Asap yang keluar dari gelas kopi memang sudah habis. Angin pagi pintar sekali mengusirnya. Tapi tidak cukup kuat untuk menguras rasa panasnya.
Kopi yang jadi lima menit yang lalu. Sang barista peraciknya tengah bersiap. Memakai seragam kerja berwarna biru langit. Ujung bajunya diselipkan ke celana hitam panjang. Sebelum ditarik keluar sedikit agar tampak semakin rapi.
Dari lemari baju ia bergerak sedikit. Lebih ke memutar badan. Di kos sempitnya tak perlu melangkah untuk tiba di cermin gantung yang tingginya hampir sama dengan panjang kepala Vero hingga lutut.
Mematutkan diri, sesekali berputar, merasa sudah rapi meraih parfum. Dua semprotan di kerah kiri dan kanan, satu semprotan di pergelangan tangan, satu semprotan di dada.
Belum hilang aroma parfum, tangannya bergerak lagi. Meraih satu kaleng kecil berisi minyak rambut. Mencolek sedikit, seujung jari telunjuk, meratakannya di telapak tangan, bera
“Tapi ini? Telur? Telur bebek?” Vero mengangkat alis. “Untuk apa telur bebek sebanyak ini?”Pak Januar mengangkat bahu, menggeleng tak tahu. “Ini semua Berliana yang minta. Satu kotak bayangkan. Seratus butir, emang ada menu kita yang pakai telur bebek?”Vero menggeleng, “Gak ada setahuku. Eh atau? Bakal akan ada menu baru?”“Nah!” Pak Januar mengacungkan jempol ke arah Vero. “Bener katamu. Boleh jadi tuh.”Dua laki-laki itu tengah berbincang di dekat mobil resto. Keduanya baru saja menurunkan semua barang belanjaan. Dan baru sadar jika ternyata ada telur bebek di salah satu barang bawaan mereka.“Tapi resto ini kan konsepnya Jajan Beda yakan? Menu apa yang terbuat dari telur bebek kira-kira?” tanya Pak Januar lagi.Membuat laki-laki yang jadi lawan bicaranya berpikir keras. V
“Kalau selalu laku kita bakal kehabisan waktu!” ucap Dhita. “Harusnya kita udah dapat dua belas kerak telur, tapi sekarang cuma ada dua. Semuanya laris di beli orang.”“Tapi mereka yang mau, bahkan ketika harganya sudah kita naikkan,” jawab Vero.“Tapi itu akan menyulitkan kita, Ver. Kita ini sedang tidak meladeni mereka tapi sedang mengerjakan pesanan,” bantah Dhita lagi.“Ya karena mereka memesan makanya kita buatkan mereka,” bantah Vero balik.Dhita yang tak puas dengan jawaban yang Vero berikan akhirnya pergi dengan wajah cemberut. Ia hanya pergi dari hadapan Vero, bukan dari tanggung jawabnya.Dhita tetap berbaik hati, tetap mau membantu merecikkan bahan untuk kerak telur Vero.Pukul sebelas siang, Berliana keluar dari ruangannya. Jika perhitungannya benar, maka kerak telur yang sudah Vero buat
Matahari sedang tinggi-tingginya. Hampir sempurna pukul dua belas siang. Mobil operasional JANDA resto menyibak riuh jalan.Jalan sedang ramai, banyak orang yang bersiap santap siang. Jalan jadi padat oleh mereka. Belum mobil-mobil operasional lain yang beranjak kembali ke kantor atau gudang mereka.Truk pembawa sembako, truk tangki pertamina, mobil ambulans, mobil polisi, angkutan umum, dan masih banyak lagi. Sementara dua orang karyawan JANDA Resto baru berangkat tiga puluh menit yang lalu.“Nih, Pak. Makan dulu,” ucap Vero. Tangannya membawa satu buah kerak telur yang masih hangat. Baru saja matang, aromanya masih tercium bersama dengan asap yang mengepul lembut di permukaannya.“Loh loh, nanti makin lama loh kerjaanmu Ver,” jawab Pak Janur. Tangannya menolak sesuatu yang diberikan Vero.Tapi laki-laki itu lebih mahir memaksanya;&l
“Kenapa harus selalu kamu lagi yang tertinggal?” ucap Berliana.“Kenapa harus selalu kamu lagi yang kutemui?” balas Vero.“Jangan-jangan kamu sengaja,” tuduh Berliana.Vero mengangkat bahu, “bisa juga kamu yang sengaja.”Berliana memukul lembut dada kekar Vero dengan kepal tangannya. “Aku kan tinggal di sini Ver. Mana ada aku yang sengaja.”Vero terkekeh sebentar. Kemudian menyusul perempuan itu berdiri, menarik kursi di sebelahnya. “Duduklah, semua pekerjaan sudah selesai.”Berliana tersenyum hangat, “kau sungguh romantis.”“Seperti biasanya bukan?” jawab Vero pendek.“Bagaimana kalau kuberi kau dua penawaran?” tanya Berliana. Selepas menghela napas panjang. Selepas meregangkan otot-otot tubuhnya di sandaran ku
“Jadi maksudmu?” tanya Berliana. Sorot matanya tak lepas dari Vero. Genggam tangannya menarik kuat-kuat pria itu.Ingin rasanya Vero lari. Enggan lagi menggubris perempuan di belakangannya. Bahkan jika bukan karena perempuan itu menjerit menahannya, pantang bagi Vero memberhentikan kedua kakinya pergi dari resto malam ini.“Ver!” Berliana belum berpindah tatap dari Vero.“Vero!!” laki-laki itu masih enggan menatapnya.“Verrrrrooo Jawab!!” bentak Berliana, tapi sedikit pun tak menggetarkan tubuh laki-laki itu. Bahkan sampai tangannya menggoyang-goyangkan tubuh Vero. Bahkan sampai matanya hampir menetaskan air mata. Bahkan hingga suaranya serak hampir habis.“Aku menunggumu, Ver. Aku sengaja menahanmu. Aku ingin kau pilih Yes untuk tawaran keduamu. Vero! Dengerin aku Ver! Kumohon. Haruskan aku mengemis untuk mendapatkan tubuhmu
“Lalu?” jawab Vero.“Aku menagihnya sekarang Vero! Temani aku malam ini,’ pinta Berliana. Matanya memelas, meski masih merah pekat efek alkohol yang baru naik.Vero menghela napas panjang, lelah dengan kelakuan Berliana. “Mbak, kamu nggak sadar. Kamu mabuk!”“Iya Vero, aku memang mabuk. Mabuk sama cintamu sayang,” jawab Berliana. Kedua tangannya masih erat menahan Vero pergi.Tak lama kemudian Vero mengipaskan tangannya, menepis tangan Berliana. Membuat genggamannya terlepas.Perempuan itu sudah pasrah. Ia bersedih sebab tak bisa melakukan apa pun kecuali menangis saat menyaksikan laki-laki itu pergi. Tubuhnya lemas, tak berdaya. Habis kesadarannya digerogoti alkohol. Habis perasaannya diaduk-aduk Vero.Ia tertunduk lemas. Air matanya terjatuh lagi. Kenyataannya memang begitu. Ia sedikit pun tak mampu menahan la
Malam semakin matang. Hewan-hewan di langit semakin sepi. Berganti hewan-hewan malam. Kelelawar, laron, kunang-kunang berlomba-lomba mencari mangsa, atau tempat baru dan terhangat untuk berkembang biak.Termasuk dua manusia di lantai dua sebuah Resto ternama di kota ini. Vero dan Berliana, dua manusia yang sedang dibalut perasaan kasih, cinta dan nafsu.“Seberapa besar kamu ingin mendapatkannya?” tanya Berliana.“11 banding 10,” jawab Vero pendek. Jawaban yang berujung satu cubitan di perutnya. Tidak sakit memang tapi cukup membuatnya refleks menghindar.“Aku serius, Ver!” protes Berliana. Berujung menggerutu sendiri.Vero terkekeh, tangannya gemas mencubit pipi kanan Berliana. Membuat perempuan itu mengaduh. Seketika menepis tangan Vero yang terlanjur mencubit pipinya. Mengaduh, mengusap-usap, merasakan nyeri di pipinya.&
Pelan-pelan Berliana merundukkan kepalanya. Pelan namun pasti rambut sebahu yang ia biarkan terurai jatuh meloloskan diri dari daun telinganya. Menutupi pandangan Vero yang menatapnya dari atas.Malam makin matang, tak tampak lagi kelelawar, atau orang-orang yang baru pulang kerja. Jalanan berubah lengang. Hanya terdengar satu dua kendaraan yang lewat.Sementara di keremangan lampu kamar, permainan mereka berdua tak kunjung juga selesai. Bahkan baru memasuki babak yang mereka berdua tunggu.Pelan-pelan, meski ragu ia memberanikan diri membuka mulutnya. Menyambut sesuatu yang akan masuk ke dalamnya. Sesuatu yang bahkan genggam tangannya saja tak cukup lebar untuk melingkarinya.Vero melenguh saat sesuatu yang dingin dan basah itu menyentuh kepala batang pen*snya.“Aaakkhhhh .... jangan mengenai gigi sayang, sakit,” protes Vero yang kemudian berujung tawa Berli