Risa dan Abizar sampai juga di gerbang rumah. Risa langsung berjalan lunglai menuju pagar rumahnya. Langkah Risa terhenti karena cekalan tangan Abizar. Risa menoleh ke arah Abizar.
"Kenapa harus dengan cara seperti ini Risa?"Risa diam, tak menjawab pertanyaan Abizar."Apa yang kamu dapat dengan melakukan hal ini hem?""Sebuah keputusan," jawab Risa singkat."Dan kamu yakin dengan keputusanmu?"Risa mengangguk dan tersenyum."Ayo." Abizar menarik tangan Risa lembut.Mereka bersama-sama mengetuk pintu rumah Risa.Ceklek.Risa dan Abizar tertegun karena mendapati seorang wanita yang membukakan pintu. "Anda siapa?" tanya Risa."Risa," teriak seorang lelaki dari dalam rumah."Lik Hamdi?""Iya. Wah kamu udah besar ya. Kamu mirip Mas Handi. Kenalkan ini istri Lilik, Tina."Risa menyalami lilik dan istrinya. Abizar pun melakukan hal yang sama."Ris, sudah pulang?" Eyang Risa datang menghampiri."Sudah Eyang.""Loh, Nak Abi. Ayuk masuk dulu.""Lain kali Eyang, Abi pulang dulu. Ini cuma mau nganter Risa. Tadi pas ke kamar mandi dia salah pake keran air. Ternyata kerannya rusak malah jadi basah semua itu bajunya.""Oh ya? Ya sudah kamu cepat ganti baju Ris, biar gak sakit.""Iya Eyang.""Aku duluan Ris," pamit Abizar."Makasih Kak." Risa menatap Abizar dengan tatapan beribu terima kasih dan dibalas Abizar dengan senyum manis. Risa sedikit terpana. Hah? Senyum itu? Risa kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya. Berusaha memusnahkan khayalan anehnya."Kenapa Ris? Pusing?""Enggak Kak, tadi kayaknya ada nyamuk nempel di sekitar mukaku.""Owh ... aku pulang ya Ris.""Iya Kak."Risa menatap Abizar keluar rumah hingga terdengar suara gerbang rumah tetangga sebelahnya sudah terkunci, dia pun masuk kedalam rumah dan mengunci pintunya.Setelah membersihkan diri dan berganti pakaian, Risa duduk merenung di tepi ranjang. Pintu kamarnya diketuk seseorang."Siapa?""Eyang.""Masuk Eyang, gak Risa kunci."Ceklek. Pardi menghampiri Risa dan duduk di sebelahnya."Kamu tadi kenapa?""Gak papa Eyang.""Kamu gak mau jujur sama Eyang?""Eyang ....""Gak papa kalau belum mau cerita.""Maaf Eyang."Eyang mengelus kepala Risa penuh sayang."Kenapa Lilik gak bilang kalau udah nikah Yang?""Itulah Lilikmu. Selalu melakukan sesuatu semaunya sendiri."Eyang menghembuskan nafasnya pelan, lalu mulai bicara kembali."Lilik kamu selama ini merantau ke Kalimantan, dia udah nikah sama wanita bernama Tina. Katanya Tina orang Jawa juga yang lama hidup disana." Risa mendengarkan penjelasan eyangnya dengan sabar. Terlihat dengan jelas raut kesedihan disana."Eyang ....""Eyang gak tahu harus menasehati Lilikmu dengan cara apa. Dia selalu seperti itu, melakukan sesuatu semaunya sendiri tanpa musyawarah. Tapi kalau tertimpa masalah selalu Eyang yang kena getahnya."Lagi. Pardi membelai kepala Risa penuh sayang."Beda dengan Bapakmu, dia bisa mengambil keputusan tapi selalu mengupayakan melalui musyawarah." Terlihat mata Eyang berkaca-kaca."Eyang ….""Kita nunggu kamu ujian tengah semester. Kita akan pulang ke Banyumas. Eyang udah minta tolong teman Eyang buat ngurus sekolah kamu disana. Dia pensiunan guru. Sekarang dia di Sokaraja. Dia bersedia membantu Eyang. Nanti Eyang bakalan kerja di tokonya. Dia juga mau menerima kita tinggal di rumahnya untuk sementara sampai kita bisa ngontrak.""Eyang.""Rumah ini Eyang jual buat melunasi utang Lilik kamu.""Astagfirullah. Jadi, Lik Hamdi ....""Iya, makanya dia pulang. Rupanya dia punya banyak utang.""Eyang.""Hiks ... hiks ... Eyang udah minta tenggang waktu sama pembeli rumah ini. Sampai kamu ujian tengah semester. Besok Hamdi sama istrinya pergi.""Lalu utangnya gimana Eyang?""Udah Eyang kasih langsung ke orangnya. Gak mungkin Eyang kasih lewat Hamdi. Yang ada nanti dipakai untuk yang lain.""Eyang yang sabar ya.""Iya. Kamu juga. Oh iya, jangan sampai Maira dan Fatih tahu ya. Mereka udah baik banget sama kita. Eyang gak enak kalau mereka bantu kita lagi.""Iya Eyang.""Ya sudah tidur sana!""Iya."Risa segera merebahkan dirinya di kasur dan mencoba untuk memejamkan mata. Hampir satu jam Risa berusaha memejamkan mata namun tak bisa. Risa memutuskan keluar dari kamar. Saat akan menuju ke kamar mandi Risa mendengar percakapan Lik Hamdi dan istrinya."Gimana sih Mas? Kok malah langsung dibayarkan ke Juragan Anton.""Ya mau gimana lagi, Bapak emang gitu orangnya.""Terus, kita dapat apa?""Ya gak dapat apa-apa.""Ah Mas Hamdi sih. Harusnya bilang ke Bapak uangnya Mas aja yang mau ngasihkan ke Juragan Anton.""Bapak gak bakalan mau Tina, harusnya kita bersyukur Bapak masih mau bantu kita.""Tapi kita gak bisa dapat duit lagi Mas?""Ya mau gimana lagi. Kamu juga sih.""Kok Tina sih.""Ya salah kamu. Coba jangan boros. Gak bakalan punya utang banyak kan kitanya.""Mas juga senengnya traktir temen-temen Mas biar keliahatan sok kaya. Sok royal. Kenapa malah jadinya nyalahin Tina?""Agh ... Bapak nyuruh kita besok pergi. Karena percuma saja kita disini. Rumah udah dijual. Bapak cuma nunggu Risa sampai ujian tengah semester lalu balik kampung. Bapak nanya ke aku apa kita bakalan ikut atau enggak?""Agh .... ngapain ke kampung Mas? Disana gak ada mall.""Aku juga gak mau balik ke sana lagi. Malu karena aku gak jadi orang sukses.""Terus besok kita mau kemana?""Kita ke rumah Ibu kamu dulu. Mau gak mau.""Agh ... ogah.""Gak ada tempat lain lagi, Tina.""Iya-iya. Tapi begitu Mas dapat kerjaan kita pindah.""Iya."Risa merasa dia sudah cukup banyak menguping, dia memilih kembali ke kamarnya dan tidak jadi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Sesampainya di kamar Risa berusaha untuk tidur. Lama-kelamaan Risa tertidur juga.*****"Ini Tante, Risa kembaliin make up-nya.""Owh ... kemarin Risa dandan sendiri?""Iya.""Pasti kamu cantik. Padahal Tante minta sama Abi buat mengambil foto kamu loh. Tapi dasar Abi, katanya lupa."Risa hanya tersenyum tipis. Dalam hati Risa tertawa, andai Tante Maira tahu bagaimana dandanan menornya pasti akan tertawa."Ya udah, Risa berangkat dulu ya Tan.""Eh ... gak nungguin Abi?""Enggak Tan. Duluan Tante, assalamu'alaikum.""Wa'alaikumsalam. Hati-hati ya sayang.""Iya Tan."Risa berjalan menyusuri gang rumahnya dan akhirnya sampailah di jalan utama. Dengan sabar Risa menunggu angkot, baru lima menit menunggu sebuah motor berhenti di depannya"Naik.""Ri ....""Naik!" titah si pengendara tegas dan dingin.Mau tak mau Risa membonceng Abizar. Untung rambutnya ia kepang. Sekali lagi Risa merasa beruntung karena tidak ada alasan tambahan untuk dibentak oleh tetangga AC-nya itu."Loh, kok jalannya beda." Risa baru menyadari jalan yang mereka lewati berbeda."Sengaja.""Kenapa?""Buat tambahan energi bagi cewek yang kemarin berulah. Sebentar lagi dia harus menghadapi kenyataan."Risa tersenyum, sungguh kalimat terpanjang yang pernah dia dengar keluar dari mulut si AC."Kenapa senyum?""Kok tahu Risa senyum.""Tuh." Abizar menunjuk spion dengan dagunya."Ooo.""Bunder.""Kotak-kotak.""Lingkaran.""Trapesium""Segitiga.""Bermuda."Abizar terkekeh bahkan bahunya sampai terguncang. Risa heran melihat tetangga AC-nya yang tampak lebih hangat dan murah senyum. Aneh."Kakak aneh.""Kenapa?""Kayak lagi seneng banget, ramah lagi. Gak kayak biasanya."Hem." Abizar memilih menanggapi pernyataan Risa dengan senyuman.*****"Ris.""Kenapa?""Kak Juna udah jadian sama cewek yang dansa sama dia di malam Valentine.""Owh.""Kamu gak cemburu?""Gak.""Beneran?""Beneran Citra. Toh dari awal aja aku udah sangsi sama niatnya deketin aku.""Emangnya Kak Juna ngapain?""Udalah, kita bahas yang lain ya.""Tapi ....""Plis. Oke.""Oke deh."Citra akhirnya menyerah karena sudah seminggu ini sejak kejadian malam valentine itu, Risa tak pernah mau cerita. Bahkan Citra sampai heran dengan sikap sahabatnya yang cuek padahal selama seminggu ini dia selalu di bully. Tapi memang pada minggu berikutnya, para siswa sudah jarang mengejek Risa bahkan sepertinya banyak yang sudah melupakan kejadian itu. *****Risa tengah memandang bulan purnama lewat jendela rumahnya. Besok dia ujian tengah semester berarti tinggal dua minggu lagi dia di Jakarta. Risa belum memberitahu kedua sahabatnya karena takut mereka akan sedih. Pun dengan Tante Maira sekeluarga, dia gak mau mereka juga ikut sedih. Risa menatap bulan purnama dengan penuh rasa kagum. Tanpa sadar mulutnya mendendangkan lirik Purnama Merindu milik Siti Nurhaliza.Saking menghayati lagu itu Risa sampai tidak sadar jika sejak tadi sepasang mata tajam mengamati tingkahnya, bahkan bibirnya membentuk garis lengkung yang sangat menawan. Risa bernyanyi sambil mengamati sekitarnya hingga deg ... matanya bertubrukan dengan mata tajam itu. Dan senyum itu ... sekali lagi senyum itu membuat jantung Risa berdetak sangat cepat. Dia pernah menyukai senyum itu lima tahun yang lalu. Namun sebuah tragedi membuat senyum itu pergi entah kemana? Dan menjadikan Risa sadar akan kekurangannya. Risa menutup jendela kamar lalu memegang dada kirinya. "Jangan sampai Risa. Jangan sampai Rasa itu kembali lagi. Sadar. Arjuna saja seperti itu, apalagi dia. Kamu harus sadar diri. Buang jauh-jauh. Lagian sebentar lagi kamu akan pergi dari sini," lirih Risa.Sementara Abizar mendesah kecewa. Matanya nampak memancarkan kesedihan."Andai saat itu aku datang lebih cepat Ris," lirih Abizar."Maafkan aku Risa. Maaf."Risa tengah menemui wali kelasnya untuk pengajuan kepindahan sekolah."Kamu yakin Ris? Gak nunggu setelah semesteran saja." Bu Heni wali kelasnya menasehati."Gak bisa Bu, kan Ibu tahu sendiri masalah saya.""Baiklah kalau begitu. Oh iya kamu sudah bilang sama Dito dan Citra?""Belum Bu. Saya mohon jangan sampai mereka tahu ya.""Apa tidak sebaiknya kamu kasih tahu mereka Ris?""Saya gak tega Bu. Mereka sahabat setia saya. Saya takut mereka sedih.""Ya sudah kalau begitu.""Saya pamit ya Bu.""Iya, hati-hati pulangnya.""Iya Bu, mari."Risa keluar dari ruang guru kemudian berjalan menyusuri koridor sekolah yang mulai sepi. Sampai di dekat ruang perpustakaan dia berpapasan dengan Arjuna. Keduanya tampak canggung apalagi Arjuna tengah jalan dengan cewek cantik yang Risa tahu adalah teman seangkatannya dan memang dia sangat cantik sekaligus populer. Risa memilih berlalu pun Arjuna. Mereka sama-sama menganggap diri mereka tak saling
Abizar mengamati rumah Risa, dua hari ini rumah itu kelihatan sepi. Kemana semua orang? Sang mamah dari hari sabtu pun sudah sibuk wara wiri mengetuk rumah sebelah tapi nihil."Kamu kemana Ris?" lirih Abizar.Abizar pun memilih untuk menstarter motornya. Nanti dia akan membeli bubur ayam kesukaan Risa setelah selesai latihan basket. Abizar sudah memutuskan untuk lebih mengikuti kata hatinya.Pulang dari latihan, Abizar begitu terkejut mendapati rumah Risa sedang dikerumuni banyak orang. Disana juga terlihat alat berat yang tengah merobohkan rumah Risa.Abizar langsung berlari dan menuju halaman rumahnya. Terlihat mamahnya tengah menangis di bahu sang papah. Sementara kedua adiknya tengah duduk di teras dengan pandangan kosong. Abizar ikut duduk dan berada di tengah si kembar.Asyila menatap sang kakak dengan mata berkaca-kaca."Mbak Risa pergi Mas. Pergi jauh. Rupanya malam itu Mbak Risa beneran pamitan."Asyila langsung memeluk sang ka
Langkah kaki tegap seorang dokter berusia 27 tahun menggema. Tubuh tinggi atletis dengan kulit putih, alis tebal dengan bibir tipis serta wajah tampan nan rupawan membuat siapa saja yang melihatnya tak ingin berpaling. Termasuk Viona."Abizar." Viona melangkah mendekati Abizar yang masih tetap berjalan tanpa berhenti bahkan menengok ke arah Viona pun tidak."Makan yuk Bi, bentar lagi istirahat siang." Viona berusaha mengimbangi langkah kaki Abizar."Gak.""Ayolah Bi, udah lapar nih. Perut kita juga butuh dikasih makan tahu, jangan sampai kita sakit kalau kita sakit kasihan pasien-pasien kita. Ya kan Bi," ucap Viona dengan wajah sumringah.Sayang Abi hanya diam dan terus berjalan bahkan meninggalkan Viona tanpa membalas atau menolak ajakannya. Viona mendesah, dia berhenti mengikuti langkah Abi. Viona menatap punggung Abi dengan mata nanar."Masih belum menyerah rupanya."Viona menoleh ke sumber suara, dia kemudian tersenyum."Hai Arjuna."
Seorang bidan muda tengah berlari bersama seorang lelaki dan dua orang perawat yang tengah mendorong brankar berisi ibu hamil yang akan melahirkan. Sang ibu langsung dibawa ke ruang bersalin. Sedangkan sang bidan dan si suami pergi ke bagian administrasi terlebih dahulu."Sudah beres administrasinya, sekarang Bapak temani istrinya dulu ya. Prosedur sesar tinggal menunggu persiapan dari pihak rumah sakit.""Terima kasih Bu.""Sama-sama. Mohon maaf saya tidak bisa menemani. Saya harus kembali ke puskesmas.""Oh iya Bu.""Mari Pak.""Oh iya Bu, hati-hati."Bidan muda itu tersenyum dan segera menuju ke mobil ambulance. Saat akan mencapai pintu masuk Margono seseorang memanggilnya."Halo Cantik. Nganter pasien ya?""Eh ... Dokter Danu. Iya.""Kenapa pasiennya?""Sungsang Dokter Danu, padahal dua hari yang lalu saya cek sudah mapan.""Hem ... oke biar nanti disiapkan semuanya.""Makasih Dokter Danu. Mari saya duluan""S
Risa tengah menengok kiri kanan. Sepi. Sepertinya semua anggota keluarga Rayyan dan Zio sudah berada di kamar masing-masing. Risa berjalan mengendap-endap menuju taman belakang. Seharian ini dia berusaha menghindar dari hadapan si AC. Untung saja ada si kembar jadi Risa punya alasan momong anaknya Mas Reihan.Mereka menginap di hotel milik rekan kerja ayahnya Zio. Hotel bintang lima, gratis pula."Huft. Akhirnya bisa keluar juga."Risa tengah berjalan-jalan menikmati taman yang sunyi dengan gemericik air kolam. Jujur seharian ini dia merasa bosan karena bersembunyi terus. Dia butuh udara segar untuk menghilangkan kegundahan hati."Hem ... nyamannya."Risa duduk-duduk di tepi kolam dengan mencelupkan tangan kirinya ke dalam air. Tak lupa pula dia bersenandung lagu-lagu kesukaannya. Ia tampak menikmati kesendirian di bawah lampu temaram taman.Hingga suara berisik di belakangnya mengganggu kesenangannya. Risa berbalik bersiap-siap
Jarum jam menunjukkan pukul satu siang. Aktivitas di Puskesmas sudah mulai lengang. Pasien rawat jalan sudah tak ada. Yang ada para pasien bagian rawat inap. Risa tengah bersiap-siap kembali ke rumah dinasnya.Risa memutuskan untuk sholat dulu agar sampai di rumah bisa istirahat. Setelah sholat Risa memakai bedaknya lagi dan akan memoleskan lipstik warna nude pada bibirnya.Risa tertegun kemudian memegang bibirnya. Ingatannya tertuju pada adegan sebulan yang lalu saat Abizar mencium paksa bibirnya. Meski Risa marah tapi mau tak mau Risa menyukainya. Ciuman itu begitu lembut namun juga panas. Dan sungguh mati, Risa rasanya ingin menceburkan diri ke kali Serayu karena sungguh dia mendambakan ciuman itu lagi. Astaga.Risa menggeleng-gelengkan kepalanya dan segera memoles lipstik dan membenarkan kerudungnya."Ingat Risa, kamu sedang berusaha menjadi wanita muslimah sejati. Buang itu pikiran kotor."Risa mengangguk pada cermin besar dengan sangat opti
Risa memarkirkan motornya di garasi, hari ini lelah sekali rasanya. Tak sengaja Risa menatap halaman rumah sebelah. Kebetulan tembok di rumah sebelah hanya setinggi satu meter sehingga semua aktivitas di halaman rumah besar itu terlihat. Seperti sekarang, ada dua mobil terparkir disana. Mobil Fortuner yang tadi pagi ia lihat dan mobil Honda Jazz warna merah yang dia lihat di Puskesmas. Kenapa Risa tahu? Karena dia sempat membaca plat nomernya tadi. Eh tunggu, kalau itu mobil yang dilihat Risa di halaman Puskesmas berarti ...."Bu Risa."Risa menoleh ke arah Bu Ginah."Sini, kenalan dulu yuk sama tetangga barumu.""Hah ... ehm ... saya .... ""Cepetan!""Tapi?""Cepetan jangan lama-lama."Mau tak mau Risa melangkah menuju rumah tetangga barunya walau aslinya enggan."Ayo." Bu Ginah menarik lengan Risa dan langsung membawa Risa masuk ke dalam rumah.Dalam ruang tamu terdapat sebuah keluarga dengan lima anggota keluarga rupanya, s
Abi sedang memakai kemeja putihnya. Hari ini hari kedua dinasnya di Puskesmas Sumbang. Perhatiannya teralih saat mendengar HP-nya berbunyi.Klik."Iya Ngga ada apa?""Gila kamu ya, kamu sekarang di Jawa? Kok gak ngomong sama aku? Kamu anggap aku siapa hah?""Maaf.""Dasar AC, gak bakalan kumaafkan."Abi hanya tertawa mendengar suara sahabatnya yang kesal."Jadi kamu gak kerja lagi di rumah sakit Binar Kasih?""Gak.""Gak nyesel Viona diembat sama Arjuna.""Gak.""Gajimu dikit loh jadi PNS.""Gak masalah.""Lah kuliah kamu gimana? Kan baru tiga tahun. Tinggal setahun lagi loh?""Aku cuti dulu.""Hah? Gak nyesel Bi, kamu kan orangnya kalau ada maunya pasti dicapai dengan begitu gigih. Ini kok malah dilepas begitu aja program spesialisnya?""Biarin. Soalnya aku punya yang lebih prioritas.""Apa? Di sono tempat kamu tugas emangnya kamu bisa dapat apa?""Dapat istri. Udah aku mau berangkat. Ak