Eddy hanya menggelengkan kepalanya ketika melihat pada akhirnya gadis itu benar-benar tertidur pulas dengan posisi duduk melorot bersandar di kursi taman.
"Sudah kuduga," kata Eddy terkekeh geli ketika melihat Milla yang tertidur pulas di kursi taman.
Milla sama sekali tidak menyadari kalau kelakuannya saat ini sedang diperhatikan oleh Eddy.
Pria tampan itu hanya mengamati wajah Milla dari balik jendela sambil menghabiskan kopi dan sarapannya yang saat ini ada di atas meja.
Sesekali dia melihat wajah Milla yang tertidur pulas dan terlihat sangat polos. Entah mengapa Eddy merasa dengan mengamati wajah tersebut bisa memberikan efek menenangkan buatnya.
Selesai sarapan Eddy memutuskan untuk keluar vila dan berjalan-jalan di sekitar taman.
Dia mendekati kursi taman tempat di mana Milla tertidur pulas.
Eddy melipat tangannya di depan dada ketika tiba di hadapan gadis yang tertidur pulas sambil tersenyum dan menggelengkan kepalanya.
Dia merasa kagum dan takjub melihat Milla yang masih saja tertidur pulas di kursi taman tanpa sedikitpun merasa terganggu oleh daun-daun yang berguguran dari pohon akasia, di mana dedaunan itu mulai mengotori rambutnya.
"Apakah tidur di sini sangat nyaman?" tanya Eddy sambil berdiri di dekat Milla yang masih tertidur pulas.
Milla sontak terbangun dan terkejut ketika melihat Eddy sedang berdiri di dekatnya sambil tersenyum.
Dia mengusap matanya untuk menghilangkan kantuk lalu mendongak menatap laki-laki dengan tinggi badan di atas rata-rata itu dengan pandangan kosong dan mata yang masih memerah.
"Buku catatan Kamu jatuh," kata Eddy sambil mengulurkan tangan ingin mengambil buku catatan yang ada di tanah dekat kaki Milla.
Dengan sigap gadis itu mengambil buku catatan tersebut dan menjauhkannya dari Eddy, hal ini membuat Eddy mengerutkan alis tidak suka.
"Ini tidak akan menjadi kejutan untuk Kamu kalau Aku perlihatkan sekarang,” kata Milla diplomatis.
Dia tidak berani menatap mata Eddy yang seolah bisa membuka semua isi hatinya.
"Benarkah? jadi kamu ingin memberikan kejutan kepadaku?" tanya Eddy sambil menatap Milla main-main.
Dia tersenyum menggoda seolah sedang mengingatkan kepada gadis itu bagaimana dirinya telah tertangkap basah sedang tidur di saat bekerja.
"Yah, selain itu belum banyak yang Aku catat, Aku hanya baru melihat-lihat dan belum memutuskan akan membuat taman seperti apa dalam renovasi vila ini," kata Milla beralasan agar Eddy berhenti ingin melihat buku catatannya.
"Oh?" sahut Eddy sambil mengangkat alisnya tidak dapat menutupi rasa tidak percayanya.
"Aku hanya baru mencatat kerusakan di sekitar halaman vila. Mana yang harus diperbaiki dan mana yang harus diganti, terutama taman bunga ini,” jelas Milla cepat.
"Oh … bagaimana dengan bagian dalam rumah? Kapan Kamu akan ke sana untuk memeriksanya?” tanya Eddy serius.
“Sebentar lagi Aku akan beralih ke sana,” jawab Milla memastikan agar Eddy tidak berlama-lama ada di dekatnya.
"Baiklah, Aku akan menunggu di sini. Setelah Kamu selesai kita bisa bersama-sama masuk ke vila dan melihat bagian dalam vila,” kata Eddy santai sambil duduk di sebelah Milla.
"Apakah Kamu sedang mengawasi ku?" tanya Milla tidak percaya.
Apakah karena dirinya ketiduran Eddy jadi tidak lagi mempercayainya?
Tiba-tiba saja Milla merasa menyesal karena tanpa sengaja kepergok Eddy jatuh tertidur di kursi taman. Gadis itu merasa tidak berdaya karena tidak dapat menahan rasa kantuknya, padahal semalam dia tidak tidur terlalu malam.
"Kamu salah paham, jangan berprasangka buruk dulu, Aku di sini bukan untuk mengawasi Kamu, tapi untuk menemanimu, agar Kamu tidak mengantuk lagi," sahut Eddy setelah mengamati perubahan pada ekspresi Milla
Milla terdiam, walau keberatan bekerja dalam pengawasan Eddy, dia berusaha untuk bersikap acuh tak acuh dan melanjutkan pekerjaannya mengamati dan mencatat apa-apa yang harus diubah dan diperbaiki sebelum dia membuat rancangan yang sebenarnya.
Eddy diam-diam melirik gadis di sampingnya dan merasa kagum ketika melihat keseriusan Milla dalam bekerja.
Dia mengalihkan pandangannya dari Milla pada sebidang tanah kosong yang diingatnya menjadi tempat favorit ketika dia masih kecil.
"Seingat Ku dulu di sini ada taman bermain anak, tempat Aku main ayunan dan perosotan," kenang Eddy dengan pandangan kosong.
"Tempat bermain itu sudah lama dibongkar oleh papamu, karena mamamu selalu datang ke sini dan menangis mengingat dirimu, hingga Dia jatuh sakit,” ungkap Milla sambil menatap Eddy dengan perasaan campur aduk.
Eddy terdiam, jauh di dasar hatinya, dia tidak pernah menyalahkan siapa pun atas kejadian yang menimpanya di waktu kecil, apalagi menyalahkan orang tua kandungnya sendiri.
"Kapan Kamu berencana menjual vila ini?" tanya Milla malu-malu.
Dia merasa sangat terganggu dan sedih ketika mengingat vila tempat dia dilahirkan dan dibesarkan ini akan dijual.
Walaupun vila tersebut bukan miliknya, entah mengapa Milla tetap merasa kehilangan dan sedih.
Dia berandai-andai kalau saja dirinya memiliki uang yang banyak, dia pasti akan membeli vila tempat dimana dia dilahirkan dan dibesarkan ini.
"Secepatnya, setelah pembangunan vila ini selesai karena Aku tidak bisa lagi berlama-lama tinggal di sini," jawab Eddy tegas.
Milla mengerutkan keningnya mendengar jawaban Eddy.
'Apakah dia sudah punya istri?' tanya Milla dalam hati.
Pertanyaan itu membuat Milla menjadi gelisah dan tidak nyaman namun, dengan sadar Milla segera membuang jauh-jauh semua perasaan tersebut.
"Aku memiliki usaha di Jakarta yang harus Aku jalani," kata Eddy seolah tahu apa yang Milla rasakan.
" ... "
"Apakah kita sudah bisa beranjak untuk masuk dan memeriksa bagian dalam vila?" tanya Eddy yang melihat matahari mulai tinggi dan panasnya mulai menyengat kulit.
"Baiklah, mari kita periksa bagian dalam vila ini," kata Milla menjawab sambil beranjak dari duduknya lalu mengikuti Eddy memasuki vila.
Gadis itu menghela nafas melihat penampilan Eddy yang masih terlihat rapi tanpa sedikitpun keringat di baju ataupun tubuhnya.
Hal ini kontras sekali dengan penampilan dirinya yang mulai berkeringat di sana sini terutama di bagian belakang punggungnya.
Tiba-tiba Eddy berhenti di pintu masuk dan berbalik menghadap Milla yang mengikutinya dari belakang.
"Aku sadar hanya ada kita berdua di vila ini, tapi jangan khawatir, Aku hanya ingin Kamu merasa yakin bahwa Aku tidak akan melakukan hal yang tidak pantas kepadamu," kata Eddy kepada Milla sambil tersenyum.
"Terima kasih karena sudah berusaha membuat aku tenang," kata Milla dengan wajah yang merona merah karena menahan rasa malu. "Namun, Kamu tidak perlu melakukannya karena Aku tahu Kamu tidak akan pernah berbuat yang tidak pantas terhadap diriku," sambung gadis itu penuh keyakinan.
Mata Eddy tampak berbinar dengan kepercayaan yang telah diberikan oleh Milla.
Sambil tersenyum dia membawa Mila masuk ke bagian dalam vila.
Milla memandang nanar sekeliling ruangan dimana perabotan dari kayu jati dengan meja besar dan kursi yang beralaskan kulit itu masih ada di sana.
Melihat semua itu kembali terpampang di matanya perasaan Milla menjadi tidak menentu.
Ruangan keluarga ini dulunya sering sekali dipakai olehnya dan Shasha untuk belajar bersama membahas materi-materi yang diberikan oleh guru mereka di sekolah.
"Sebelum kita mulai melanjutkan kerja sama ada baiknya kita bicarakan soal pembayaran terlebih dahulu," kata Eddy memutuskan lamunan Milla.
" ... "
"Selain itu, Aku juga ingin menyampaikan apa yang menjadi hakmu sebagai ahli waris dari ayahmu," lanjutnya sambil duduk di sofa dengan santai.
“Kamu bercanda ... mana mungkin seorang sopir seperti ayahku memiliki harta warisan,” kata Milla dengan nada getir.
Milla memang tidak percaya kalau ayahnya telah meninggalkan harta warisan untuknya ketika dia masih hidup, sebagaimana yang dikatakan oleh Eddy. 'Kalau Aku punya harta warisan, Aku tidak akan bekerja pontang panting hanya untuk membiayai kuliahku di Jakarta,' batin Milla sinis. Dia masih mengingat dengan jelas bagaimana susahnya kehidupan setelah ayahnya meninggal. Kuliah sambil bekerja, kepala jadi kaki, kaki jadi kepala. Tidak seperti teman-temannya yang bisa masuk kuliah dengan santai tanpa harus terbebani dengan biaya hidup dan biaya kuliah, Milla malah sibuk mendampingi bosnya yang juga kekasihnya itu keliling daerah dan luar negeri. Beruntung dosennya adalah seorang yang pengertian, dia mengizinkan Milla untuk tetap mengikuti kuliah secara daring melalui video. "Aku tidak berbicara omong kosong, almarhum ayahmu memang memiliki bagian dalam harta warisan papaku, Aku juga baru melihatnya tadi pagi," jelas Eddy serius. Eddy memaklumi kenapa Milla tidak mempercayai kabar yang d
"Karena ada perubahan ini, maka renovasi vila juga akan berubah. Antara vila ini dan pondok milikmu akan dipisahkan oleh tembok tinggi agar Kamu maupun pemilik vila ini nantinya tidak akan merasa saling terganggu," ujar Eddy bijak. Milla terdiam, sepertinya kekhawatiran tidak dapat lagi melihat kenangan sahabatnya dari dekat memang tidak bisa lagi dihindari olehnya. "Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy ketika melihat Milla tampak melamun. "Aku baik-baik saja ... tapi barang-barang Shasha dapatkah Kamu memberikan padaku agar Aku dapat terus menyimpannya sebagai kenangan?" tanya Milla ragu khawatir Eddy marah dan menuduhnya serakah. "Tidak masalah ... tadi di taman Kamu bilang ada kerusakan yang harus di perbaiki dan diubah total, Aku ingin rincian jelasnya sekarang juga," kata Eddy kepada Milla sambil bersandar di sofa dengan gaya elegan. "Semua tanaman mawar itu harus diganti karena sudah rusak dan pohon akasia itu juga perlu di tebang beberapa dahannya yang sudah kering agar b
"Selain itu Aku sibuk bekerja, besok pun Aku harus pergi ke luar negeri untuk urusan pekerjaan. Apakah Kamu tidak apa-apa jika Aku tinggal dan mengerjakan semua ini sendiri?" kata Eddy lagi bertanya pada Milla. "Tidak masalah," jawab Milla datar. Bagaimana pun itu memang sudah menjadi tugasnya, semenjak Eddy memilih untuk tidak ikut campur tangan dan menyerahkan semua masalah yang terkait dengan urusan renovasi vila kepada dirinya. "Kalau begitu semuanya beres," kata Eddy lega. Tadinya Eddy sempat merasa tidak enak hati untuk menyampaikan kepada Milla bahwa dia akan pergi sementara dari tempat ini untuk membereskan pekerjaan yang sempat terbengkalai dan dia tinggalkan di Jakarta. "Lalu kapan Kamu akan kembali? Soalnya untuk pemotongan pohon dan pembangunan taman Aku butuh persetujuan darimu," kata Milla serius. Bagaimana pun tidak mungkin baginya mengambil keputusan sendiri tentang renovasi pembangunan ulang vila, karena vila ini bukan milik pribadinya. "Kamu bisa memutuskannya
Milla akhirnya memutuskan untuk menelpon tukang pangkas pohon itu untuk menanyakan alasan dan sebab keterlambatannya datang. "Maaf, Non Milla, Saya tadi malam sudah telpon ke vila untuk mengonfirmasi ke pemilik vila tersebut dan memastikan soal pekerjaan yang kita sepakati kemarin untuk pekerjaan hari ini tetapi saat telpon diangkat oleh pemilik vila, katanya Dia sedang ada di luar dan membatalkan kesepakatan kerja hari ini karena Dia sedang tidak berada di vila," kata sang tukang pangkas pohon itu kepada Milla sopan. "Siapa yang membatalkannya, Pak?" tanya Milla merasa heran. Pikirannya langsung mendarat pada sosok Eddy. Namun, kemudian dia tepis, sebab Milla sendiri tidak merasa yakin apakah orang yang dimaksud oleh tukang pangkas pohon itu adalah Eddy. "Orang itu mengaku sebagai pemilik vila, Non," sahut tukang pangkas pohon itu tegas. Milla langsung paham siapa yang dimaksud tukang pangkas pohon tersebut. Siapa lagi kalau bukan Eddy? Awalnya Milla memang meragukan bahwa Ed
Gadis itu kemudian membaringkan tubuhnya yang lelah sehabis bekerja dan panas-panasan di taman dengan perasaan nyaman. Milla membentangkan tangan dan kakinya di atas kasur yang telah biasa dia gunakan untuk tidur sejak dia masih kecil. "Akhirnya bisa istirahat dengan nyaman di rumah," gumam Milla sambil berguling ke sana ke mari merasa bahagia. Dia memejamkan matanya dan tersenyum. Milla merasa beruntung sekali karena ayahnya telah menyediakan kasur ukuran besar dan tahan lama seperti yang ditidurinya saat ini sehingga sampai sekarang kondisi kasur tersebut masih tetap layak untuk dipakai olehnya. Dia tidak dapat membayangkan bagaimana jika harus membeli kasur baru sedangkan wilayah ini sangat jauh dari manapun. Kalau dia harus membeli kasur sekarang pasti akan sangat menyita waktu dan menguras dompet. "Ayah memang yang terbaik!" gumam Milla sambil terus tersenyum dan merasa penuh syukur. Tiba-tiba lampu berkedip-kedip dan padam di saat gadis itu membuka matanya untuk meliha
"Apa yang Kamu lakukan? Apakah Kamu tidak apa-apa?" tanya Eddy sambil menahan pinggang Milla dengan salah satu tangannya. Eddy merasa aneh melihat Milla yang hampir jatuh jika tidak dia tahan. Kalau hanya mengetuk pintu, tidak mungkin gadis itu sampai hampir terjatuh ketika pintu dibukanya. 'Sepertinya Dia mengetuk pintu sambil bersandar,' tebak Eddy dalam hati. "Tidak, Aku tidak apa-apa," kata Milla dengan wajah merah merona karena malu sambil berusaha menegakan tubuhnya dibantu oleh Eddy. Milla benar-benar merasa malu sekali dengan kejadian yang telah dialaminya tadi. Rasanya dia ingin sekali membenturkan kepalanya dan pura-pura pingsan karena merasa malu menghadapi Eddy. "Apakah ada masalah?" tanya Eddy perhatian. Eddy pikir tidak mungkin gadis di hadapannya ini menerobos kegelapan kalau tidak ada hal yang benar-benar serius untuk disampaikan. "Kenapa Kamu lama sekali membuka pintunya?" tanya Milla lebih seperti keluhan di wajah cemberutnya. "Aku baru saja selesai mandi," ja
'Barang kali setelah semuanya dibicarakan, Eddy mau kembali menghidupkan listrik di pondok aku,' harap Milla dalam hati. Eddy mengajak Milla masuk ke dalam vila dan mengajaknya ke dapur untuk duduk di meja kopi yang berada di dapur. Meja itu hanya berukuran enam puluh kali seratus dua puluh sentimeter persegi menyambung dengan kitchen set yang terletak di antara dapur dan ruang makan. "Silakan," kata Eddy mempersilakan Milla agar duduk di kursi yang ada di seberangnya. Lalu Eddy sibuk memasak air dan menyeduh kopi untuk dua orang. Milla hanya diam memperhatikan kegiatan Eddy memasak air dan menyeduh kopi. Dari gerakannya Milla bisa melihat kalau pria itu sudah terbiasa melakukan kegiatan itu seorang diri. "Cream or sugar?" tanya Eddy kepada Milla ketika dia sudah menuangkan kopi ke dalam gelas kopi. "Sugar, please," sahut Milla sambil bertopang dagu. "Silakan," kata Eddy sambil meletakan kopi di hadapan Milla dan duduk di seberangnya. Eddy menyeruput kopinya dengan santai sam
"Oh?!" sahut Milla acuh tak acuh. "Saat itu Aku sedang rapat dan Dia meminjam ponselku, mungkin pada saat itulah tukang pangkas menelepon ke vila, kebetulan telepon di sini langsung dialihkan ke ponselku," kata Eddy menduga-duga. "Lalu sepupu angkat Kamu itu dengan beraninya mengangkat telepon untukmu dan memutuskan untuk Kamu?" cibir Milla sinis. Jelas Milla menanggapi sinis penjelasan pria di hadapannya ini. Sebab, sedekat apa pun sepupu apalagi ini hanya sepupu angkat, apa mungkin dia bisa memutuskan segala sesuatunya seenaknya sendiri tanpa izin dan setahu sepupu angkatnya yang dalam hal ini adalah Eddy? "Mungkin Dia mengira di vila ini tidak ada orang jadi Dia membatalkan janji itu dan setelahnya lupa untuk memberitahu Aku," kata Eddy berusaha membawa Milla untuk berprasangka baik kepada Nining. "Sepupumu itu apakah Dia adalah perempuan?" tanya Milla ingin tahu. "Iya," jawab Eddy singkat. "Pantas," gumam Milla sambil meletakan gelas kopinya dengan bosan. Milla telah mendug