"Kills?"
"Hm?"
"Bagaimana kabarmu hari ini?"
Sunyi sesaat. Tetap tidak ada jawaban bahkan setelah beberapa saat berlalu.
Ingin tahu, akhirnya Aila membalik tubuh. Kalau tadinya dia memunggungi lelaki itu, sekarang mereka tengah berbaring berhadapan. Kepala gadis itu mendongak dengan dagu yang bertumpu di dada Killian, menatap wajah tampan yang masih saja terus terdiam tanpa ada ekspresi apa pun.
"Kills?" tanya Aila lagi dengan suara lirih. "Kenapa diam saja? Apa aku membuatmu marah?"
Mulai merasa gelisah, Aila tanpa sadar mengelus-elus tangan Killian yang menjadi alas bantalnya. Jemari gadis itu juga bergerak tanpa arah di dada bidang Killian.
Namun belum terlalu lama, lelaki buta itu lalu menggenggam dan mengelus tangan Aila. Ada beberapa saat berlalu bagi gadis itu dengan tangannya yang tetap terdiam di dada Killian, merasakan detak jantung dan juga kehangatan lelaki tampan itu.
Ada debaran yang juga kian dirasakan oleh Aila.
Di hari yang sama, di kediaman keluarga Roxanne. Risa Roxanne tengah duduk sendiri di ruang depan dengan gelisah. Berkali-kali dia melirik handphone di tangan, dan berkali-kali pula dia menghela napas berat karena nyatanya benda pipih itu masih saja tetap sama terdiamnya. "Kenapa dia lama sekali?" keluhnya dengan wajah yang terlihat cemas. "Padahal sudah malam begini." Tidak betah untuk terus duduk, Risa akhirnya memutuskan untuk berdiri dan berjalan mondar-mandir di ruang depan kediaman keluarga Roxanne. Sesekali perempuan itu melirik jam dinding yang menunjukkan pukul 9 malam. Ini sudah 8 jam berlalu sejak suaminya, Heri Roxanne, berpamitan hendak pergi ke kediaman Agentine. "Apa dia berhasil bertemu dengan lelaki Rusia itu, Claude Agentine? Kabar yang kudengar, lelaki itu tidak memiliki hati dan sangat kejam. Bahkan dia tidak pernah segan sedikit pun untuk menghabisi lawannya," gumam Risa, sekarang menggigiti ujung jari tangannya karena merasa sema
"Aila." "Ya?" "Gadis itu bukanlah Ansia Roxanne, tapi Aila Lewis. Dia adalah kakak kembar Ansia, yang putra kalian salah culik sewaktu dia baru tiba di bandara karena hendak menjenguk Ansia yang mengalami kecelakaan. Ini adalah kebenaran yang ada." Deg! "Apa?" ••• Waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam, tapi Ivona Agentine masih belum juga bisa tidur. Perempuan berusia 50 tahun itu berdiri di ambang jendela, menatap pemandangan malam hari dari kamar tidurnya yang berada di lantai atas. "Kenapa belum tidur juga?" tanya Claude, memeluk Ivona dari belakang. Dia baru saja menyelesaikan semua pekerjaan dan sedikit heran karena sewaktu masuk ke kamar tidur, ternyata istrinya masih juga belum tidur. "Ada apa? Apa kamu masih memikirkan soal yang tadi?" tanya Claude lagi, kali ini sambil mencium pundak Ivona dan sesekali membelainya. "Bagaimana menurutmu soal apa yang Heri Roxanne katakan tadi, C
Untuk pertama kali, Killian merasa bersyukur atas kebutaannya. Dia memang tidak bisa melihat, tapi lelaki itu bisa merasakan dan menebak apa yang sedang terjadi. Aila sedang dalam pelukannya sewaktu Aiden datang, dan gadis itu langsung menyentakkan tangan Killian lalu menghambur ke dalam pelukan Aiden. "Ada apa?" tanya Aiden, yang dengan suka cita balas memeluk gadis impiannya. Dia mengelus dan menciumi rambut Aila, menghirup dalam-dalam aroma bunga yang ringan dan samar. Kalau saja tidak ada Erik, yang jelas mengamati mereka dengan cermat, mungkin Aiden bisa lupa diri dan melumat sepasang bibir berwarna peach yang selalu membuatnya tergiur itu. "Apa kamu merindukanku?" tanyanya mesra dalam bisikan yang sangat lirih. "Aku datang, Sayang." Aila tidak menjawab. Dia hanya mempererat pelukan dan menghirup dalam-dalam aroma tubuh Aiden. Sekilas tubuh gadis itu masih bergetar, tapi yang jelas gemetarannya sekarang sudah jauh berkurang.
Sebelumnya, di kediaman Reinhardt. Waktu sudah semakin larut, tapi Aiden masih belum tidur. Dokter muda itu berada di ruang kerjanya, mengamati jam digital berukuran kecil yang bertengger di atas meja. 'Sebentar lagi,' pikirnya sambil mengetuk-ngetukkan jari di atas meja. Sesekali matanya masih mengerling, mengawasi angka digital yang berubah setiap menit, seakan menunggu sesuatu. Menghela napas, dia lalu mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam saku kemeja. Ada senyum di wajah kalem Aiden sewaktu mengamati botol yang berisi cairan bening itu. Ukurannya sangat kecil, hanya berisi 10 ml cairan, yang sekarang sudah berkurang lebih dari separuh. "Kenapa aku baru kepikiran sekarang, ya?" gumamnya, masih juga tersenyum sendiri. Menengadah di kursi kerjanya, dokter muda itu kembali menghela napas. Selang beberapa waktu, lagi-lagi dia tersenyum. Cairan dalam botol kecil itulah yang akan membantu untuk mendapatkan apa yang dia
10 menit sudah berlalu.Aiden segera membenahi pakaian gadis yang sekarang tertidur nyenyak itu.Aila tertidur setelah tadi mengalami pelepasan akibat ulah sang dokter muda. Efek obat dan rasa lelah yang dialaminya, membuat gadis itu pun segera lelap.Aiden sempat nyalang sewaktu melihat tubuh molek yang terbaring nyaris telanjang, tersaji pasrah di depan mata. Berkali-kali dia menelan ludah, menahan gairah yang sebenarnya sudah ada di ujung.Namun dengan cepat dokter muda itu memutuskan untuk segera membereskan segala kekacauan yang ada, sehingga terkesan tidak ada apa pun yang terjadi. Bisa gawat kalau dia sampai ketahuan.'Ya karena memang aku belum melakukan apa pun,' batinnya sedikit frustasi. "Sial! Sayang sekali."Waktu terbatas yang dia miliki tidak mungkin digunakan untuk bercinta. Meski tentunya gadis yang sudah tidak sadar itu tidak akan sanggup menolak perbuatannya, tapi Aiden tidak yakin kalau dia bisa berhenti hanya dengan satu
Aila mengerang dalam tidurnya.Entah mengapa, sekujur tubuhnya terasa nyeri dan sangat berat untuk digerakkan. Kepala gadis itu berdenyut sakit seolah terbelah, dan tenggorokan pun seolah terbakar.Apa dia sakit?Aila sendiri pun tidak mengerti, karena selama ini dia belum pernah mengalami sakit yang serupa ini."Tidur lagi saja. Jangan memaksakan diri untuk bangun," sahut sebuah suara bernada rendah dan berat.Tidak lama kemudian, Aila merasa ada sebuah tangan yang menyentuh dahinya dan diam beberapa saat di sana."Demammu sudah turun. Syukurlah," ujar suara itu lagi, kali ini disertai desahan napas lega.Tangan itu lalu berpindah, mengelus-elus puncak kepalanya, membuat Aila merasa nyaman. Namun sakit kepala yang dia rasakan semakin tidak tertahan, seolah ada palu yang dipukulkan terus menerus.Ini sebenarnya kenapa? Kenapa kepalanya terasa begitu sakit seperti ini?"Sst, tenanglah," gumam suara itu, dan Aila mer
"Akh! Pelan-pelan, Aisa," keluh Aiden, saat Aisa mengusapkan kasa yang sudah dibasahi alkohol ke atas luka-lukanya. Padahal gadis itu sudah melakukan sepelan mungkin, tapi toh dia masih saja merasa kesakitan. "Kenapa Kakak sampai bisa babak belur seperti ini?" tanya Aisa, melalui isyarat tangan. "Luka Kakak sangat banyak dan sepertinya parah. Apa nggak sebaiknya kalau Kakak ke rumah sakit saja?" Meringis beberapa kali, Aiden tidak segera menjawab. Sebenarnya dokter muda itu tadi juga sudah berencana hendak ke rumah sakit terdekat, tapi kemudian dia mengurungkan niatnya. Dia khawatir kalau nanti pihak rumah sakit akan bertanya macam-macam. Bagaimana pun, Aiden tidak ingin nama baiknya sebagai seorang dokter sekaligus pemilik sebuah rumah sakit menjadi tercemar. Memang hal ini bisa saja Aiden gunakan agar memberi keuntungan baginya, apalagi kalau nanti hasil visum keluar. Dia bisa menggunakan hal tersebut untuk menuntut Killian atau paling tidak, mengancam lela
Hawa dingin begitu menggigit dan langit masih terlihat gelap karena fajar belum menyingsing. Suasana pun terasa sunyi, bahkan sedikit muram. Benar-benar khas suasana dini hari yang biasa. Namun kali ini ada yang berbeda. Di halaman belakang kediaman keluarga Ardhana yang sangat luas, nampak kobaran api yang lumayan besar. Hawa panasnya mendera ke sekitar, memberi kehangatan, dan membuat suasana yang seharusnya suram kini terasa lebih terang. Erik berdiri tidak jauh dari kobaran api yang memang sengaja dinyalakan atas perintahnya. Oh, ralat. Lebih tepatnya, atas perintah Killian, karena dia memerintahkan agar isi kamarnya disingkirkan dan dibakar. Lelaki buta itu tidak ingin ada sedikit pun sisa yang tertinggal dari hal apa pun yang mungkin sudah Aiden lakukan selama di dalam kamar tidurnya. Terlalu berlebihan memang, tapi seperti itulah sosok seorang Killian dan Erik tanpa banyak bicara pun segera menurutinya. Apalagi, saat akhirnya mereka men