Share

Terbayang-bayang

Ada sedikit hal berbeda dirasakan oleh Deni saat melihat Dini. Tidak biasanya Dini tersenyum manis seperti itu. Apalagi Dini masih berduka dengan keputusan yang diambil oleh Rehan. Tetapi Dini sama sekali tidak menunjukkan rasa sedih yang seharusnya ada. Dini terlihat mulai tersenyum, bahagia seperti apa yang diharapkan oleh Deni.

Saat mobil yang dibawa oleh Deni sudah sampai di depan rumah bi Sanih. Dini tidak segera turun, dia masih teringat akan wajah tampan dari Fachri. Di mana Dini begitu menyukai senyuman dari wajah Fachri yang mempesona.

"Sepertinya ada yang lain yang ku lihat darimu," ucap Deni mengejek Dini.

Dini langsung tersadar dengan apa yang dimaksud oleh Deni. Dia segera merubah sikapnya. Kembali menunjukkan wajah datar penuh kesedihan.

"Tidak ada yang aneh. Kamu saja yang merasa seperti itu," jawab Dini mulai kembali dengan ekspresi wajah sedih.

"Apa mungkin kamu jatuh hati pada pria tadi. Aku lupa namanya. Fach," Deni mengingat.

"Fachri," lanjut bi Sanih.

"Iya, Fachri. Aku rasa kamu jatuh hati pada pria tadi. Benar apa yang aku rasa, bukan?" tanya Fachri menyenggol Dini.

Dini berusaha berkelit dari godaan Deni. Dia langsung marah dengan apa yang disampaikan oleh Deni. Berharap tidak akan kembali menggoda dirinya dengan sosok Fachri. Dini merasa tidak pantas untuk seorang Fachri yang terlihat begitu islami.

"Tentu saja dia tidak mungkin suka padaku. Aku perempuan seperti ini. Sementara dia terjaga dari hal kotor. Jadi jangan pernah menggodaku dengan dirinya lagi," tegas Dini.

"Tidak ada masalah kalau Bibi pikir. Kamu sepertinya cocok dengan Fachri. Apalagi kalian memiliki tinggi yang tidak jauh berbeda. Kamu cantik, dan dia juga ganteng. Jadi terlihat serasi," ucap bi Sanih menggoda Dini.

Dini yang merasa semakin kesal pada Deni dan bi Sanih. Akhirnya memilih untuk pergi meninggalkan keduanya. Dia segera masuk ke dalam rumah bi Sanih. Di mana Dini bisa segera merebahkan tubuh di atas kasur. Sama seperti apa yang diharapkan oleh Dini saat ini.

Baru akan masuk ke dalam rumah bi Sanih. Dini disambut ketus oleh Fitri. Gadis berhijab pasmina itu, sama sekali kurang menyukai kedatangan dari Dini. Apalagi melihat penampilan serba minim yang ditunjukkan oleh Dini. Fitri sama sekali kurang menyukainya. Dia menunjukkan wajah jutek saat berpapasan dengan Dini di depan pintu rumah.

Merasa tidak ada yang salah dengan dirinya, Dini sama sekali tidak mempersoalkan respon yang ditunjukkan oleh Fitri terhadap dirinya. Bukan hal yang mudah bagi penduduk desa yang terkenal islami melihat penampilan dari Dini. Tetapi ini yang mungkin akan di dapat oleh Dini.

"Kamu mau kemana?" tanya Fitri tetap ketus.

"Saya mau masuk ke dalam," jawab Dini dengan singkat.

Bi Sanih pun datang, dia pun segera menjelaskan pada Fitri akan kedatangan dari Dini ke rumah. Namun Fitri tetap kurang suka dengan kedatangan dari Dini ke rumah tersebut. Sekalipun rumah itu adalah rumah milik bi Sanih.

"Nenek mau rumah kita di jadikan tempat tinggal perempuan seperti ini. Nenek tidak takut, jika rumah kita akan dijadikan tempat maksiat oleh perempuan ini?" tanya Fitri dengan wajah kesal.

"Jaga bicaramu Fitri. Tidak seharusnya kamu mengatakan hal tersebut pada Dini. Jangan pernah merasa suci untuk apapun. Sejatinya kita pendosa yang masih terjaga saja," ucap bi Sanih dengan penuh amarah.

Tentu saja Fitri terlihat kurang senang dengan apa yang terjadi. Mengingat bi Sanih akan lebih membela Dini di banding dengan Fitri. Padahal Fitri adalah cucunya sendiri, darah daging dari bi Sanih. Tetapi bukan tidak mungkin bi Sanih lebih membela Dini yang merupakan anak majikannya.

Tidak ingin semakin sakit hati, Fitri segera pergi meninggalkan rumah. Di mana itu lebih baik dilakukan oleh Fitri dalam kondisi seperti ini. Sebab dia akan dianggap salah oleh bi Sanih. Itu yang membuat Fitri merasa kurang nyaman dengan situasi yang ada.

Tidak peduli Fitri, bi Sanih pun segera meminta Dini dan Deni untuk beristirahat di dalam rumah. Di mana mungkin keduanya ingin segera merebahkan tubuh masing-masing. Mengingat perjalanan yang cukup jauh yang mereka berdua sudah tempuh.

Dini tentu saja beristirahat di sebuah kamar yang sudah disiapkan oleh bi Sanih. Sementara Deni yang akan segera melanjutkan perjalanan pulang, hanya merebahkan tubuh di atas sofa saja. Dini pun terlihat begitu antusias untuk bisa berada di dalam kamar. Membayangkan kembali wajah Fachri yang ia temui dalam perjalanan menuju rumah bi Sanih.

Dini langsung tersenyum saat dia menutup rapat pintu kamar. Dia pun menyandarkan tubuhnya ke pintu kamar. Di mana Dini langsung terbayang akan wajah tampan dari Fachri saat mulai menatap wajahnya.

"Entah kenapa aku mulai terbayang akan wajahnya. Pria itu, benar-benar membuatku hampir gila. Semoga saja aku bisa kembali bertemu dengan pria itu. Aku menyukai tutur katanya. Lembut, tentu enak untuk didengar." ucap Dini tersenyum.

Namun saat Dini mulai terbayang wajah Fachri. Ingatan dari Dini kembali ke masa pendekatan dengan Rehan. Hal yang sama dirasakan oleh Dini. Di mana Dini mulai merasa begitu gembira saat pertama kali bertemu dengan Rehan. Hingga akhirnya mereka bisa jatuh hati. Dan Dini menjadi begitu tergila-gila akan Rehan.

"Aku harus belajar dari apa yang terjadi padaku. Rehan harusnya menjadi gambaran, bagaimana aku harus bisa jauh lebih baik lagi dalam mencari sosok yang akan aku pilih sebagai pasangan. Aku tidak ingin bodoh lagi, karena cinta. Aku harus pakai logika untuk bisa jauh lebih baik lagi." ucap Dini.

Dini segera menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur. Tidak seperti di kamar yang biasa ditempati oleh dirinya. Kasur di kamar ini terasa keras, begitu juga dengan aroma bantal dan guling yang kurang sedap. Sedikit membuat Dini merasa kurang nyaman. Apalagi ini akan menjadi tempat yang Dini habiskan untuk beristirahat di kala dia sedang lelah.

"Tidak apalah, mungkin aku harus beradaptasi dengan kondisi kamar seperti ini. Jika aku sudah bisa beradaptasi. Aku yakin, aku bisa untuk hidup dengan situasi seperti ini." ucap Dini dengan penuh keyakinan.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status