Share

Chapture 5

Ternyata seorang pria paruh baya dan pria muda memakai kemeja kotak-kotak yang sangat rapi dan wangi yang berdiri di sana.

“Kang Jalal,” ucap Zuzu lirih pada pria muda yang terlihat fresh dan tampan itu.

“Mang Karya. Masuk-masuk Mang,” kata pak Aman mempersilahkan keduanya masuk.

Keduanya memasuki gubuk mereka yang hanya beralaskan karpet plastik tanpa ada sofa yang empuk ataupun permadani yang terbentang indah seperti di rumah mang Karya.

 Kedatangan mereka pun sangat tidak pernah keluarga Zuzu duga, karena mang Karya salah satu orang terpandang di desa seberang,

"Ada apa gerangan tiba-tiba mau berkunjung ke rumah reot milik kami ini Mang?" semakin canggung saat  Jalal menyenggol lengan bapaknya mengisyaratkan bahwa itulah wanita yang anaknya sukai.

"Maaf duduknya di karpet dingin Mang," kata pak Aman.

"Tidak apa-apa Mang. Santai saja," jawab Mang Karya penuh santun.

Untung saja tidak ada adik-adik Zuzu di rumah, karena mereka sedang mengaji ditemani oleh Mirah di rumah ustadz yang berada di belakang rumah mereka. Kalau mereka disini, Didin akan berceloteh di Tengah-tengah obrolan mereka.

“Kedatangan kami kesini ingin menyampaikan niat kami pada Mang Aman dan Teh Ariah, bahwa anak saya ini seneng sekali sama Idah, anak Mamang. Setelah Jalal bicara dengan saya, katanya Idah pengen masuk pesantren sebelum mau menikah sama Jalal. Dan insyaallah kalau Neng Idah mau, nanti kami biayain Idah pesantren sampai selesai,” beber bapak Jalal pada keluarga Zuzu.

  Mereka terdiam membeku, tidak tahu harus bersikap apa, Zuzu yang hanya berasal dari keluarga yang serba kekurangan, dipertemukan dengan keluarga yang serba berkecukupan dan berbaik hati mau membiayainua pesantren.

Abah dan ibunya pun merasa canggung dengan penawaran yang sangat mengejutkan sekaligus mengkhawatirkan bagi mereka.

“Waduh. Kami tidak bisa menjawab apa-apa ini Mang Karya, takut merepotkan Mang Karya yang harus membiayai putri kami,” kata abah menolak secara halus.

“Iya Mang, apalagi kami sangat membutuhkan Zuzu dirumah. Kalau Zuzu jauh dari kami, tidak ada lagi yang membantu kami di rumah karena adik-adiknya masih pada kecil-kecil,” timpal bu Ariah tidak meridhoi tawaran bapak Jalal.

Zuzu hanya menunduk. Selangkah lagi impiannya akan tercapai, ia tidak peduli jika nantinya ia harus langsung menikah dengan Jalal setelah lulus dari pesantren, yang terpenting, ia ingin sekali merasakan kehidupan pesantren dan pergi jauh dari dunia keliling yang ia jalani bertahun-tahun itu.

Akhirnya Zuzu memberanikan diri untuk meyakinkan ibu dan abahnya.

“Bah, Ibu. Zuzu pengen sekali masuk pesantren, sama kaya Titi dan Limah. Zuzu sudah cape jualan keliling Bu, Bah,” katanya memelas. “Nantikan kalo Zuzu sukses, Abah sama Ibu juga akan bahagia,” lanjutnya meyakinkan kedua orangtuanya.

“Yaudah kalo itu emang mau Zuzu, tapi harus janji belajar bener-bener di pesantren, kan sudah dibiayain sama Mang Karya, jangan sia-siain kebaikan Mang Karya,” kata abah.

Mendengar kalimat sang abah, matanya bersinar bahagia luar biasa. Mang Karya dan Kang Jalal pun ikut bahagia atas keputusan keluarga Zuzu.

'Kini, aku akan berangkat menjemput impianku' tegasnya dalam hati.

‘Selamat tinggal nampan yang selalu kususun di atas kepalaku, selamat tinggal desa-desa yang pernah kupijak untuk mengelilingi daganganku, terimakasih jembatan reot peregang nyawa telah menyampaikanku pada desa seberang hingga aku bertemu orang baik seperti kang Jalal dan keluarganya’

***

Gerbang pesantren KHAS Cirebon sudah terpampang di depan mata, selangkah lagi, Zuzu akan masuk ke dalam istana suci itu.

“Zu, aku dan bapak pamit pulang ya,” kata Kang Jalal setelah mengantar Zuzu mendaftar di pesantren.

“Zu, hati-hati ya di pesantren, kalau ada apa-apa telpon Bapak ya?” kata mang Karya.

“Iya Pak, terimakasih banyak ya Pak sudah mengantarkan Zuzu sampai pesantren ini,” katanya berterimakasih.

Ia pun menyalami mang Karya dengan takzim, begitu juga pada kang Jalal. Mereka mulai melangkah meninggalkannya, namun, baru beberapa Langkah kang Jalal meninggalkan Zuzu, tiba-tiba dia menoleh kearah Zuzu dan berlari kembali padanya.

“Zu, kamu janji ya sama aku? Jaga diri kamu untukku?” pintanya dengan sorot mata yang penuh kekhawatiran.

“Iya Kang, Kang Jalal kan sudah mewujudkan impianku. Zuzu janji akan setia dengan Kang Jalal,” katanya meyakinkan pria yang hampir menangis itu.

“Bekalmu, kalau sudah habis, kami akan mengirimkannya lagi, kamu jangan khawatir ya. Aku juga akan sering berkunjung menjengukmu disini,” kata Kang Jalal menjanjikan uang saku untuk Zuzu.

“Terimakasih Kang,”

Mereka pun berpisah, disaksikan oleh senja dan daun yang melambai mengantarkan Jalal yang berjalan menjauh hingga tak tertatap oleh mata lagi.

Ternyata, perpisahan itu tidak selalu tentang kesedihan. Perpisahan yang membahagiakan adalah tentang bagaimana berpisah untuk setia, menaruh percaya pada masa, menyerahkan rasa pada waktu dan semesta. Dan, Zuzu yakin ia akan bisa.

Hari pertama di asrama. Zuzu sudah bertemu dengan Titi dan Limah. Namun, kamarnya dengan mereka terpisah.

“Alhamdulillah akhirnya kita bisa mondok bersama Zu,” kata Limah terharu.

“Iya Zu, kita Cuma berdua tanpa kamu rasanya kosong banget ya Mah?” Titi menimpali.

“Iya alhamdulillah. Aku juga bahagia banget bisa mondok bareng kalian,” kata Zuzu sambil merapikan barang-barangnya ke dalam lemari kecil yang sudah disiapkan oleh pesantren.

“Oiya malam ini akan ada pengajian Kyai Agil di masjid, kamu mau langsung ikut atau mau istirahat dulu?” tanya Limah.

“Aku mau ikut saja. Aku mau mulai mengikuti jadwal pesantren mulai malam ini,” kata Zuzu antusias.

“Yasudah kalau begitu kami mau mengantri ngambil makan dulu ya Dah, sudah di bel jam makan tuh,” kata Titi.

“Oh iya, aku ada bekal ikan teri dari Ibuku. Kalian nanti makan di kamarku saja ya?”

“Oke kalau begitu,”

Titi dan Limah pun bergegas ke kantin asrama untuk mengambil makan sore mereka.

Barang-barang Zuzu sudah hampir selesai tertata rapi di lemari, barang terakhir, adalah dari Kang Jalal. Sebuah ikat rambut kain berbentuk pita, yang jika dikenakan, pita itu akan menjuntai dengan sangat indah di rambut Zuzu.

“Kusimpan saja ini disini,” katanya pada diri sendiri sambil menggantungkan ikat rambut itu pada balik pintu lemari.

***

Adzan maghrib telah berkumandang, bel asrama telah berbunyi beberapa kali sebagai pengingat para santri agar cepat berkumpul untuk melaksanakan salat berjama’ah.

“Zuuu… Zuzu...” teriak Limah dan Titi dari depan kamar Zuzu.

“Iya, tunggu sebentar lagi pakai mukena,” sahutnua yang mempercepat gerak memakai jilbab mukena.

SRAAAAATTT…

Ia tarik sajadah yang masih menggantung di depan lemari sambil berlari kecil menyusul Limah dan Titi.

“Ayo!” ajak Zuzu pada mereka.

 Mereka berlarian untuk segera sampai masjid karena berlomba untuk mendapatkan shaf terdepan agar saat pengajian pak kyai nanti tidak mengantuk.

“Kita harus duduk di depan Zu, biar bisa fokus dengerin ceramah Pak Yai,” kata Titi masih sambil berlari kecil.

“Iya, aku biasanya kalau duduk di belakang, Pak Kyai baru ngucap salam saja aku sudah nguap,” timpal Limah yang berhasil membuat mereka tertawa.

Sampai di masjid, sayang sekali, mereka tidak berhasil menempati shaf paling depan, mereka duduk di shaf ke tiga di bagian santri putri. Meski mereka berada dalam satu masjid bersama santri putra, tetapi shaf mereka jelas berbeda. Santri putra berada jauh di depan, sedangkan yang putri, menempati bagian belakang masjid dengan tirai yang membatasi.

“Harusnya kita datang sebelum bel ke dua ya?” kata Titi membisik pada dua sahabatnya.

“Iya ya. Zu hati-hati kamu nanti ngantuk duduk dekat tiang,” lagi-lagi Limah membuat kami tertawa pelan.

“Assalamu’alaikum,” suara kyai Agil terdengar penuh wibawa saat memasuki masjid, para santri serempak berdiri menyambut kedatangan beliau.

Tapi, mengapa santriwati ramai sekali berbisik-bisik seperti sedang membicarakan seseorang yang baru saja mereka lihat. Mereka tampak antusias dan berbunga-bunga.

'siapa yang mereka lihat?' batin Zuzu.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status