"Aku baru tahu kalau babi bisa makan spaghetti dan makaroni," kata Eddy sambil tersenyum terhibur memperlihatkan gigi-giginya yang berjajar rapi. "Kita makan sama-sama saja," usul Milla mengabaikan kata-kata Eddy. "Baiklah ... ayo kita makan bersama, selamat makan," kata Eddy sambil menyendok spaghetti dari dalam mangkuknya. Milla mengangguk dan melakukan hal yang sama dengan Eddy. Mereka makan malam dalam keheningan, baik Eddy maupun Milla, keduanya sama-sama tidak suka berbicara ketika sedang makan. Sedikit demi sedikit makanan di atas meja itu berhasil mereka habiskan. Eddy benar-benar senang bisa memiliki teman makan seperti Milla. Tidak seperti gadis-gadis lain yang selalu menjaga image ketika makan, Milla malah cenderung cuek dan tidak takut terlihat berantakan saat mereka makan bersama. Eddy menambahkan makanan terakhir ke piring Milla karena melihat makanan di piringnya telah habis lebih dulu. Perilaku Eddy ini membuat gadis itu protes dengan membulatkan matanya ke arah E
"Aku memiliki usaha yang bergerak di bidang jasa online," jawab Eddy sambil menopang dagunya dengan punggung tangan dan tersenyum menatap Milla yang sedang menghabiskan potongan pizza terakhirnya secara perlahan. "Jasa online?" tanya Milla heran. Akhir-akhir ini Milla memang sering mendengar usaha online yang katanya lebih berkembang di pasaran dibanding usaha non online. Tapi dia sama sekali tidak pernah membayangkan kalau dirinya akan bertemu langsung dengan salah satu pengusaha dalam bidang tersebut. Milla jadi tertarik untuk mengetahui lebih jauh tentang usaha yang dijalani Eddy ini. "Iya, Aku menyediakan lapak untuk bertemunya produsen dan pembeli. Selain itu Aku juga punya usaha jasa pengiriman barang dan angkutan umum online," jelas Eddy jujur. "Wow, Kamu hebat! Bagaimana hingga Kamu memiliki ide untuk membuka usaha di bidang tersebut?" tanya Milla kagum. "Aku join dengan sahabatku, awal adanya ide itu sebenarnya hanya iseng-iseng saja, tidak disangka perusahaan itu bisa
Dia tidak ingin terus terjebak dalam situasi tidak mengenakkan bersama Milla. Bagaimana pun Eddy ingin lebih jauh mengenal sahabat almarhum adiknya ini dan mencari tahu mengapa adiknya bisa betah berteman sedekat itu dengannya. "Yah, Kamu benar, memang sangat menjanjikan untuk berkarir di Jakarta. Sebelumnya Aku sudah bekerja di sana, di sebuah perusahaan konstruksi dan real estate," kata Milla sambil menghela napas dengan tatapan kosong. Milla masih ingat sebelumnya ketika dia diterima bekerja sebagai salah satu karyawan di salah satu perusahaan konstruksi dan real estate, dia merasa sangat bahagia dan bangga sekali karena bisa menunjukan kepada dunia bahwa anak sopir seperti dirinya bisa bekerja di perusahaan besar sebagai karyawan tetap. "Lalu mengapa Kamu berhenti?" tanya Eddy dengan heran memotong lamunan gadis berusia dua puluh lima tahun itu seketika. Milla menatap pria yang usianya lebih tua empat tahun darinya itu dan saat ini sedang menatap dirinya penuh rasa ingin tahu
Milla ingat sekali bagaimana perasaannya ketika mengetahui pacarnya itu berdusta. Dia merasa seakan langitnya runtuh sebab, semuanya terjadi di saat Milla sedang berduka karena kehilangan ayah dan sahabat terbaiknya. Saat itu dia benar-benar merasa sendirian, tidak punya orangtua dan kerabat, tidak ada tempat untuk mencurahkan kesedihan, bahkan Milla pun sempat berpikir untuk mengakhiri hidupnya sendiri namun, dia ingat bahwa laki-laki itu tidak cukup berharga untuk membuatnya mengorbankan nyawa. "Jangan sedih, masih banyak pria baik-baik yang bisa dijadikan pendamping dan akan melindungi Kamu seumur hidup," hibur Eddy. Milla tertawa sumbang. "Apakah menurutmu Aku masih ada minat untuk kembali menjalin cinta dengan laki-laki lain?" tanya Milla sambil memutar bola matanya bosan. "Semuanya mungkin-mungkin saja, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Apakah Kamu tidak pernah mendengar pepatah yang mengatakan bahwa hati yang terluka dapat disembuhkan dengan hati yang baru?" kat
Hampir saja Eddy keceplosan bilang ke Milla kalau dirinya cepat-cepat pulang ke vila karena khawatir kepadanya. "Karena?" tanya Milla penasaran. "Karena Aku ingat Aku belum menyalakan listrik di vila ini. Tidak tahunya listrik di sini akan hidup dan mati secara otomatis," kata pemuda itu berbohong sambil menggaruk kepalanya tidak gatal. Milla kembali ke kursinya dan tersenyum. Tapi tatapan sedih itu tetap menghiasi matanya. Hal itu benar-benar membuat Eddy jadi merasa tidak enak. Di dalam hati Eddy menyesali mengapa dari sekian banyak pembicaraan dia dan Milla harus terjebak dalam kisah sedih seperti itu. Walaupun itu baik karena akhirnya dia dapat mengetahui sisi lain Milla, tetap saja ini bukan saat yang tepat untuk berbagi kisah yang terlalu dalam. 'Pantas saja tadi Dia merasa ragu untuk mengatakannya kepadaku. Ini semua salahku karena sudah membuat Dia jadi teringat pada kemalangannya. Aku harus menghentikan pembicaraan ini,' putus Eddy di dalam hati. Eddy merasa pasti meny
Milla memasuki kamar Shasha yang semasa hidupnya sangat dekat dengan Milla hingga seperti anak kembar dan kemana-mana selalu bersama. Hanya pada saat Milla kuliah di Jakarta saja mereka mulai berpisah. Namun, masih tetap berhubungan lewat medsos dan hubungan telepon. Selain ruang keluarga, kamar tidur adalah ruangan favorit mereka berdua karena di kedua ruangan itu mereka biasa belajar bareng dan bertukar cerita. Mulai dari masalah umum hingga masalah pribadi yang mereka lihat dan alami. "Shasha, semoga Kamu bahagia di sana, doaku selalu menyertaimu," gumam Milla dengan suara bergetar. Milla menghela napas panjang dan mulai berjalan mengelilingi kamar sahabatnya untuk mencari dan mengingat memori apapun tentang kenangan indahnya bersama Shasha. Milla membuka laci meja belajar Shasha, di situ dia melihat sekumpulan fotonya dan almarhum sahabatnya selain yang terpajang rapi di dinding kamar. Gadis itu tersenyum melihat dirinya dan Shasha berfoto mengenakan seragam sekolah menengah
Pemuda itu mengusap tangannya berusaha untuk mengurangi rasa merinding yang saat ini dirasakannya. Dia perlahan menegakan tubuhnya, tidak lagi menyandar pada pilar di belakangnya, seolah ingin menunjukan bahwa dia berani dan tidak takut. "Arrgh!" Eddy berteriak kaget ketika melihat wanita berbaju putih dengan rambut panjang tergerai dan wajah yang menghitam ketika menoleh ke arah samping kanannya. Pemuda itu menepuk-nepuk dadanya meredakan rasa kaget yang membuat jantungnya melonjak dan berdebar keras. "Apakah Aku mengejutkanmu?" tanya Milla kepada Eddy sambil menatap ke sekeliling mereka. Tadi saat menggeledah kamar sahabatnya, Milla menemukan masker yang biasa dipakai olehnya dan Shasha ketika sedang menginap di vila. Dia sama sekali tidak menyangka kalau sahabatnya itu masih menyimpan ramuan masker alami yang masih baru dan tersegel di laci meja riasnya. Milla pikir Eddy sudah tidur. Maka dia dengan berani keluar rumah mencari udara segar sambil memakai masker dan menunggu wa
"Harum sekali, beruntung Aku sebelum pulang ke sini sempat membeli sekotak teh kesukaanku di Jakarta, kalau tidak akan sangat sulit sekali untuk mendapatkannya di sini karena teh ini hanya di jual di perkotaan saja," kata Milla kepada dirinya sendiri merasa bangga pada keputusan awalnya membeli teh di Jakarta. Gadis itu duduk dan menaruh tehnya perlahan di meja makan, di sana sudah ada toples berisi camilan yang berisi tinggal separuh. Milla menghirup teh manisnya dan menikmati perasaan hangat yang mulai menjalar ke sekujur tubuhnya. Dia lalu membuka toples camilan dan memakannya secara perlahan sambil kembali menghirup teh hangatnya. Selesai minum teh dan ngemil, Milla bangkit dari duduknya dan berjalan ke kamar mandi untuk membersihkan badan dan memulai aktifitasnya kembali. Udara pagi masih terasa segar dan bersih ketika Milla keluar dari pondoknya. Gadis itu melihat sinar matahari memantul dari genangan air dan embun di pepohonan yang memberikan efek berkilauan dan sangat in