"Jadi apa yang harus kita lakukan, Bu? Dan tolong berhentilah mondar-mandir di depanku, bau parfum Ibu sangat menyengat."
"Diamlah, Jeni! Aku sedang berpikir. Kita harus menghentikan nenek lampir itu!"
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Kau tidak lihat aku sedang mengerahkan seluruh sel otakku untuk berpikir?!"
Leticia kembali berjalan mondar-mandir di tengah kamar sambil menggigit ibu jarinya.
"Ini semua karena Ibu! Jika Ibu tidak menyuruh orang suruhanku untuk membunuh Juni, maka masalahnya tidak akan sebesar ini!"
"Kenapa kau menyalahkanku? Kau yang bergerak sendirian, kalau kau mengajak ibumu ini maka aku akan membantumu dengan cara yang tidak terlihat." Diarahkannya telunjuknya kepada Jeni dengan marah.
"Dan sekarang Ibu menyuruhku berkorban sendirian." Jeni menghela napas, sedikit lagi ia akan merasa putus asa.
Kuku-kuku yang dirias cantik itu kembali Leticia gigit. "Tadi kubilang kau harus diam, Jeni."
"Aku tidak akan me
"Nyonya Lahendra sudah mengirim bukti-bukti ke email Anda."Beberapa saat yang lalu, Edward memanggil Saga untuk membicarakan hal yang penting. Dengan terpaksa, Saga menjauh dari Juni sebentar dan keluar dari ruangan.Saga menaikkan sebelah alisnya. "Kapan?""Tadi malam, pukul tujuh."Saga merogoh ponsel dalam saku celana santainya lalu memeriksa pesan-pesan yang masuk di email-nya.Benar saja. Ada pesan dari Maria sejak kemarin malam.Jari-jari Saga tertahan sejenak. Dadanya berdebar aneh saat sedikit lagi ibu jarinya akan membuka pesan itu.Karena apa pun hasil yang ditunjukkan Maria. Keduanya akan terasa berat baginya.Jika Juni tidak bersalah, maka Saga harus menanggung perasaan bersalah yang amat sangat. Lagi-lagi dia menyakiti wanita itu. Dia tidak menyukainya.Jika hasilnya memang seperti yang ia yakini selama ini, maka ia mungkin akan kembali murka dan akan mengasari wanita itu lagi.Ah,
Leticia terdiam sejenak. Tatapan matanya kosong, sedang bisa ia rasakan pandangan Maria yang terus menghunjamnya tanpa putus."Bicaralah. Kau terlihat ragu.""Aku ... aku ingin bicara soal—" Leticia mengernyitkan dahi. Begitu berat baginya untuk mengakui semua dosa yang telah ia lakukan.Tapi jika ia tidak melakukannya, maka Atlanta yang sangat bengis dan tidak punya rasa kasihan itu yang akan memusnahkannya dan juga anak-anaknya.'Sialan! Aku ingin membunuh wanita jalang ini saja!' Diliriknya Maria dengan sengit.Sandi mengerutkan kening menunggu Leticia yang terus bergelut dengan hati dan pikirannya sambil meremas-remas kedua tangannya. "Aku ingin mengakui sesuatu.""Mengakui apa?"Leticia menunduk putus asa. Mungkin Sandi bisa mengampuninya. Ia harus terus bertahan. Tak ada cara lain selain ini.'Ah, tapi bukankah semua bukti itu sudah dihapus?' Setitik harapan muncul di hati Leticia. Ia
Mata Jeni perlahan terbuka. Meski terasa berat dan membuatnya ingin memejamkan mata kembali, tapi denyut sakit di kepalanya serta merta membuat Jeni mengernyitkan dahi.Ia pikir setelah membuka mata, ia akan lepas dari kegelapan. Nyatanya sama saja, malah ditambah dengan sumpek dan panas.Posisinya pun tak kalah mengagetkan. Kedua tangan dan kakinya terikat pada kursi yang sedang ia duduki. Jeni sama sekali tak bisa bergerak.Dengan mulut yang tertutup lakban hitam berlapis-lapis, Jeni berusaha berteriak. Segalanya gelap. Sejauh matanya memandang ke depan, tak ada setitik pun cahaya yang masuk, seolah ia tengah berada di dasar tanah. Suhunya pun sangat panas.'Di mana ini!!' Jeni menjerit dalam hati. Setengah mati ia berusaha bergerak, mengabaikan rasa sakit di kepalanya seperti ditusuk ribuan jarum bersamaan.Jeni harus keluar dari sini. Dihentakkannya kedua tangannya, namun tali yang mengikatnya sangat kuat sampai menggores tangan Jeni.&nbs
Jeni kembali terbangun dan langsung mendengar suara derap langkah kaki di sekitarnya. Ia juga merasakan kehadiran beberapa orang.Namun, segalanya masih gelap. Belum ada penerangan apa pun sampai Jeni merasa seperti orang buta saja."Siapa? Siapa di situ?" Suaranya serak dan tenggorokannya sangat kering. Sejak ia bangun untuk pertama kalinya di tempat ini, tak ada setetes pun air yang membasahi mulutnya."Siapa di situ?!"Tak ada suara sama sekali. Jeni yakin mendengar ketukan sepatu tadi.Suasana yang sepi dan mencekam itu membuat Jeni bergidik. Ia mulai merinding dan merasa takut."Siapa? Apa mau kalian? Lepaskan aku!!"Sekejap kemudian, setitik cahaya meneranginya. Membuat Jeni terperanjat dan memalingkan wajah, terkejut karena tahu-tahu cahaya yang datang tiba-tiba itu menyilaukan matanya yang terbiasa melihat dalam kegelapan.Suara ketukan sepatu terdengar kemudian. Pelan, lembut, namun mengintimidasi.S
Baru kali ini mobil Sandi berpapasan dengan mobil Maria di halaman rumah Lahendra. Keduanya turun dari kendaraan masing-masing.Seperti biasa, Maria akan berjalan lebih dulu tanpa menoleh sedikit pun pada Sandi yang berjalan di belakangnya. Tapi, jika dulu Sandi juga tak terlalu peduli, maka sekarang ia memanggil wanita itu dan menghampirinya dengan cepat."Ada apa?" Maria menolehkan kepalanya sedikit, tak acuh dan dingin."Di mana kau mengirim bukti-bukti itu?"Mata maria menyipit. "Kau belum memeriksanya?Kebungkaman Sandi membuat Maria mendengus. "Kau memang tidak peduli atau terlalu pengecut untuk melihatnya?"Sandi memalingkan wajah. Tak membantah sedikit pun. Mungkin tebakan Maria memang benar."Aku mengirim buktinya di email pribadimu." Maria melanjutkan jalannya dengan marah."Tunggu," panggil Sandi lagi.Maria berhenti dan menoleh kembali dengan raut masam. "Ada apa lagi?"Ketakutan dan kekhaw
Dengan napas menggebu-gebu, Sandi mencari Leticia. Dibukanya pintu kamarnya dan tak menemukan Leticia di sana.Seorang pelayan yang lewat ia hentikan. "Di mana Leticia?""Nyo-nyonya Leti ada di kamar Nyonya Besar." Pelayan itu terbata-bata ketika melihat raut wajah Sandi yang menggelap.Buru-buru Sandi naik ke lantai dua tempat kamar Maria berada. Didobraknya pintu kamar yang maha luas itu. Leticia yang berada di depan pintu—sepertinya dia baru saja ingin keluar dari kamar ini—terkejut."Kenapa kau ada di sini?""A-aku ... sedang mengunjungi Kak—""Aku sangat marah padamu, Leticia! Bukti-bukti yang diberikan Maria itu terjamin kebenarannya. Kenapa kau melakukan itu?!"Leticia membelalak. "I-itu ... tidak penting sekarang, Mas! Jeni menghilang! Ini sudah malam ketiga. Tak ada kabar sedikit pun darinya!"Mimik kemarahan di wajah Sandi berubah menjadi terkejut. "Apa? Bagaimana bisa?!""Aku sudah mene
Saga menyorot bosan tubuh menyedihkan yang terbaring lemah itu. Rambutnya yang lurus indah sekarang lepek berantakan dengan wajah kusam yang tak lagi hidup.Tubuh Jeni Lahendra sudah mati. Hanya tersisa embusan napasnya yang teramat lemah.Sambil memasukkan kedua tangan ke saku celananya, tatapan Saga tak putus-putus menyerbu gadis itu.Ini sudah hari keenam sejak gadis itu berada di ruang eksekusi Atlanta yang pengap dan seperti neraka."Sudah kau pastikan tak ada makanan atau pun setetes air yang masuk ke perutnya?"Edward yang berdiri siaga di belakang Saga mengangguk sopan. "Sudah, Tuan.""Apa anak buahmu rutin menidurinya?" tanyanya santai, seolah sedang bertanya apakah Edward sudah makan atau belum."Iya, Tuan.""Bagus. Sekarang buang dia ke hutan belantara. Buat Lahendra menemukannya dengan cepat. Aku ingin dia pulang dengan selamat." Seringai mengerikan bertakhta di bibir tipis yang dingin itu.Edward menga
"Keluarga Lahendra sudah menemukannya, Tuan. Mereka sedang menyelidiki kasus itu."Seringai tipis bertakhta di bibir Saga. "Bagus. Ibu mertuaku pasti senang."Setelah mengirimkan bukti-bukti itu, Maria Lahendra datang ke rumah sakit untuk menjenguk Juni sekaligus memberikan sebuah penawaran kepadanya."Saya sudah memberikan bukti-buktinya. Tampaknya Anda sangat menyayangi putri saya."Sontak Saga terkekeh, suaranya renyah. "Aku suka kepercayaan dirimu, Nyonya Lahendra. Ya, aku sangat menyukai putrimu. Dia sangat tangguh sehingga menarik rasa penasaranku sampai aku bisa dibuatnya tergila-gila."Sejenak raut wajah Maria tampak kosong, matanya menerawang sebelum kembali menguasai diri."Ya, dia sangat tangguh. Perjalanan hidupnya yang sangat sulit mengasahnya menjadi perempuan yang seperti itu.""Ah, sepertinya dia punya masa lalu yang tak begitu mulus.""Tentu saja. Saya berjuang bersamanya dengan musuh yang sama. Putriku hampir