"Ini kesalahan..." Eleanor bersuara di antara nafasnya yang tersendat, sementara Effendy telah melepaskan tautan keduanya, hanya matanya yang menatap Ele dalam diam. Tangannya masih merangkul lembut pinggang wanita itu.Hening. Yang terdengar hanya suara detak jam dinding dalam apartemen dan suara nafas mereka yang pelan.Effendy menatapi paras yang sangat dekat dengannya itu, lalu sekali lagi hendak meraih bibirnya, namun itu terhenti karna Ele menahan dadanya."Jangan..." Pinta Ele memohon. Dia sendiri sedang berjuang melawan diri dari rasa rindu dan keinginannya. "Ini tidak benar, Chislon."Effendy akhirnya mencium kening Eleanor lembut, lalu memeluk wanita itu seolah ia adalah benda yang terbuat dari porselen. Mereka diam lagi. Effendy menumpukkan dagunya di atas kepala Ele, menghirup aroma rambut wanita itu yang mengingatkannya pada aroma lemon."Kamu berhasil," gumam Effendy sembari mencium rambut panjang Ele yang tadi telah tergerai karna ke agresifannya tadi."Aku tidak bisa
Effendy menatap Ashley, melihat wanita itu menekuk wajahnya. Kedua orangtuanya telah meninggalkan kediaman Abimanyu. Kini hanya tersisa mereka berdua."Apakah kamu puas?" Effendy menatap Ashley dengan rasa lelah. "Puas apa? Papa hanya untuk ingin kamu memperlakukan aku dengan baik, Mi Amor. Aku adalah ibu dari putramu.""Sejak awal aku sudah mengatakannya, apakah aku harus mengulanginya lagi?" Effendy menekan. "Aku tidak mencintaimu Ashley. Semua yang terjadi di Bali itu adalah kesalahan. Aku menutup mata kalau kamulah yang merencanakan sesuatu dengan minuman itu. Aku terus menyalahkan diri sendiri karna merasa akulah yang sepantasnya bersalah karna tak mampu menolak minuman yang kamu berikan Lily. Aku mempertanggungjawabkan hal yang disebabkan oleh jebakanmu." Tegas Effendy. Dia tahu. Sejak awal dia tahu bahwa ada yang salah dengan minuman yang diberikan Ashley padanya. Dia merasakan hasrat tak biasa yang menggebu dengan segera. Effendy masih mempertahankan akal sehatn
"Apa ini?" Effendy mengernyit. Andika hanya menjawab datar, "Bukalah."Chislon Abimanyu meraih amplop itu, baru saja dia hendak membukanya, ponselnya kembali berdering.Chislon mengeluarkan ponselnya dan melihat si pemanggil. Itu adalah Dewi Bimantara.Merasa tidak biasanya ibunda Ashley menelponnya, Chislon akhirnya mengangkat."Hallo, Ma." Panggilnya luwes. Sejak dulu Chislon memang terbiasa memanggil Dewi seperti itu karna wanita itu sendiri yang memaksanya memanggilnya demikian."Kamu ada waktu sekarang?"Chislon diam-diam menghela napas, "Ada apa Ma?""Mama ingin bicara denganmu. Tidak, ini tidak dengan ayahnya Ashley. Mama hanya ingin bicara empat mata dengan kamu.""Dimana?""Restoran Nafelion,""Aku ke sana."Effendy menutup ponsel, dia melanjutkan gerakannya tadi yang hendak membuka amplop yang di sodorkan oleh Andika, namun dokter muda yang merupakan sahabatnya itu melarang pelan, "Kamu sepertinya ada janji dengan Nyonya Bimantar
Effendy tahu bahwa pergi ke kediaman Bimantara untuk membawa Astakara kembali hanya akan membuat suasana semakin panas.Laki-laki itu akhirnya kembali ke kediamannya. Malam itu setelah membersihkan diri, Effendy mendapati sebuah pesan dari salah satu orang kepercayaannya. Itu adalah sebuah laporan kalau Andika datang mengunjungi apartemen Eleanor, tetapi ia sudah kembali ."Dia benar benar menyukai Ele?" Gumam Effendy dengan hati mendadak tidak suka. Mengingat Andika, dia teringat tentang amplop yang di berikan kawannya itu. Dia membuka, mendapati sebuah flashdisk, juga beberapa berkas bukti pemalsuan surat rumah sakit.Hati laki-laki itu mulai merasa tidak enak. Dia yang awalnya mencibir melihat Andika masih menggunakan flashdisk di zaman inovasi ini, mulai merasa penasaran.Dia mengeluarkan laptop dan memeriksa apa yang ada di sana.Di sana hanya satu file yang tampaknya sebuah rekaman. Ketika dia memutarnya, ia tahu bahwa itu adalah rekaman suara Ashley. "Aku akan berpura-pura ha
Ketika Eleanor bangun pada keesokan hari, presensi Effendy tak lagi ditemukannya, hanya sisa sisa kehangatan tubuh lelaki itu yang sempat dihidunya. Effendy mungkin pergi subuh tadi. Itu baru pukul setengah tujuh.Ada rasa sedikit tidak rela yang di rasakan Eleanor, sehingga membuatnya menepuk nepuk pipinya untuk mencari kesadaran. Biar bagaimanapun, Effendy adalah tunangan orang lain. Dia turun dari ranjang, mendapatkan sebuah note di atas nakas dengan tulisan elegan tegak bersambung, yang diyakininya sebagai tulisan Chislon Abimanyu.Maaf aku pulang tanpa memberitahu, kamu masih lelap tertidur. Terimakasih Eleanor.Segurat senyum hangat singgah di bibir Eleanor.***Mobil Effendy berhenti di depan gerbang kediaman Abimanyu, dia menyetir sendiri. Sayangnya, gerbang itu tidak kunjung dibukakan. Effendy turun dari mobilnya, dia mengenakan pakaian kasual yang membuatnya terlihat seperti ABG. Sang Tuan Muda Abimanyu itu melihat satpam kediaman yang menatapnya tidak enak."Mang Nurdin,"
"Apa maksud lelaki itu, Ashley?" Tegur Cakrawibowo pada Ashley yang kini tersengguk dalam pelukan Dewi. Effendy sendiri telah berlalu meninggalkan kediaman mereka."Jangan paksa dulu dia bicara, Mas. " Ucap Dewi bermaksud membela."Lalu aku harus diam seperti orang bodoh?!""Dia masih shock, Mas!""Kamu tahu sesuatu, eh?" Cakra menatap Dewi dengan tajam. Dewi Bimantara menatap suaminya dengan wajah kalut, namun dia tidak mengatakan apapun.Cakra tersenyum sinis, lalu berkata lagi, "Kamu terlalu lama menganggap dirimu bisa menggantikan aku, sehingga kamu mengabaikan kehadiranku, Dewi. Apa kamu kira aku tidak tahu semua kegiatanmu selama ini?"Dewi menatap suaminya, "Apa maksudmu?""Kamu bertemu dengan perempuan itu." Tukas Cakra, "Perempuan yang ternyata adalah putri kandungmu, eh?"Ashley tampak terkejut dalam pelukan ibunya, tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh sang ayah. Dia menarik diri dari pelukan Dewi dan menatap ibunya dengan kebingungan.Wajah Dewi menjadi pias. "Kamu sala
Kemarahan yang di rasakannya membuat Ashley merasa kepalanya blank. Semua yang terjadi membuatnya memusatkan kemarahannya pada satu orang, Eleanor.Pagi itu, dia menghentikan mobilnya di depan Hadasa Publishing, hanya untuk mencari cari sosok Eleanor. Namun menunggu menjelang jam makan siang, wanita itu tidak datang.Ashley turun dari mobil dan menaikkan kaca mata hitamnya. Bibirnya kini telah berpoles lipstik gelap, mengurangi kesan pucat di wajahnya. Dengan langkah cepat dia masuk ke rumah penerbitan itu, di pintu dia bertemu dengan seorang perempuan dengan id card sebagai editor akuisisi yang sepertinya keluar untuk makan siang."Maaf, apakah Eleanor ada?" Tanya Ashley tak menyia-nyiakan kesempatan.Wanita bernama Rima itu menggeleng, "Ibu tidak datang hari ini, dia mengecek pembangunan toko bukunya.""Boleh aku minta alamatnya?" Ashley memasang wajah memelas, "Ini penting sekali,"Rima mengamati Ashley sebentar lalu mengangguk. Ashley memberikan ponselnya, di sana Rima mengetikkan
Pengadilan Negeri. Effendy tidak pernah menyangka bahwa dirinya akan benar benar berada di sana, menuntut sahabatnya sendiri atau ex tunangannya.Ashley hadir seorang diri, memakai pakaian serba hitam seolah ia akan pergi ke pemakaman. Persidangan berlangsung alot.Pihak Effendy menuntut atas kasus penipuan yang di lakukan Ashley padanya. Sebenarnya, mengingat hubungan baik mereka di masa lalu, Effendy tidak akan sampai hati. Namun Ashley telah membuatnya kehilangan banyak hal, termasuk pernikahannya dengan Eleanor yang di amanatkan ibunya.Pengacara Ashley terus berusaha berdalih dan mematahkan tuduhan-tuduhan, namun semuanya terkena sanksi. Pada saat penyelidikan lebih lanjut di lakukan, itu terbukti bahwa bayi yang ada pada Ashley adalah anak kandung Eleanor. Miranti bahkan di datangkan sebagai saksi dan menerima imbas penghukuman. Effendy telah berusaha menghubungi Eleanor, mendatangi wanita itu, di apartemennya, namun dia tidak menemukan apapun. Saat Effendy menghampiri Darmawat