Cassie yang sedang tidur tampak seperti malaikat.
Nafasnya halus dan berirama. Dadanya naik turun dengan lembut, menandakan tidurnya damai tanpa terusik mimpi buruk apa pun, membuat Dhika bersyukur.
Berbeda dengan Cassie, Dhika dihantui mimpi buruk setiap malam. Keringat dinginnya selalu keluar, membasahi seprai lembut yang dibelikan Cassie khusus untuk apartemennya. Kadang-kadang, cowok itu bahkan menemukan bantalnya basah karena air mata. Sayang sekali Dhika tak pernah ingat apa mimpinya, namun yang ia tahu, setiap mimpi itu selalu mendekatkannya ada Cassie. Bila boleh menebak, mimpi-mimpi itu pastilah kilas balik masa lalu yang ia lupakan.
Cowok itu tidak pernah bisa memutuskan apakah ia harus bersyukur atau merutuk pada Tuhan atas mimpi-mimpinya. Di satu sisi, ia selalu terbangun dalam keadaan lelah dan hati tidak tenang. Namun di sisi lain, Dhika juga merasakan hubungan yang makin erat dengan orang-orang yang dikenalnya sebelum kehilangan ingatan setelah mimpi-mimpi itu berakhir. Hal itu pula yang membuat Dhika bersikeras pindah ke apartemen ketimbang tinggal berdua dengan Cassie di rumahnya. Cewek itu pasti menyadari mimpi-mimpi buruknya setelah beberapa waktu, tak peduli seberapa baik Dhika menyembunyikan hal menyedihkan tersebut. Ia lebih memilih datang menginap di akhir pekan karena tahu Cassie selalu bangun agak siang di sabtu-minggu. Kuliahnya mulai pukul sepuluh pagi sehingga tantenya itu selalu begadang dengan segelas mojito pada malam sebelumnya dan baru tidur pada dini hari.
Dhika menyayangi Cassie sebesar cewek itu menyayanginya, mungkin lebih dari itu. Dan inilah hal terbaik yang bisa dilakukannya untuk keluarga kecil mereka.
Hal yang tidak diduga Dhika sebelumnya adalah, ia melupakan fakta bahwa setelah kartu keluarga mereka hanya berisikan dua nama, nyaris seluruh keputusan hidupnya dipegang oleh Cassie. Fakta bahwa ia kehilangan ingatan dan belum cukup sadar untuk menghandle perusahaan yang ditinggalkan ayahnya membuat cowok itu ada di posisi yang lebih mengenaskan. Bukannya Dhika serta-merta menyalahkan Cassie atas hal tersebut. Namun bila dikuantifikasi, keputusan hidupnya dipegang Cassie sekitar tujuh puluh persen. Tiga puluh persen yang dia punya sudah nyaris habis akibat apartemen dan motor gede yang ia beli demi mengikuti trend di kampus.
Back to Cassie, Dhika yakin benar kalau cewek ini belum makan malam. Kalender Cassie yang diceknya pagi ini bilang bahwa Cassie ada meeting dengan para BOD pukul empat sore. Pastilah ada perdebatan panjang yang tidak mungkin diselang makan malam.
Sambil berpikir, Dhika menggaruk kepalanya. Helaian rambutnya yang agak ikal tersangkut di antara jari tengah dan manis cowok itu. Aku butuh potong rambut, batin Dhika, sembari membatin lebih lanjut tentang kenapa Cassie belum mengantarkannya ke salon sampai saat ini. Biasanya cewek itu selalu cerewet tentang rambut Dhika.
Dhika menghabiskan waktu setengah jam setelah itu dengan aplikasi ponselnya. Masalahnya, sebagai anak kos (well, kehidupan anak kos yang tinggal di kos-kosan dan anak kos yang tinggal di apartemen tidak akan terlalu berbeda, kan?), cowok itu terbiasa memilih makanan dengan harga termurah, diskon terbesar, dan jarak terdekat. Kali ini ia menambahkan filter secara manual di otaknya, yaitu makanan yang disukai Cassie. Pilihannya jatuh pada mentai rice di salah satu kafe favorit cewek itu. Kata Cassie, mereka berdua pernah beberapa kali makan di sana sepulang sekolah ketika Tante Lila sedang tidak memasak atau ayahnya sedang tidak ada di rumah untuk makan malam bersama. Lokasinya di dekat sekolah, harganya pun cukup terjangkau dengan tabungan hasil online shop Cassie ataupun uang jajan bulanan Dhika.
Setelah memesan, Dhika mendatangi tantenya yang tertidur dalam posisi duduk di sofa. Cewek itu langsung menghampiri Dhika setelah pulang dari kantor, yang berarti ia belum mengganti pakaian apalagi menghapus makeup. Tidur dalam keadaan seperti itu pasti tidak nyaman. Cowok itu bisa saja menyelimuti Cassie seperti adegan-adegan di film atau novel. Sayangnya cuaca Jakarta yang panas sangat tidak mendukung. Dhika justru ingin menyingkirkan blazer Cassie yang terlihat tebal dan gerah. Perdebatan batin itu berakhir dengan Dhika yang menyandarkan tubuhnya di sebelah Cassie. Tangannya tidak bisa diam melihat poni Cassie yang –lagi-lagi—terjuntai menutupi mata. Lain kali, saat Cassie mengantarnya potong rambut, Dhika juga akan menyeretnya ke salon terdekat untuk mengubah gaya rambut cewek itu. Ada sejuta gaya rambut wanita di dunia ini. Cassie bisa memilih satu yang tidak melibatkan poni menyebalkan yang selalu jatuh menutupi mata (dan kemungkinan besar bisa mencolok mata cewek itu juga).
Kemudian, ponsel Cassie di dalam tas tangannya berbunyi.
Sialan. Mata Cassie terbuka mendadak, tepat saat jari-jari Dhika masih belum beranjak dari dahi cewek itu. Dhika tahu ia seharusnya tidak malu, namun tak ayal pipinya memerah dan tangannya yang seketika dingin cepat-cepat ia tarik. Saat melirik Cassie lagi, cewek itu memandangnya dengan tatapan aneh.
“Nggak usah sampe bengong begitu kali,” ucap Cassie geli sambil menari-cari ponsel yang ada di dalam tasnya. Sontak Dhika langsung berkedip. Selagi cewek itu mengecek ponselnya (panggilan tak terjawab barusan dibarengi dengan pesan masuk rupanya), Dhika menjauh sedikit, meskipun masih duduk di sofa yang sama. “Aku makan malam di luar, ya?”
Seharusnya Dhika tidak mengizinkan tantenya pergi dengan nada super tegas khas keponakan yang perhatian. Siapa yang bakal menghabiskan dua bungkus mentai rice yang sudah dipesan itu? Perut Dhika tidak sebesar kuli! Namun dengan bodohnya cowok itu mengangguk. “Oke. Sama Beni?”
Beni adalah pacar Cassie. Yep, Cassie yang sibuk setengah mati dan hampir tidak pernah bersosialisasi saja sudah punya pacar, sementara Dhika yang masuk ke dalam jajaran cowok terpopuler versi majalah kampus tahun lalu masih menjomblo dengan setia. Dunia kadang-kadang memang tidak masuk akal.
“Iya. Mau nitip sesuatu?”
Cassie bahkan belum memperkenalkan Beni padanya, jadi cewek itu pasti tidak serius dengan Beni. Menjawab pertanyaan Cassie, Dhika bersedekap dengan seringaian yang terpatri di wajahnya, “Yacht.”
Oke, wajah Cassie tampak jengkel luar biasa saat ini. Demi menghindari perang dunia ketiga yang sebaiknya tidak terjadi, Dhika tertawa sepolos mungkin sembari beranjak dari sofa empuk favoritnya itu. Saat berjalan ke arah dapur, ponsel yang ia pegang menunjukkan panggilan dari driver yang mengantar makanan, namun cowok itu tetap melambai dan berseru pelan, “Jangan pulang malem-malem atau aku kunciin di luar.”
Sayup-sayup Dhika mendengar jawaban Cassie. “Aku bawa kunci sendiri!”
Kebanyakan wanita akan bilang bahwa cowok berkemeja biru, berkulit putih cerah, dan berambut cepak itu sempurna. Mobil yang dikendarainya cukup mewah, menandakan ia orang berada. Wajahnya tampan dan seringkali ia disangka aktor yang sedang menyamar apabila berkeliaran sendirian dengan kacamata hitam di tengah keramaian pusat perbelanjaan. Tidak hanya itu, tutur katanya sopan dengan suara lembut yang mengalun bagai harpa. Namun bagi Cassie, cowok ini hanyalah Beni.Jangan salah sangka, Cassie menyukai Beni mungkin sebesar cowok itu balik menyukainya. Akan tetapi rasa suka tersebut tidak terbentuk dalam waktu satu hari. Beni harus ada di samping Cassie, bersabar akan keangkuhannya, dan terus menyayanginya selama dua tahun penuh sebelum Cassie luluh akan pesona cowok itu. Untungnya, Beni benar-benar merasa bahwa Cassie layak diperjuangkan.Malam ini, dengan keberuntungan yang dipaksakan, ia mengajak Cassie makan malam di luar tanpa janji terlebih dahulu.
Mood Cassie benar-benar bagus setelah sealing the deal dengan Beni. Beni –yang sudah siap rekeningnya terkuras plus mendapat ocehan dari tim legal perusahaannya—hanya bisa menyeringai. Apa artinya tabungan banyak kalau tidak bisa menyenangkan kekasihnya? Lagipula, sebagai pewaris tunggal perusahaan milik ayahnya, cowok itu punya satu-dua privilege terkait finansial. Masa bodoh. Beni senang sekali malam ini.Beberapa menit lalu setelah Cassie menyelesaikan dessert-nya, mereka berdua bercerita panjang lebar tentang hari masing-masing. Beni meeting dengan klien super menyebalkan yang meminta early commitment program dengan potongan harga keterlaluan.“Bukannya kamu hobi bagi-bagi voucher diskon setengah harga?” ejek Cassie, merujuk pada tawaran Beni sebelumnya.Cowok itu berdecak gemas. “Memangnya aku bakal memperlakukan bapak-bapak paruh baya asing sama dengan aku me
Beni akhirnya membiarkan Cassie turun dari mobilnya setelah pelukan panjang yang berujung pada gerutuan Cassie. Punggungku sakit, protes cewek itu. Meskipun begitu, ada senyum di wajah kekasihnya saat ia melambai, menunggu sampai cewek itu mengunci pintu pagarnya dengan aman.Sementara itu, Cassie bersandar di pagar setelah Beni menghilang dari pandangan. Membayangkan ia akan punya satu hari untuk liburan –setelah sekian lama, akhirnya ia bisa pergi ke pantai lagi!—membuat hati cewek itu hangat. Beni dengan segala kerendahan hati dan taktik busuknya, huh, betapa kontradiktif. Namun Cassie tau semua adalah untuknya. Memang siapa Cassie berhak untuk protes?Paper bag berukuran sedang di tangannya kemudian mengalihkan perhatian Cassie dari Beni. Pukul 23.50. Apa Dhika masih bangun? Tidak setiap hari seseorang bisa merayakan ulang tahunnya yang ke-22, jadi sebuah kue yang cantik memang harus mendampingi pergantian umur Dhika.Sayangnya,
Lagi-lagi rencana Cassie gagal. Tidak apa-apa sebenarnya. Surprise yang diberikan teman-teman Dhika sungguh meriah, heboh, dan berisik—Cassie tahu benar keponakannya menyukai acara yang seperti itu. Semuanya bagai de javu kejadian tahun lalu, saat teman-teman terdekat Dhika menyelinap ke dalam rumah tengah malam buta dan dipergoki salah seorang pelayan yang kebetulan bangun karena mendengar suara berisik. Walaupun diam-diam cewek itu merasa bahagia karena Dhika memiliki banyak teman yang begitu baik, ia juga mengancam anak-anak itu untuk tidak pernah melakukan hal semacam itu lagi. Menyusup ke rumah seseorang diam-diam merupakan suatu tindakan kriminal. Bagaimana kalau Bi Atiek sudah menelepon polisi saking takutnya dan bukannya melapor ke kamar Cassie malam itu? Berbeda dengan Cassie, Bi Atiek tidak mengenal wajah teman-teman Dhika yang memang selalu main ke apartemen ketimbang rumah tersebut. Jadilah, seharusnya Cassie sudah menduga kalau akan ada
Seharusnya hari ini akan menyenangkan. Kenyataannya, belum apa-apa Dhika sudah merasa lelah luar biasa. Semalaman tidurnya gelisah dan lengannya yang terluka berdenyut-denyut menyakitkan. Beberapa kali ia terpikir untuk pergi ke dokter, tapi Cassie akan tahu kalau ia pergi dan berujung dengan pertanyaan tiada akhir di mana jawaban satu-satunya yang akan diterima cewek itu sama dengan jawaban yang tidak ingin Dhika berikan. Kau laki-kali. Kau kuat. Ini hanya luka kecil. Demi Cassie. Demi dirimu sendiri. Kuatlah! Demamnya muncul lagi begitu ia terbangun pukul dua dini hari. Beruntung Cassie masuk ke kamarnya dan memeriksa sebelum dahinya cukup panas. Bukannya Dhika tidak tahu apa yang akan terjadi di hari spesial ini. Akibat tidurnya yang tidak nyenyak, cowok itu menyadari kehadiran Cassie di depan pintu kamarnya sejak pukul lima. Cewek itu akan menempelkan telinganya sesekali untuk memeriksa apakah Dhika sudah bangun, jelas sekali dar
Bukannya Cassie berlebihan, tetapi bisa dibilang ia adalah orang yang tertutup. Sebagian orang pasti setuju dengan pendapatnya berhubung cewek itu selalu memasang topeng dingin sok berkuasa bagai malaikat kematian di depan para BOD (yang terus-terusan meremehkannya, meskipun ia memang pantas diremehkan jika dilihat dari pengalaman kerja dan umurnya. Hell, alih-alih pengalaman kerja, Cassie bahkan belum lulus sarjana), serta berpura-pura jadi orang dewasa yang lebih tahu segalanya di depan orang-orang seumurannya. Cassie tidak selalu seperti itu. Ada kalanya ia hanyalah seorang cewek remaja arogan yang mempunyai uang jajan sedikit lebih banyak dibanding teman-teman dengan status ekonomi yang sama akibat sudah hobi berbisnis online sejak kecil. Plus, teman terdekat sekaligus adik kecilnya adalah Dhika sang pewaris utama PT Bellezza yang tumbuh pesat di dunia kosmetik dan vitamin. Keadaanlah yang memaksa Cassie untuk jadi dewasa lebih
Cassie merutuk kepada jam dinding di ruangannya. Bagaimana bisa waktu sudah menunjukkan pukul sembilan malam tapi pekerjaannya masih jauh dari kata selesai? Mana orang-orang yang mengharapkan waktu lebih dari 24 jam? Cassie ingin bergabung dengan mereka dan mensponsori penandatanganan petisi untuk menambah jam dalam hitungan satu hari. Jika dipikir-pikir lagi, no, pikirannya barusan konyol sekali. Lebih baik cewek itu beres-beres dan pulang ke rumah. Bagaimanapun Cassie masih punya hati. Petugas sekuriti punya tugas untuk mematikan lampu ruangan dan mengunci kantor. Kalau Cassie tidak pulang-pulang, mereka pasti harus mengubah jadwal untuk mengecek ruangan dan gedung yang ditempati Cassie dan cewek itu tidak mau menambah kebencian orang-orang terhadap dirinya. Toh dia punya beberapa waktu lagi sebelum jam biologisnya mengambil alih dan memutuskan untuk beristirahat. Rasa bersalah menghinggapi Cassie ketika ia menutup pintu ruangan di belakangnya. Din
“Sial.” Cassie mengumpat pelan. Setelah kejadian tidak mengenakkan sebelumnya, muncul satu kesialan lagi yang mengiringi malam cewek itu. Ditendangnya ban depan mobil dengan sepatu hak tingginya yang berwarna putih polos. Double sial, karena sekarang ada noda hitam jelek di sana. Bisa-bisanya kesialan seperti ini terjadi di malam hari. Saat mobilnya mogok mendadak dan mesinnya tidak bisa dihidupkan, Cassie keluar dari bangku pengemudi dan memeriksa apa yang salah. Sayangnya, cewek itu useless dalam hal mesin mobil. Bukannya dia pernah belajar formal terkait mesin mobil atau semacamnya, kan? Cassie terlalu sibuk untuk mempelajari hal yang bisa dikerjakan orang lain seperti memperbaiki mesin mobil. Buat apa ada bengkel kalau kita bisa memperbaiki mobil sendiri? Bukankah hal itu lebih terdengar seperti mengambil pekerjaan para montir? Cassie merasa dosanya sudah cukup banyak. Dia harus membatasinya sekarang selagi masih sadar diri. Cassie lelah