Stefani masih tercekat. Ia tak percaya jika makhluk keji itu adalah Delano. Ia adalah pria paling baik diantara Darren, Emely dan lainnya.
Menit kemudian ia tersentak, dan kembali berlari mencari seseorang yang dianggapnya tertinggal di dalam sana. Ya. Stefani teringat dengan Elis. Wanita itu menyelamatkan nyawanya.
Sesampainya di ruangan yang di anggap sebagai kamar Delano, ia berlari dan memastikan jika Elis baik-baik saja.
Stefani mendekatkan telinganya di dada Elis dan menyentuh hidungnya. Ia akhirnya menghela napas panjang dan lega menyadari perempuan paruh baya itu masih bernapas.
"Nyonya … Nyonya," panggil Stefani pelan sambil mengguncangkan tubuh renta itu berulangkali.
Elis duduk di sudut ruangan, di Pave kafe yang ternama di daerahnya. Sengaja ia pilih tempat yang sepi dan letaknya berada di lantai dua yang mengarah ke jalan raya agar bisa leluasa. Tak lama kemudian, seorang pria bertubuh tegap, dengan gaya plontos di kepalanya datang menyapa. "Hai Elis, sudah lama menunggu?" Elis terkesiap, tak menduga jika pria yang ditunggunya benar-benar datang. Seketika matanya berbinar, senyumnya pun mengembang. "Oscar," panggilnya setengah berteriak riang. Keduanya saling bertukar sapa. Pelukan persahabatan pun mereka lakukan. Sudah lama mereka tak pernah bertemu. Hanya karena ini adalah urusan serius yang membuat Os
Setelah malam pertemuannya dengan Elis, Oscar tercenung memikirkan banyak hal. Tak luput dari perhatiannya adalah wanita itu menuturkan bahwa Delano dicurigai sebagai seorang pembunuh berantai. Sungguh hal ini membuat Oscar tersentak. Ia kembali membuka peti berisikan kalung dengan liontin batu safir merah. "Liontin ini masih di tanganku, bagaimana mungkin … kamu bisa—" kata-kata Oscar terhenti melihat kedatangan Darren. Oscar mengerutkan dahinya. Ia bingung mengetahui pria yang mirip dengan bos-nya menggantikan tinggal di kediaman Jeff Hilton. "Darren, kenapa kamu datang membawa koper besar? Delano ke mana? Kenapa mobilnya bisa ada sama kamu?"
Setelah dua malam tidak pulang, akhirnya Oscar muncul juga di galeri Jeff Hilton. Suara deru mesin mobil tua milik pria paruh baya tersebut terdengar bising hingga ke lantai dua.Sontak saja hal itu membuat Darren yang terlelap mulai membuka matanya. Seolah sedang tertekan, matanya melebar sempurna. Ia bahkan waspada terhadap siapapun yang terdengar melangkah mendekati kamarnya."Permisi, maaf mengganggu istirahat Anda. Tuan Oscar telah datang," ujar seorang maid.Sebelum istirahat, karena merasa cemas, Darren meninggalkan pesan agar salah seorang maid membangunkan dirinya ketika Oscar sampai ke rumah yang menjadi satu dengan galeri Jeff Hilton tersebut.Da
Delano yang sedang pingsan dalam waktu yang cukup lama, akhirnya terbangun juga.Ia bangkit sambil memegang kepala yang masih terasa nyeri. Matanya meneliti sekitar, mencari-cari sosok Oscar yang kini entah ke mana ia pergi.Delano kembali merasakan sepi. Di saat bersamaan ia teringat akan teman-teman lamanya. Hendri dan Bob. Apa kabarnya, dan di mana sekarang setelah kematian Hendri? Pertanyaan itu kembali melintas di benaknya, setelah sekian lama.Menemui Calista dan teman lama adalah rencana seorang Delano ketika ia baru saja tersadar. Ia tak lagi berpikir perempuan itu adalah musuhnya.Penting baginya untuk bisa dipandang normal oleh siapapun yang menganggapnya sebagai seorang yang lemah.
Malam hari 19.00—Mansion Jeff HiltonDelano seakan memiliki kembali gairah hidup yang sebelumnya sempat hilang. Darren memang tidak pernah berhenti membuatnya kagum.Pria yang sangat menginspirasi, tapi juga membuat iri. Ia masih muda dan berbakat, wajahnya tampan dan rupawan, sigap, tegas, modern, dan mampu mengendalikan situasi di berbagai keadaan.Kharismatiknya begitu kuat. Sangat mampu membuat kaum hawa tertarik. Di setiap kesempatan, tidak lupa ia memamerkan senyumnya yang khas, gigi taring sebelah kanan atasnya menonjol. Dari sanalah semua orang mengingat wajahnya sehingga memiliki kepopuleran.Namun, ternyata kepopulerannya justru dianggap menghalangi kip
Pukul 05.00 — Galeri Jeff Hilton, Firenze-Italia Pagi itu cuaca terlihat mendung. Langit terlihat gelap. Suara petir begitu bergemuruh. Tapi bukan gemuruhnya yang mengganggu pikiran Delano. Melainkan rasa canggungnya menghadapi masa lalunya yang kelam. Bagaimanapun ia tetaplah seorang Delano, meski sekarang perubahannya sangatlah banyak, tapi sama saja memiliki kekurangan. Ia memiliki sisi kurang percaya diri yang menjadi kekurangannya. Mirisnya ia juga mencoba melawannya dengan cara yang salah. Pagi itu ia mematut diri dalam pantulan cahaya cermin. Dilihatnya kalung batu safir merah miliknya sudah bertengger di atas nakas. S
Malam yang ditunggu-tunggu sudah tiba. Calista terlihat menawan dengan setelan kaus biru muda yang dipadu padankan dengan blazer berbahan brokat berwarna ceam.Sementara Bob, masih sama dengan penampilannya yang dulu, celana yang selalu menggunakan tali selempang dan juga topi berwarna selaras dengan kemejanya yang selalu jadi ciri khasnya.Delano memilih duduk bersebrangan dengan Bob yang duduk berjajar dengan Calista. Tidak sedikitpun Delano menghindari tatapan keduanya.Buku jemarinya seolah tak sabar terus mengetuk-ngetuk meja makan hingga menimbulkan suara, menunggu semuanya berkumpul dan segera mengutarakan keinginannya untuk kembali berkarya.Tak lama kemudian, Emely datang dengan menggunakan mantel dalma
Salah seorang teman terbaik Delano tak terima sahabatnya mengalami ini. Ia berpikir Delano depresi. Atau mungkin, jiwanya terguncang setelah kematian Jeff Hilton, lalu di susul kematian teman terdekatnya, yaitu Hendri. Dulu di tempat ini pernah menjadi tempat bahagia ketika pertama kali bekerja kepada Jeff. Di tempat ini pula pernah tercipta banyak kenangan dan juga tragedi yang tidak mengenakkan lainnya. Cuaca malam itu terasa dingin. Tiba-tiba semilir angin berembus kencang menyapu setiap pemilik pipi yang ada. Tiba-tiba saja lampu seketika padam. Seisi ruangan riuh. Mereka juga waspada, Oscar segera melepaskan kalung yang dikenakan Delano. Sebab dari kalung itu sumber energi buruk selalu muncul membersamainya.