Badannya yang terasa akan remuk dan hancur berkeping-keping membuatnya teringat akan hasrat Saga yang tak ada habisnya semalam. Lelaki itu tidak membiarkan Juni tidur sampai lewat tengah malam.
Mereka baru berhenti pukul empat pagi setelah Juni memohon dengan nada yang memelas. Jika tidak, mungkin mereka akan bercinta sampai tengah hari.
"Anda sudah bangun, Nyonya?"
Juni terkesiap. Seorang pelayan tahu-tahu sudah berada di depan ranjang dan menatapnya datar.
"Se-sejak kapan kau di situ?" Dengan cepat Juni menaikkan selimut menutupi dadanya.
"Baru saja, Nyonya. Tuan besar meminta saya melayani Nyonya saat Anda bangun."
Juni ingat perempuan ini adalah pelayan pribadi Saga.
"Anda ingin mandi atau makan dulu?"
Rasanya akan sangat aneh jika dia makan tanpa mandi dulu, tapi perutnya sudah berbunyi sejak tadi.
Bagi Saga, cinta adalah kata yang mustahil. Sedari kecil Saga berhenti mengharapkannya sampai melupakan kata itu.Ia hanya tahu cara menguasai dan menghukum. Mendominasi dan mendapatkan apa yang dia inginkan.Saga merasa hatinya telah mati ketika kewarasannya direnggut saat ibu maupun ayahnya memukulnya tanpa ampun seperti orang gila. Saat darah yang anyir itu merembes di sepanjang lantai dengan luka lebam dan goresan di seluruh kulitnya, Saga tak pernah lagi ingin mengerti apa itu cinta.Tapi saat ini, di sore yang menyegarkan. Di depan mawar dengan warna yang beraneka. Ketika tangannya mendekap tubuh hangat dengan aroma menenangkan. Saga merasakannya."Aku tidak ingin melakukannya." Suara yang lembut, namun tegas itu pun menjadi tanda bahwa hati Saga masih hidup. Ia masih merasakannya.Dengan gerakan kesal, Juni menutup kembali bahunya lalu memutar tubuh setelah sebelumnya gagal melepaskan diri dari pelukan Saga."Apa yang ada di pikiranmu
Sudah hampir 30 menit Juni menunggu di ruang makan, tapi Saga belum datang juga.Setelah kejadian di taman tadi, Saga tak lagi bicara apa pun. Ia langsung mandi dan meninggalkan kamar."Apa Saga tidak ingin makan?" tanya Juni kepada Lenna yang berdiri kaku di belakangnya."Tuan tidak memberikan perintah apa pun, Nyonya. Tunggulah sebentar lagi, mungkin Tuan sedang ada pekerjaan penting."Juni menghela napas. "Ah, baiklah."Juni kembali menunggu. Bolak-balik menoleh ke arah pintu dan meja yang masih kosong."Bagaimana? Ini sudah hampir sejam, Lenna.""Saya akan memanggilnya." Lenna mengayun langkah keluar dari ruang makan, tapi Juni menahannya."Tidak. Biar aku saja.""Baik, mari saya antar ke ruangan Tuan Besar."Juni mengikuti langkah Lenna ke ruangan Saga. Mereka tak perlu menuruni tangga karena ruangan Saga juga ada di lantai tiga. Kendati Juni belum pernah ke sana, tapi ia sudah merasa familiar den
Saga menggandeng Juni ke ruang makan dengan langkah tergesa seolah sudah sangat kelaparan. Juni mencebik dalam hati. 'Ternyata dia juga kelaparan!'Lelaki itu bahkan menarik kursi di ujung meja untuk Juni sampai Juni terperangah dan akan mematung entah sampai kapan jika Saga tak bersuara."Duduklah. Aku yakin kamu sudah sangat lapar."Ah, gaya bicaranya yang mesra kembali. Setidaknya dia tak lagi bersikap dingin.Akhirnya pelayan menyajikan makan malam di meja makan. Juni mengembuskan napas lega karena ia baru saja berjuang untuk mendapatkan makan malam ini. Mulai dari menunggu lelaki itu selama satu jam sampai membujuk dan menjemputnya di ruangannya.Saga tersenyum saat melihat Juni makan dengan lahap. Ia sampai melupakan makanannya sendiri."Kamu sangat lapar ternyata."Juni tak memutuskan perhatian dari piringnya."Ya, aku menunggumu lama.""Maafkan aku."Mata Juni melebar dengan makanan yang penuh di mulut
Kejutan itu memang sangat indah. Saga membawanya ke lantai tiga dengan letak meja yang membuatnya bisa melihat semua sisi kota yang gemerlap dan terasa seperti surga.Bangunan-bangunan yang berjajar dan berkilau indah menjamah mata Juni saat ia duduk di kursinya."Suka?"Juni mengangguk. Dia sangat menyukainya. Terlebih saat alunan piano dan gesekan lembut biola berpadu, menenangkan dan menambah suasana romantis yang indah ini.Pandangannya beredar pada seisi restoran yang amat sepi. Hanya ada mereka berdua dan para pramusaji yang berlalu lalang sesekali."Kita harus menikmati malam ini berdua saja." Sepertinya Saga mengerti arti tatapan Juni."Kau tidak perlu menyewa satu restoran.""Hanya restoran lantai ini saja. Orang-orang bisa makan di lantai yang lain."Beberapa pramusaji menyajikan makanan pembuka. Makanan-makanan bergaya Eropa yang mewah."Makanlah."Setelah menghabiskan makanan pembuka hingga makan
Napas keduanya terengah-engah saat ciuman mereka terlepas. Juni menyandarkan kepalanya di dada bidang Saga yang naik turun."Aku mencintaimu, Honey."Mantra cinta yang diucapkan Saga bagai bola api yang menghunjam hati Juni tanpa henti. Gelombang yang berbahaya itu lagi-lagi memasuki hatinya. Namun, Juni tidak ingin mengakui.Juni menyangkal. Karena baginya semua ini hanyalah sensasi dari ciuman Saga yang teramat hebat, juga efek dari perlakuan lembut dan penghargaan yang lelaki itu berikan padanya."Aku ingin ke toilet."Saga tak bergerak untuk beberapa saat, mungkin sedang menormalkan ritme napasnya yang menggebu."Aku akan menemanimu," katanya, tanpa bergeser sedikit pun.Juni mendongak dan menatap mata Saga yang berkabut."Aku akan pergi sendiri."Juni butuh sendiri. Juni butuh menjauh sejenak dari lelaki ini. Karena dia teramat berbahaya. Jantung Juni pun belum jua surut dari debaran yang menggila."Kal
Jeni mengangkat dagu, matanya memicing melihat sosok Saga yang ambruk jauh di depan sana dengan darah yang meluber di kepalanya.Kepala botol yang sedari tadi dipegangnya ia lempar ke sembarang arah kemudian menepuk-nepuk tangannya dengan seringai puas."Ternyata kau bisa ambruk juga, Saga Atlanta."Jeni menunduk mengamati gaun hitamnya yang terciprati noda darah milik Saga. Ah, lagi pula gaun ini hanya tiruan.Setelah menyuruh para suruhannya membawa Juni, gadis bersurai lurus itu mengganti gaun yang sama dengan milik Juni. Yah ... gaunnya sangat sederhana, jadi gampang saja ditiru, walau tentu saja bahan dan kainnya tidak semewah milik Juni.Jeni segera kembali ke toilet untuk mengganti gaunnya. Setelah ini, adalah giliran Rafael. Tugasnya sudah selesai.Ponselnya berbunyi. Setelah melihat nama Rafael di layar panggilan, segera Jeni mengangkatnya. Mungkin dia ingin melaporkan bahwa Juni sudah dia bawa ke tempat yang aman."Hal
Rafael tak membuang waktu. Setelah melihat Juni memejamkan mata dengan kondisi yang mengerikan, ia segera mengangkat tubuh sang istri dan membawanya keluar dari gudang itu.Kendati dengan dada yang luar biasa sesak dan hati yang teramat sakit, Rafael memantapkan langkah membawa istrinya ke lantai paling atas.Di atas rooptop, Rafael berhenti. Menunggu sesuatu yang datang beberapa menit kemudian.Sebuah helikopter mendarat di sana. Dengan cepat, Rafael naik setelah mengeratkan pelukannya pada Juni.Tak pelak darah ikut membasahi kemeja putih Rafael.Setelah duduk di dalam helikopter, dengan Juni di atas pangkuannya, Rafael menatap wanita itu dengan kekhawatiran yang amat kental. "Bertahanlah sebentar, Sayang."***Rafael menatap lekat wanita yang terbaring di ranjangnya. Sangat dalam sampai ia tak sempat mengedipkan mata."Akhirnya kau ada di rumahku, Sayang. Ini rumah kita." Sorot matanya berkilat sedih. "Aku merindukanmu."
Saga terbangun di rumah sakit. Aroma antiseptik dan bau yang menyengat menusuk indra pendengarannya.Ia meringis kala merasakan ngilu yang teramat sangat di kepalanya saat ia bergerak. Saga mencoba bangun dan mengabaikan rasa sakitnya."Anda tidak bisa bangun begitu saja, Tuan." Edward yang tadinya duduk di sofa menghampirinya.Melihat Edward, mengingatkan Saga tentang kejadian menghilangnya Juni. Saat itu juga ia menggeram. "Di mana wanita itu, Edward?"Edward menunduk dengan ekspresi yang rumit. "Kami belum menemukannya, Tuan.""Seberapa hebat wanita itu sampai kalian tidak bisa menemukannya?" Saga menggertakkan gigi. Urat-urat di lehernya menegang sempurna.Kening Edward berkerut. "Sepertinya Nyonya diculik oleh orang berkekuatan besar. Kami belum bisa melacaknya karena CCTV di sepanjang area itu juga disabotase."Ada seringai di bibir Saga sebelum ia tertawa dengan muka menggelap. Kedua alis Edward sampai tertaut melihat sang tuan