Di malam yang sepi, Delano kembali menyendiri di taman kota. Ya. Tempat favorit Delano belakangan terakhir ketika hatinya kalut.
Suasana sekitar masih sama. Hening, menenangkan pikiran siapapun yang berada di sana. Ditambah udara segar yang berhembus, seakan menjadi terapis gratis bagi siapapun.
Delano memejamkan matanya di sebuah kursi taman.
"Delano," desis seseorang memanggil. Suaranya begitu dekat di telinga pendengarnya.
Delano terkesiap, ia membuka kelopak matanya perlahan. Ia terkejut melihat sosok tampan yang menyerupai dirinya. Sedang menelengkan kepalanya tepat di depan mata. Wajahnya bagaikan pinang dibelah dua.
"Kau—" ucapan Delano terputus, ia terkejut saat mengamati wajah pria di hadapannya begitu mirip dengannya.
Hanya saja, perbedaannya. Sosok di hadapannya lebih modis, lebih rapi dan kelihatan berkelas. Selain itu, ia tidak memili
Hari hampir berganti pagi. Pekatnya malam menunggu mentari yang menggantikannya dengan benderang.Delano kali ini bangun lebih awal dari biasanya. Belum juga nyawanya terkumpul selepas bangun tidur, ia dikejutkan dengan keberadaan Darren yang kini sedang duduk di sebuah kursi yang terletak di dekat jendela.Letaknya tepat dihadapan Delano. Delano hanya menyandarkan diri di sisi ranjang sembari menatap pria misterius yang kini selalu mengikuti kemanapun dirinya pergi.Pria tampan tersebut terlihat mengamati jalanan. Ia bahkan mengacuhkan keberadaan Delano yang sejak tadi memperhatikannya."Apakah ini nyata?" tanya Delano sembari menghela napasnya, ia masih berusaha meyakinkan dirinya send
Delano melotot menahan rasa terkejut, saat mengetahui Darren begitu piawai membaca pikirannya.Sungguh sejak dulu pria itu tidak pernah berhenti membuat Delano takjub hingga menjadi ketergantungan padanya.Tak jarang Darren mengajarinya menjadi liar dan mampu membuat Delano polos menjadi percaya diri.**Siang hari di kota Firenze, nampak riuh dengan ramainya berita televisi yang selalu menyiarkan kabar terbaru tentang Darren. Seniman idola baru bagi para pemuda.Jeff Hilton sedang duduk di sofa mewah yang terletak di ruangan pribadinya, sambil menikmati makan siang yang dihidangkan oleh Delano.
Pagi hari, galeri Jeff Hilton Pukul 05.00Delano datang tepat waktu. Seperti biasanya. Ia menyapa para kaumnya, begitu caranya menyebut sesama seniman yang berkarya bersamanya di Jeff Hilton galeri.Jeff terlihat kurang sehat pagi ini. Terlihat jelas jika wajahnya pucat pasi. Beberapa gerombolan anjing peliharaannya, yang datang berkerumun membuat Delano teringat dengan masa terakhir, saat kehilangan ibunya. Kenangan yang terus-menerus berulang dibenaknya.Hatinya kembali perih. Namun, justru luka itu yang membuatnya kuat dan bertahan hingga saat ini.Kemudian, ia memutar otak memikirkan bagaimana cara membalas dendam pada pria licik bernama Jeff Hilton. Terpikir jika ia ingin merebut apapun yang di
Seluruh seisi galeri berhamburan berlari pergi meninggalkan pameran. Jeff kebingungan, dan juga kesal. Acara yang dinantikan hancur lebur seketika."Sial! Di mana Delano!" teriaknya dengan rasa marah yang luar biasa.Wajahnya yang berkulit putih seketika memerah. Rahangnya mengeras. Ia berjalan ke sana kemari kebingungan, tangannya selalu mengelus kalung batu safir merah yang menggantung di lehernya guna mengurangi gugup.Dalam suasana yang masih riuh. Delano muncul menuruni anak tangga dengan sedikit berlari, ia tergopoh-gopoh menghadap Jeff. Menunjukkan kepedulian dan juga rasa cemas. Berusaha mencuri hati Jeff Hilton."Dari mana saja kau! Kenapa selalu menghilang setiap kali dibutuhkan?" Jeff menginjak kotak penyimpanan karya Delano dengan
Setelah cukup lama berbincang dengan Emely. Delano kembali pulang berkumpul dengan para sahabatnya.Sementara di tempat berbeda. Bob dan Hendri kewalahan menghadapi para binatang pemangsa milik Jeff Hilton.Berbagai cara mereka lakukan. Meski begitu mereka juga merawatnya. Memandikan dan memberinya makan agar hewan peliharaan Jeff Hilton menjadi penurut pada Bob dan Hendri.Meski memakan waktu panjang dan menguras tenaga, para dalmantian tetaplah brutal dan buas. Mereka berusaha menggigit Bob dan Hendri berulangkali.Bob tidak putus asa. Ia memakai beberapa balutan kain di lengan sebelah kanan sebagai pengaman. Hanya sekedar berjaga ketika para dalmantian milik Jeff menggigitnya.&
"Hey, Delano. Ayo kita makan!" suara Hendri membuyarkan lamunan Delano yang tercenung menatap lukisan ibunya.Delano segera bangkit duduk di meja makan menghampiri Hendri. Sementara Bob terlihat sibuk menyiapkan makanan dan menatanya di meja makan. Saat itu gilirannya piket menyiapkan makanan untuk mereka bertiga.Sejak dulu memang mereka bergiliran dalam urusan dapur dan juga kebersihan gedung yang mereka tempati. Tidak ada yang merasa keberatan atau merasa menang sendiri. Semuanya sama, seolah mereka benar-benar adalah keluarga.Sejak sore tadi saat Delano kembali dari galeri Jeff Hilton, keduanya menatap prihatin. Seolah tatapan penuh dengan rasa iba pada Delano yang sudah tidak lagi bekerja di tempat itu.
Delano membuka kelopak matanya perlahan, hingga keduanya terbuka sempurna. Setelahnya, netranya mengedar memperhatikan sekeliling ruangan.Ruangan itu begitu asing baginya. Rumah bergaya Eropa klasik namun minimalis adalah pilihan pemilik rumah saat itu. Cat tembok berwarna krem mendominasi ruangan yang membuat ruangan terasa dingin dan sejuk.Mata Delano mengerjap berulang kali seakan tak percaya jika dirinya masih bernapas setelah kebakaran yang menimpanya. Netranya menjelajah mencari-cari para sahabatnya.Tak lama kemudian, pria berusia paruh baya datang dan mengusap kening Delano yang sebelumnya mengalami demam tinggi. Bahkan saking tingginya, Delano terus meracau semalaman. Ia memanggil semua nama orang terdekatnya. Seperti Hendri, Bob, dan juga ibunya yang tel
Delano masih diam termangu mendengarkan seluruh penuturan Oscar tentang jati dirinya. Seolah tak percaya jika darah yang mengalir di tubuhnya adalah milik orang yang kini dibencinya.Sejak mengetahui Jeff bukan pria yang baik, dengan memanfaatkan karya orang lain yang di klaim sebagai miliknya, sejak saat itu juga Delano membencinya.Namun, seiring berjalannya waktu benci itu berubah menjadi dendam karena Delano mengetahui yang mendorong ibunya adalah Jeff Hilton hingga terjatuh ke lantai dasar hingga meregang nyawa."Tidak! Aku bukan putra Jeff! Dia pecundang, jika aku memang benar putra kandungnya … lalu siapa wanita yang dulunya merawatku saat kecil? Di mana ibu kandungku? Kenapa Jeff tidak mengenaliku?" Delano melemparkan isi peti yang diberikan Oscar hingga berserak di dep