dalam perang.Namun, tak sengaja aku menabrak sesuatu."Aww! teriak ku kaget. Kening ini terasa bertabrakan dengan sesuatu yang kokoh.Ku angkat wajah ini perlahan. Sosok Bang Hafiz berdiri tegak di hadapanku dengan koko putih dan peci hitamnya. Wajahnya tak berekspresi seperti biasa. Namun matanya kali ini menatapku lekat. Tak membuang pandangan seperti biasa.Aku mengelus kening seraya berpaling dengan perasaan gugup. Tatapannya seolah mampu menembus hatiku. Aku tak ingin ia tau bahwa hati ini sedang berdebar tak karuan.Tapi ada sesuatu yang membuat mata ini kembali menatap nya dengan alis bertaut bingung.Rambutnya....Rambut Bang Hafiz kering. Yang berarti ia tak keramas pagi ini.Bersambung....Bab 6Rambut Bang Hafiz kering. Yang berarti ia tak keramas pagi ini.Jadi kenapa Nabila keramas sepagi ini? Gadis itu juga seperti tak mengeringkan rambutnya. Apa ia sengaja?"Kenapa?" tanya Bang Hafiz yang menyadari perhatianku pada rambutnya."Nggak kenapa-kenapa...." Kepalaku kembali tertunduk, lalu melangkah melewatinya. **Sore harinya."Assalamualaikum..." Dari ruang tengah, aku mendengar suara salam Bang Hafidz yang baru pulang dari mengurus Pesantren sekaligus memberi pengajian untuk santri yang sudah menjadi pengajar di pondok ini.Lalu terdengar suara Ummi Rahma menjawab salamnya.Aku beranjak untuk menyambutnya seperti biasa, namun langkahku terhenti saat Ummi Rahma mengatakan sesuatu."Hafiz, Ummi lihat istrimu ini selalu pakai gamis yang itu-itu saja. Kenapa tak kau carikan gamis baru untuknya?" "Iya, Ummi... Nanti Hafiz bawa mereka belanja.""Mereka?""Iya, Maysa dan Nabila.""Tidak, bukan dua-duanya yang Ummi maksud, tapi Nabila. Dia yang tak punya banyak pakaian.
"Oh! Begini ternyata kelakuan menantu pertama keluarga Haji Marzuki? Kau mencoreng nama baik keluarga kami!" teriak Ummi Rahma dengan mata melotot.Aku tersentak. Apa maksudnya? Apa yang aku lakukan hingga bisa dituduh mencoreng nama baik keluarga? "Sedang diberi teguran begini masih bisa kau melakukan maksiat?!" tambah wanita itu semakin menggebu-gebu."Ummi!" sentak Abi.Namun seperti biasa, suara Abi tak pernah masuk ke telinga istrinya.Kepala Bang Bara terangkat. Pria itu cepat-cepat duduk tegak begitu menyadari kehadiran keluarga majikannya. "Lihat itu, Hafiz! Sudah Ummi bilang, istrimu ini ada main dengan Bara!""Astaghfirullah Ummi," lirihku. Tak menyangka, fitnah seperti itu keluar dari mulut wanita yang pernah ku hormati sebagai mertua dan istri dari seorang pendiri pondok besar.Bang Bara yang duduk tegak di kursinya jelas jadi bingung. Baru saja membuka mata telah ditodong yang tidak-tidak."I-ini ada apa, ya?" "Tidak ada apa-apa. Ini hanya salah faham," jawab Abi cepat.
Tiba-tiba Bang Hafiz melangkah ke arah pintu. Ah... Dia meninggalkanku begitu saja. Rasanya lebih menyakitkan. Bagiku, lebih baik dia berteriak marah atau mencaci-maki sekalian, daripada meninggalkan ku dalam diam.Namun dugaan ini salah. Ia malah mengunci pintu dan kembali menghampiri ku.Jantung ini semakin berdebar. Apa yang akan dilakukannya?"Aku akan meminumnya.""Nggak! Maysa sumpah Bang, Maysa liat Ummi sama Nabila bisik-bisik di dapur membahas teh ini. Bahkan, Maysa dengar Ummi nyuruh Nabila cepat-cepat ngasih teh ini biar cepat ngefek!" sanggahku bersikeras.Bang Hafiz kembali terdiam. Tapi aku masih tak mengerti apa yang dipikirkan laki-laki berekspresi datar dan dingin ini."Aku akan minum setengah untuk membuktikan. Setengahnya harus kamu yang minum.""Lah, kok Maysa harus ikutan?" protesku."Karena aku tak mau mati sendirian.""Lho, kan Maysa nggak bilang ini racun. Maysa curiganya ini obat tidur atau ... obat perangsang..." jawabku, sedikit jengah menyebut obat yang berk
"Kamu kenapa?" suara renyah mengagetkan aku yang sedang menjemur ikan kering kesukaan Abi. Ummi selalu menyetok ikan kering yang banyak dan memberiku tugas menjemurnya seminggu sekali. Aku tak keberatan, karena ini untuk Abi."Kenapa apanya?" tanyaku tanpa perlu melihat siapa yang mengajak bicara."Kenapa sedih?""Oo... Ada yang mati, tapi nggak ada yang mau nguburin.""Oh ya? Kok bisa? Siapa? Orang kampung ini bukan?""Bukan. Di kampung kita nggak ada laut. Mereka pendatang.""Oalah! Kamu ngerjain Abang, ya..." Bang Bara menyeringai. "Maksudnya ikan-ikan ini? Kalau mau dikuburkan ya harus dikafani dulu. Bayangin tuh, kalo ikan teri yang dikafani satu-satu, haha..." Bang Bara terbahak. Membuat bibir ini mengulas senyum."Serius nih, kamu sebenarnya kenapa?" Laki-laki itu mengulang pertanyaannya."Maysa nggak kenapa-kenapa kok, Bang..." Bang Bara melangkah ke seberang terpal tempat ikan-ikan itu tergeletak tak berdaya. Lalu berjongkok dan ikut menjejerkan ikan yang masih bertumpuk."Ma
Ruangan itu adalah tempat khusus untuk hobinya Ummi Rahma, yaitu menenun kain,Jadi buat apa si ustadz menuju ke sana? Membuatku penasaran saja.Tanpa pikir panjang, kaki ini melangkah pelan untuk mengikutinya.Namun baru selangkah terangkat, aku langsung berhenti. Ini bukan urusanku. Aku tak suka mencampuri urusan orang lain. Perlahan aku berbalik, menuju ke dapur untuk membantu pekerjaan Bibi Halimah seperti biasanya. Tapi hati ini tak bisa dipaksa untuk tak peduli. Bagaimana kalau laki-laki itu berniat jahat? Bukankah kemungkaran harus di tegah? Gelagatnya tadi memang mencurigakan. Ia tampak panik saat menabrak ku. Aku kembali berbalik arah. Laki-laki itu telah masuk dan kemudian menutup pintunya. Nah lho! Kenapa harus tutup pintu segala? Apa tak ada Ummi di dalam? Setelah beberapa saat, aku menghampiri pintu itu dan mengintip melalui lubang kunci. Aku menahan nafas, saat teringat sudah dua kali mengendap-endap dan mengintip seperti ini. Rasanya sama sekali tak nyaman, karena
Sayup-sayup suara deburan ombak menyusup ke telingaku. Membuat otak ini aktif kembali untuk menganalisa suara kencang itu. Perlahan kelopak mata terbuka setelah lelap yang teramat nyenyak menenggelamkan kesadaran.Namun mata ini seketika menyipit kembali saat cahaya senja yang merah menerpa netra. Ini sudah sore?Aku mengerjap beberapa kali untuk menyesuaikan mata dengan cahaya yang masuk melalui kaca depan mobil. Benar, ini sudah sore. Aku tertidur sampai sore begini? Bagaimana dengan berkas hasil pemeriksaan RS-nya?"Oh, sudah bangun?" Suara Bang Hafiz menyapa dari samping kananku. Kepala ini menoleh cepat. Mataku bertabrakan dengan netra coklat terangnya. Netra yang seindah cahaya senja itu menatap hangat."Ya," jawabku. "Kenapa Abang nggak bangunin Maysa? Kita kan mau ngambil hasil pemeriksaan medis di Rumah Sakit?""Karena kamu tidur terlalu nyenyak. Hasil pemeriksaan itu tidak penting, kamu kan sehat sekarang," jawabnya santai.Entah darimana munculnya emosi. Yang pasti, hat
Begitu masuk ke dalam kamar, aku langsung menuju jendela. Sehelai kerudung berwarna hijau pastel, sengaja ku lampirkan di celah jendela sebagai kode untuk Bang Bara beraksi.Sepuluh menit berlalu. Nina akhirnya tertidur. Aku mulai resah. Bagaimana kalau Bang Bara masih di kamar pribadinya Ummi?Ummi Rahma melirikku sekilas. "Nina sudah pulas. Selimuti dia dan keluar. Masih banyak pekerjaan dapur yang harus dikerjakan. Nabila saja yang baru beradaptasi sudah pintar berinisiatif membuatkan sambal untuk suaminya. Kamu sudah siang begini baru selesai mengurus anak, itupun harus Ummi bantu!" omelnya dengan wajah mengkerut.Aku cuma mengangguk. Ummi tak tau saja kalau sambal yang dibawa menantu kesayangannya itu hasil buatan menantu yang mau diusir.Namun saat ini aku tak berniat menjelaskan. Rasa panik karena takut Bang Bara akan ketahuan benar-benar membuatku tegang.Ayo berfikir Maysa! Pokoknya harus bisa memastikan dulu kalau Bang Bara tak lagi di sana sebelum Ummi kembali ke kamarnya
Jadi Bang Hafiz tak tahu bahwa Ummi Rahma bukan ibu kandungnya? Aku benar-benar membatu. Masih syok mengetahui kebenaran yang mencengangkan ini."Tapi... Masak nggak ada yang tau selain Abi dan Ummi? Warga pasti tau, dong?" ujarku ragu."Kalo warga tau, masak Hafiz yang udah segede ini nggak tau kenyataan itu dari mereka? Mulut warga itu mana mungkin nggak ada yang usil?" bantah Bang Bara. Wah.... Ini semakin misterius! KRETEK! Suara ranting patah karena diinjak terdengar dari arah belakang kami. Aku langsung menoleh. Begitu pula dengan Bang Bara. Namun tak ada siapapun di sana. Hanya ada perdu rumput gajah yang ditanam bapaknya Bang Bara untuk pakan sapi Abi. Tingginya hampir se dada orang dewasa. Bisa saja ada yang bersembunyi di baliknya.Bang Bara segera memeriksa. Menyibak rumput yang tajam itu dengan kedua lengan berototnya. Namun tetap nihil. "Nggak ada siapa-siapa," ujarnya sembari berjalan kembali. Bibirnya tampak meringis melihat lengan yang tergores rumput."Abang ter