Share

Bab 7. Mimpi Tentang Dia

Alexant sudah biasa melihat pemandangan para pengawal istana yang menundukkan kepala setiap kali ia berjalan melewati mereka, bahkan juga George Bryne, sahabatnya, juga berlaku demikian. Selalu menundukkan kepala dan berbicara dalam bahasa formal setiap kali berbicara padanya.

Jujur saja, sebenarnya ia terganggu dengan semua itu. Para pengawal dan prajurit istana itu berusia jauh di atasnya, tetapi sikap mereka terlalu memberi hormat kepadanya. Mungkin itu memang seharusnya, tetapi ia terkadang sedikit merasa tidak nyaman. George juga tidak mau bersikap santai sekalipun mereka hanya berdua, kecuali ia yang memintanya.

George adalah pengawal pribadinya. Mereka seusia, sama-sama sepuluh tahun. Namun, George sudah dipercaya untuk menjaganya. Itu merupakan sesuatu yang sangat keren menurutnya. Mereka juga sering berlatih pedang dan senjata lainnya bersama, dalam pengawasan Wallace Bryne, jenderal besar Namira yang juga merupakan Ayah George.

Jenderal adalah pelatih bertarungnya. Jenderal Bryne juga yang mengajarinya taktik berperang. Sesuatu yang tidak seharusnya dipelajari seorang bocah berusia sepuluh tahun sepertinya.

"Yang Mulia, apakah pelajarannya sudah selesai?"

Itu adalah suara Selena, pengasuhnya, yang bertanya. Ia memang kembali ke kamarnya. Sesuai yang diminta oleh Madam Petrova, ia ingin beristirahat. Ia sangat lelah hari ini, bukan hanya fisik, tetapi juga psikisnya, dan menurutnya itu yang paling penting.

Dokter Vins Dennison, dokter istana, mengatakan jika baik dirinya maupun ayahnya tidak boleh merasa stress karena akan menganggu jalannya pemerintahan. Sangat lucu, bukan? Tidak mungkin anak seusianya mengalami stress.

Mungkin saja, Alexant, karena sepertinya kau terserang penyakit itu.

Alexant mendengkus kesal menyadari apa yang dikatakannya dalam hati merupakan sebuah kenyataan. Ia terkurung di dalam istana tanpa seorang teman pun dan dijejali dengan pelajaran yang sangat berat. Pelajaran itu seharusnya untuk orang dewasa, bukan bocah kecil sepertinya. Cara memperlakukan perempuan dengan baik bukanlah pelajaran yang cocok untuk anak kecil.

Alexant tidak menjawab pertanyaan bernada khawatir Selena, ia tidak berminat. Tidak terlalu penting menurutnya. Seharusnya Selena sudah mengetahui, jika ia kembali ke kamar berarti semua kegiatannya siang ini sudah selesai. Memang seharusnya ia tidak langsung ke kamarnya, tetapi ia memerlukan waktu untuk beristirahat. Sedikit tidak mengapa, yang penting ia bisa berbaring dan melepaskan lelah.

Alexant langsung menuju tempat tidurnya, dan berbaring di sana. Ia memejamkan mata. Sebenarnya ia tidak mengantuk dan tidak berniat untuk tidur, ia hanya tidak ingin diganggu. Sendirian adalah solusi yang tepat untuknya saat ini. Ia ingin memikirkan Crystal dan menyusun rencana apa yang akan dilakukan jika mereka bertemu nanti. Mungkin akan lama mereka tidak bisa bertemu, ia berharap Crystal tidak melupakannya, dan semoga tahun depan saat ulang tahun ayahnya, mereka akan bisa bertemu lagi.

***

Tubuhnya bergetar hebat. Gadis kecil di depannya terlihat sangat cantik dengan rambut pirangnya yang dikuncir dua. Pipi mulusnya yang memerah mengundang sebuah cubitan. Gemas, ia langsung melayangkan tangannya untuk menggapai pipi chubby itu.

Namun, sebelum ia berhasil mencubit pipi Crystal, sebuah tangan mengguncang tubuhnya dengan kuat. Ia membuka mata dan tergagap. Alexant sadar ia berada di kamarnya, tidak ada Crystal, ia hanya sendiri. Ah, tidak, ia tidak sendiri. Ada George yang tadi mengguncang bahunya. Alexant mengusap wajah kasar sebelum menurunkan kaki dan melangkah ke kamar mandi.

Ia bermimpi tentang Crystal –lagi. Ini sudah yang kesekian kali dalam dua minggu terakhir setelah perpisahan mereka. Ia sangat merindukan Crystal sampai-sampai selalu memimpikannya di dalam tidurnya, bahkan saat tidur siang sekalipun. Omong-omong, tadi ia tidak sengaja tertidur, padahal ia memejamkan mata hanya untuk mengusir Selena saja, tidak tahu jika ia akan tertidur.

Alexant hanya mencuci muka. Ia yakin sekarang sudah sore, waktu yang paling dinantikannya dalam sehari. Ia akan berlatih pedang dan memanah sore hari ini. Jika George sudah berani membangunkan tidurnya dengan cara kasar seperti tadi berarti jenderal sudah berada di tempat latihan.

Tempat latihan untuknya terbilang istimewa, letaknya di taman samping istana di bagian barat. Tidak seperti tempat latihan para prajurit istana yang terletak di belakang istana sebelah timur. Mungkin karena dirinya adalah pangeran makanya ia dibedakan. Bukan sesuatu yang menyenangkan karena ia hanya berlatih seorang diri. Beruntung George selalu menemaninya, jika tidak mungkin ia akan bosan juga.

"Apakah jenderal sudah berada di tempat latihan?" tanya Alexant begitu ia berada kembali di depan George.

George mengangguk. "Ayah sudah menunggu sejak lima menit yang lalu, Yang Mulia," jawabnya hormat. Ia membungkukkan sedikit badannya.

"Kita pergi ke sana sekarang!" Alexant mengambil perlengkapan berlatihnya. "Aku tidak ingin jenderal menunggu lama."

"Baik, Yang Mulia." George mengangguk patuh.

Alexant berdecak. Ia menghentikan langkah kakinya yang sudah hampir mencapai pintu, dan berbalik. Kamarnya memang terlalu luas hanya untuk dihuni oleh seorang anak berusia sepuluh tahun. Ukurannya lebih besar dari rumah penduduk yang pernah dilihatnya. Memerlukan waktu beberapa menit untuk sampai ke depan pintu. Namun, untuk suara pasti akan terdengar.

"Bisakah kau tidak bersikap menyebalkan seperti itu?" tanya Alexant kesal. "Sudah kukatakan jika kita hanya berdua, kau tidak perlu memanggilku dengan sebutan itu. Terlalu menjengkelkan bagiku, George. Kita ini sahabat, tidak sepantasnya kau terus bersikap formal saat tidak ada orang lain bersama kita."

George menundukkan kepala. "Maafkan aku, Yang Mulia, maksudku Alexant," ujarnya gugup. "Aku masih belum terbiasa."

Sekali lagi Alexant berdecak. Ia tahu itu hanya alasan George saja. George pernah mengatakan saat ia meminta hal yang sama, alasan yang sebenarnya. Jenderal Bryne yang menyuruhnya untuk memanggilnya dengan sebutan formal seperti itu. George anak yang selalu menuruti perkataan kedua orang tuanya, sekalipun dia tak pernah membangkang pada perintah mereka.

Satu lagi alasan George, dan ini sangat dibencinya. Dia hanya mengikuti peraturan dan orang banyak. George mengatakan statusnya lebih rendah dibandingkan dirinya sehingga sudah sewajarnya dia bersikap hormat seperti itu. Sangat konyol, bukan?

"Jangan pernah bersikap formal seperti itu lagi jika kita hanya berdua saja, aku tidak suka!"

George mengangguk hormat. "Baik, maafkan aku!" pintanya menundukkan kepala. "Aku tidak akan mengulanginya lagi."

Alexant berdeham kemudian mengangguk. "Sekarang sebaiknya kita segera menyusul jenderal. Aku tidak ingin membuatnya terlalu lama menunggu. Lagipula, aku sudah tak sabar ingin menghirup udara segar."

Perkataan Alexant yang seperti seseorang yang sudah lama tidak keluar ruangan terdengar lucu di telinga George. Tanpa sadar ia tertawa. Jenis tawa yang menular karena Alexant juga ikut menyunggingkan senyum.

Buru-buru George menutup mulutnya. Tak ingin yang melihat jadi salah paham. Memang mereka berdua masih berada di kamar tidur Alexant, tidak menutup kemungkinan ada yang mengetahui. Bukankah dinding juga memiliki telinga? Ia tak ingin dihukum mati hanya karena tertawa bersama putra mahkota.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status