Share

2. Keburukan Nasib

5 Januari 2019

12.33

[Nope: Halo, sayang. How are you? You can hit me up anytime. Kita bisa ketemuan kapan aja. I miss you that much. Bales pesenku sesekali, Bi. Kamu nggak kangen sama aku?]

Di dalam kamar yang minim akan cahaya, Biya menghela napas super panjang usai melihat beberapa notifikasi pesan masuk dari sang mantan kekasih yang kurang ajarnya masih mengirimkan pesan-pesan sok romantis. Seingat Biya, Biya sudah resmi mengakhiri hubungan mereka saat Ethan memberitahu jika dirinya harus menikahi seorang mahasiswi yang 'tak sengaja' dia hamili.

Biya langsung memutus segala kontak dengan Ethan walau rasanya sakit sekali, karena dipaksa melepaskan seseorang yang telah menemaninya selama dua belas tahun. Biya menekan segala rindu dengan cara mengingat fakta jika Ethan sudah berani bermain di belakangnya.

Biya menarik selimut; berniat kembali menghabiskan hari Minggunya dengan tidur. Tapi, itu jelas tidak berhasil.

"Biya!"

Biya tersentak kaget dan nyaris mendapat serangan jantung akibat Kakak lelakinya, Arsen, yang tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan mendobrak pintu. Biya otomatis menutup kedua mata--tak mampu menahan terangnya cahaya yang menyapa. Perempuan itu mulai memberengut, karena Arsen juga menyalakan lampu tanpa izin.

"Kok dinyalakan?!"

"Temenin makan di Burger Queen terus nonton bioskop. Airin lagi nggak bisa diajakin keluar," tutur Arsen tanpa mempedulikan Biya yang masih kesulitan membuka mata. Arsen ingin melanjutkan ucapannya, namun menahan diri usai melihat layar ponsel milik Biya yang ada di atas ranjang. Arsen bisa melihat jelas siapa si pengirim pesan tersebut.

"Are you still in touch with him?!"

"No!"

"Terus kenapa masih nge-chat lo?" pertanyaan Arsen langsung dijawab oleh Biya. "Ya enggak tau. Dianya sendiri yang kegatelan nge-chat gue mulu, Kak. Gue nggak pernah respon dan dia nggak mau berhenti chat."

"Sini handphone lo. Gue blokirin dia," Arsen menawarkan diri, tapi Biya malah menyembunyikan ponsel di balik selimut. Arsen menyipitkan mata penuh curiga dan tidak mengerti. Lelaki itu mengerutkan dahi sebal sebelum menuduh, "Jangan bilang lo masih sayang sama dia? For God's sake, Bi, dia sudah ngehamilin anak orang dan batalin pertunangan kalian gitu aja. Ayah sedih banget gara-gara dia dan dia juga sudah nyakitin lo."

Bibir Biya terkatup rapat sesudah mendengar tuduhan Arsen yang benar adanya. Biya juga tahu bahwa dia tidak sepatutnya masih sayang, karena Ethan tidak hanya menyakiti Biya seorang--tapi juga keluarganya, terutama Ayah dan Kakak. Biya tahu bahwa seharusnya dia bersyukur setelah batal menikah dengan Ethan. Namun percayalah, tidak semudah itu melepaskan cinta pertama yang sudah menemani selama dua belas tahun.

Maka dari itu, Biya enggan menerima orang baru untuk sekarang ini dan entah sampai kapan akan berlangsung.

"Iya, Kak ... I'm sorry."

Balasan penuh penyesalan yang terlontar dari bibir Biya jelas sukses membuat ekspresi wajah Arsen melemah. Menyadari jika dirinya terlalu keras pada Biya yang seharusnya dia jaga membuatnya merasa bersalah. Arsen menghela napas pelan lalu menepuk-nepuk kepala Biya penuh sayang.

"Udah, cepet siap-siap sana kalau mau ikut gue ke Burger Queen terus nonton."

"Ditraktir?"

"Iya."

Biya paling tidak suka jika melewatkan kesempatan ditraktir oleh Arsen dan otomatis segera bersiap-siap mengisi perutnya. Namun, saat sibuk mengganti pakaian, Biya mendengar suara bel rumah berbunyi dibarengi suara Arsen yang menyambut seseorang dengan begitu bahagia.

'Siapa?' Biya mengernyit ketika memandangi pantulan dirinya di cermin. 'Masa Kak Arsen ngajak temennya? Ini gue mau dicomblangin apa gimana?'

Biya diam di tempatnya cukup lama, karena memikirkan segala kemungkinan yang bisa terjadi padanya nanti saat bertemu dengan 'teman' Arsen. Tapi setahu Biya, Arsen bukan tipe yang suka menjodohkan orang. Selama hidup pun Biya tahu jika Arsen bukan tipe yang ribet dan suka mencari perkara baru.

Tok tok.

"Biya, udah selesai belom?"

Biya tidak membuka pintu kamar lebar-lebar—hanya menampakkan wajahnya. Biya cemberut. "Kak Arsen ngajak orang lain? Terus ngapain ngajak gue?"

"Jadi gini, gue tuh pesen tiket bioskop tiga buat gue, Airin, sama temen gue satu lagi. Kebetulan Airin ini nggak bisa datang karena mendadak Mamanya sakit dan nggak ada yang jaga. Sayang kalo tiketnya Airin kebuang tau. Udah cepet turun ke bawah kalau sudah siap!"

"Aduh, iya."

Sesudah selesai, Biya turun ke lantai bawah sesuai dengan perintah Arsen.

Biya membeku di tempat usai mengetahui siapa 'teman' yang Arsen maksud. Perempuan itu bahkan sampai tak sengaja berteriak dan nyaris terjatuh dari anak tangga saking terkejutnya akibat melihat sosok Dalvin sekarang ada di ruang tamu dan menegak segelas air putih pemberian Arsen.

"Pak Dalvin?!" teriaknya panik, sebab tak siap membayangkan kecanggungan dan ketidaknyamanan nanti saat pergi bertiga bersama Arsen.

Dalvin yang mendengar namanya diteriakkan jelas langsung menoleh ke arah sumber suara. Mata Dalvin menangkap sosok Biya berdiri di tangga dan ikut terkejut setengah mati. Di tengah keterkejutan itu, Dalvin yang tengah menegak air putih langsung tersedak--terbatuk-batuk hingga air menyembur keluar lewat hidungnya.

"LO NGAPA TONG?!" tanya Arsen tak kalah panik sembari menyeka hidung dan mulut Dalvin yang dipenuhi air menggunakan tisu kering.

Ini jelas bukanlah suatu hal yang baik Biya maupun Dalvin harapkan.

***

Makan siang di Burger Queen berlalu dengan penuh kecanggungan. Hanya Arsen yang banyak bicara--berusaha keras melibatkan Dalvin dan Biya yang diam layaknya patung pajangan di tengah jalan. Keadaan mereka sangat kaku sampai Arsen bingung sendiri.

Dan sekarang, mereka berada di lobby bioskop.

Arsen mengambil tiket bioskop yang sudah dipesan secara online empat hari lalu pada mesin yang ada di dekat meja kasir, sedangkan Dalvin dan Biya duduk berjauhan di kursi lobby. Mereka sangat menghindari kontak mata akibat terus mengingat kejadian di hari itu.

Sungguh tak nyaman.

"Pak Dalvin ... kenal Kakak saya di mana?" tiba-tiba saja keheningan di antara mereka diakhiri oleh Biya walau sang perempuan masih enggan membuat kontak mata. Banyak orang berlalu-lalang, namun semua itu seolah tak ada bagi Dalvin--dia terlalu sibuk mengkhawatirkan sesuatu dibanding mengamati lobby bioskop.

"Saya?" tanya Dalvin sembari menunjuk dirinya sendiri.

Biya menoleh--menyempatkan membuat kontak mata sebentar sebelum kembali melempar pandang ke arah lain. Wajah mereka sama-sama kikuk, hanya saja, milik Biya lebih parah.

"Iya."

"Saya ketemu Kakak kamu di pesta nikahan teman saya. Kayaknya tahun lalu. Dia datang sama Airin, kan? Nah Airin itu sepupu saya," jawaban Dalvin terputus-putus. Terlalu grogi untuk sekadar bicara dengan Biya. "Saya dikenalin sama Airin di sana. Jadi temenan deh sampai sekarang. Tapi, saya nggak tahu kalau kamu itu Adiknya Arsen.."

'Astaga, Kak Arsen sama Kak Airin kalau nikah, gue ketemu lagi sama Pak Dalvin dong?!' Biya berteriak histeris dalam hati meskipun wajahnya masih kikuk setengah mati.

Biya ingin menyahut, namun didahului oleh Arsen yang melangkah mendekati mereka. "Eh, masuk yuk ke studio dua. Abis gini mulai bioskopnya."

Mereka berjalan pergi ke studio dua. Biya berada di belakang Arsen, sedangkan Dalvin di posisi paling belakang. Sejujurnya hingga sekarang, Dalvin tidak percaya jika orang lain tidak mengetahui rahasia mengenai dot bayi. Dalvin terlalu takut Biya menyebarkan ke orang-orang bahwa waktu itu dia ngedot di kantor.

Dalvin mengamati punggung Biya penuh kecemasan. Alhasil, tak tahan bergumul dengan setiap emosi negatif yang dia rasakan, Dalvin pun meraih pergelangan tangan Biya dari belakang.

"Biya, saya mau--"

Tapi, siapa sangka kalau Biya itu jago dalam olah raga taekwondo? Kepanikan Biya menyebabkan dia kembali meraih tangan Dalvin, menariknya, lalu dalam sekejap tubuh Dalvin melayang--punggungnya menghantam permukaan lantai dingin bioskop--menimbulkan suara gaduh nan nyaring yang sukses mengakibatkan keheningan datang tanpa diundang.

Dalvin mengerang tertahan. Wajah merah padam menunjukkan betapa sakit tubuh bagian belakangnya saat ini.

Arsen dan beberapa pengunjung bioskop yang berada di depan pintu terkejut setengah mati. Biya yang membanting tubuh Dalvin pun ikut terkejut dan membeku di tempat.

"Bi, lo ngapain sih?!" Arsen berteriak kaget sekaligus jengkel. Bagaimana bisa dia membanting tubuh lelaki di tengah keramaian bioskop? Arsen berlari mendekati Dalvin yang masih menggeliat di lantai, berjongkok, dan menepuk-nepuk dada bidangnya.

"Vin, lo gapapa?!"

"A-ahh," itulah rintihan pertama penuh kepedihan yang terlontar dari bibir Dalvin. Air matanya menetes dibarengi wajah yang kian memerah. Dia pun mencengkeram lemah tangan Arsen saat berbisik, "Sa-sakit banget anjing.."

Dalvin pun yakin, nasibnya hari ini memang seburuk itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status