“Maaf Tuan, kalau boleh tahu saya mau dimasukkan di universitas mana?” tanyaku ragu.“Panggil Aku Rendra saja, aku ini bawahanmu, Nona Zi,” ucapnya sambil sekilas menatapku dan kembali kepada tumpukan kertas yang aku berikan. Ia memberikanku beberapa opsi universitas ternama ini.“Tuan memintaku untuk mendaftarkan Nona Zi di sini,” ucapnya sambil menunjuk salah satu brosur universitas.“Ha?” Aku benar-benar terkejut ketika melihat nama Universitas tersebut. Tempat di mana Mesa menuntut ilmu, bahkan PakDe sampai harus menjual beberapa hektar sawahnya hanya untuk biaya masuk sekolahnya saja. “Maaf Rendra, apa aku bermimpi? Coba kamu cubit lenganku!” ucapku sambil menjuntai kan lenganku di depannya. “Nona Zi memang lucu,” ia senyum simpul hingga lesung pipitnya kembali terlihat begitu manis. *”Aku kembali melaksanakan pekerjaanku, apalagi kalau bukan menyiapkan makan siang untuk Om galak, bangunan dapur ini begitu luas, mungkin hampir sama dengan dua kamar bude dan Mesa jika disatuka
“Bukan seperti itu, Om . Tapi ....” Aku tertunduk.Sejenak memikirkan ide. Bagaimana cara aku mengalihkan pembicaraan kami.“Tapi apa, ha?”“ Itu, Om. Ini jam dua belas kurang lima belas menit. Kenapa sudah sampai rumah?” tanyaku sambil menunjukkan jam tangan yang melingkari lengannya.“Ini rumahku, Zi. Terserah saya mau pulang jam berapa,” ujarnya sambil menaikkan rahangnya. Benar-benar membuatku terasa terpojok.“Maaf Tuan. Makanannya belum siap,” ucap Simbok dengan mengernyitkan dahinya. Wanita itu nampak ketakutan ketika tuannya datang dan belum mampu menyajikan menu apapun. “Gak apa, Mbok. Jam makanku memang masih lima belas menit lagi.”Lelaki itu meletakkan tasnya di kursi lalu melonggarkan dasinya. Ia duduk di kursi ujung seperti saat sarapan tadi, mengambil buah apel yang tersaji di atas meja dan menggigitnya. “Jangan, Zi!“Jangan, Non!” Teriak Om Zuan dan Simbok bersamaan, benar-benar membuatku terkejut dan melepas barang yang aku pegang. Seketika bawang goreng itu berha
“Atau jangan-jangan ....” Lelaki itu mendekat menyisakan jarak hanya tinggal beberapa senti, senyumnya menyeringai membuat tubuhku gemetaran. Kini kurasakan peluhku pun ikut keluar, sedangkan tanganku terasa dingin. “Jangan, Om,” ucapku sambil mendorong tubuhnya agar tak semakin mendekat. “Kenapa, Zi? Ha? Kamu terganggu?” Lelaki itu terus mendekat sambil kembali menyeringai, ia semakin mendekat hingga terasa aroma nafasnya saat ia berbicara. Desiran jantungku benar-benar tak karuan. Ini pertama kalinya aku bersama lelaki sedekat ini.Aku terpejam, rasanya aku tak mampu menatap lelaki itu lebih lama. Sungguh perasaan yang tak pernah aku mengerti, dibalik rasa ketakutan, ada rasa yang aneh yang kini menjelajahi ruang hatiku.“Ba,” terdengar suaranya yang mengejutkan serta aroma nafas yang kian menyeruak. Sontak aku membuka mata, dan ia tertawa begitu konyolnya. “Kamu pikir aku mau ngapain, Zi? Ha? Aku tidak mungkin melakukan itu denganmu,” ucapnya sambil menata nafasnya yang terenga
Aku menatap makanan yang tersaji di meja, rawon yang memiliki kuah santan pekat serta daging bakar yang disajikan beserta panggangannya. Aku tak mampu menahan untuk tidak menelan salivaku. “Jangan hanya dipandang. Kamu laparkan?” ucapnya menatap ke arahku. Dua tangannya telah memegang pisau dan garpu. “Baik, Om,” ucapku sambil meraih rawonnya. Kuincip sedikit kuah kental tersebut, benar-benar nikmat. Sungguh rawon di rumah bude memang tak ada apa-apanya. “Enakkan?” Aku mengangguk.“Ini habiskan juga. Aku tak ingin seorang istri dari Zuan Raditya merasakan kelaparan “ ucapnya sambil meletakkan rawon miliknya di dekatku.Istri Zuan Raditya? Terasa ngilu aku mendengarnya.“Pasti, Om,” jawabku santai. Kapan lagi aku bisa makan enak gini. Dari pada makan sup ayam tanpa bawang goreng, sudah pasti nikmat masakan ini dong. Aku juga tak perlu jaim-jaiman kepada lelaki di depanku ini, mengingat perutku yang masih bagai genderang meskipun telah menghabiskan semangkuk rawon milikku. Aku mena
“Au, panas.” Semua kuah itu tumpah di atas meja, dan mengalir begitu saja hingga mencapai lantai.Aku menoleh ke sumber suara, seorang lelaki berdiri di belakangku, menatapku dengan dua bola mata yang hendak keluar. ‘Ya Allah ya Robbi, apa malaikat maut berupa sepeti ini? Menyeramkan sekali?’ “Zi ....” ucap Om Zuan dengan gemeletuk giginya.“Iya, Om.”“Kamu apakan dapurku? Bukankah aku pernah bilang kalau aku gak suka dapurku kotor?” “Akan saya bersihkan, Om.”“Di mana makan siangku, Zi? Ha?" tanya Om Zuan masih dengan giginya yang saling gemeletuk, terlihat ia beberapa kali membuang nafas kasar.“Maaf, Om. Ini takdir, Om!" Jawabku sambil meringis, tak berani menatap lelaki di depanku."Bukankah semua yang telah terjadi di muka bumi ini adalah kehendak Allah? Sama seperti aku yang tak sengaja menumpahkan kuah ini, itu karena takdir. Om tahan marahnya ya! Zi pernah baca sebuah artikel, tiap kali marah, beberapa sambungan syaraf ke otak itu menegang dan memutus. Itu gak baik Lo, Om.
Bab 10Aku benapas lega ketika keluar dari kamar kecil. Untung saja, aku tak harus keluar ruangan hanya untuk membuang hajatku. Pandangan mereka ke arahku, benar-benar membuatku ngeri. Tatapan sinis.“Kamu menjijikkan sekali, Zi!” ucap lelaki itu sambil sekilas menatapku. Pandangannya kembali mengarah ke layar di depannya, sedangkan tangan kirinya masih ia gunakan untuk menutup Indra penciuman. “Ini semua karena, Om. Jika Om tak memintaku untuk berdiam diri semua tak akan seperti ini.”“Zi,” ucap lelaki itu sambil mendelik ke arahku. Hingga sebuah panggilan terdengar di indra. Ia meraih ponsel dalam layarnya, melihat nama di dalamnya, dan membiarkan panggilan tersebut begitu saja.“Siapa, Om? Kenapa tidak diangkat?” tanyaku. Selintas bayangan wanita cantik tergambar di ponsel Om Zuan.“Bukan urusanmu.”Aku diminta Om Zuan untuk duduk menjauh darinya, di sebuah sofa sudut, yang sepertinya digunakan untuk Om menjamu rekan kerjanya. Hanya duduk, tak boleh berbuat apa-apa, termasuk bicar
“Dasar, wanita bodoh. Apa kamu gak membaca kemasannya?”“Tulisannya bahasa asing, Om. Aku gak bisa mengartikannya.”“Dasar kamu, Zi!” ucap Om Zuan sambil menatapku dengan membulatkan dua bola matanya.**POV Zuan.“Dasar kamu, Zi!”“Om, jangan marah-marah. Tau tidak kalau tiap Om marah tingkat kegantengannya bertambah.”Aku tersenyum mendengar pengakuan wanita kecil itu. Tak aku pungkiri, ketampananku memang melebihi rata-rata.“Diam, Zi! Kamu itu lagi gak waras!”“Siapa yang gak waras, Om. Zi itu tidak gila. Zi bisa berpikir sehat, dan yang terpenting, Zi bisa jatuh cinta. Tidak seperti Om. Berarti siapa yang tidak waras?” Wanita ini sepertinya memang sudah terpengaruh dengan alkohol dari minuman tersebut. Kenapa aku lupa kalau ada wine di lemari itu. “Om, apa karena wanita tadi ya? Om tidak mau menyentuhku. Padahal cantikan aku Lo, Om. Apalagi kalau aku dandan, sudah pasti tuh wanita itu kalah jauh.”‘Apakah seperti ini perasaan seorang wanita? Bukankah aku sudah pernah berpesan j
“Om Zuan, kenapa aku memakai pakaian haram seperti ini? Apa yang sedang terjadi? Kamu tidak ...?”Aku menutup belahan dadaku yang terbuka dengan menyilangkan tanganku sedangkan kakiku yang terekspose karena pakaian pendek ini aku tutup dengan jaket milik om Zuan. “Jangan berpikir aneh-aneh, Zi! Kamu menanggalkan semua pakaianmupun aku tak akan tertarik. Lihat saja, ukuran dadamu saja standar. Siapa juga yang mau melirik?” ucap Om Zuan dengan senyum tipis. Benar-benar merendahkanku.“Om.”Aku mendelik ke arahnya, sedangkan ia seakan tersenyum puas. Sesaat kemudian, ia memasukkan sebuah alat kecil ke telinganya, lalu menggeser layar pipih miliknya.“Iya, Ma. Zuan jemput sekarang ya!” Aku menatap lelaki itu, ketika kata “Ma” keluar dari bibirnya. Apakah Ma yang dimaksud adalah ibunya?“Siapa yang telfon, Om!”“Bukan urusanmu.”Ish, benar-benar menyebalkan. “Nanti kalau bertemu Mama kamu harus bersikap sopan, jaga sikapmu, dan ingat jangan banyak bicara.”“Bukan urusanku.”“Ini urusan