Emma menajamkan penglihatannya pada layar ponsel sembari kembali membaca isi pesan itu. Untuk memastikan pesan tersebut, Emma memberanikan diri melihat ke arah lelaki yang ditakutinya kini. Ia segera berpaling kala netra tajam lelaki itu juga sedang menatap ke arahnya. Tangannya langsung meraih blazer hitamnya dan memakainya. Sudah dua kali Ethand mengharuskannya memakai blazer dan tidak tampil sensual. Ada apa dengan lelaki ini?
“Saya persilahkan kepada NN untuk melakukan uji coba dan mempresentasikan hasil program.” Suara Mac menyadarkan Emma dari pikirannya. Ia segera berdiri dan mengambil mikrofon dari Mac.
Emma menarik napas dalam lalu dihembuskannya perlahan. Ia mulai membuka hasil program yang dikerjakannya bersama dengan Sobig. Desain Front-end sangat bagus. Emma mulai mnjelaskan cara mengoperasikannya.
“Selain di enkripsi, program ini juga dapat mendeteksi posisi peretas. Selain itu juga, kita memasukan alert ke dalam aplikasi ini agar
Hari yang sungguh melelahkan bagi Emma. Padahal hari ini ia berhasil mempresentasikan program yang dibuatnya. Entah mengapa hati dan tubuhnya seperti bekerja sama menggerogotinya dengan rasa lelah kali ini. Dengan lunglai ia keluar dari gedung Alves Corp. Matahari hampir terbenam di ufuk barat. Jalanan semakin ramai karena waktunya para pekerja pulang ke rumah.“Emma Liandra…” Suara seorang lelaki membuat langkah Emma terhenti. Untuk menoleh ke arah sumber suara pun ia tidak sanggup. Alhasil, terdengar langkah kaki seseorang menghampirinya. Tidak lama kemudian lengannya di pegang oleh lelaki yang belum diketahuinya itu. “Mengapa kamu seperti manusia tanpa jiwa, Emma? Mati enggan hidup pun tak mau.”“Jenaver?” Emma perlahan melepaskan genggaman tangan lelaki itu dilengannya. Bukan tidak nyaman namun ia menyadari siapa Jenaver sebenarnya. “Ngapain kamu di sini?” tanya Emma mengingat status Jenaver adalah putra Prima.
Sudah pukul 7 malam. Emma sudah rapi dan bersiap untuk menghadiri acara makan malam. Gaun sequin yang dikenakannya memiliki efek gemerlap dengan aksen ruffles dan drapery, sungguh memikat hati bagi mata siapa saja yang memandangnya.Taksi sudah di pesannya. Emma duduk di ruang tamu sembari memainkan ponselnya. Di grup chat tim IT sangat heboh karena saling bertanya posisi masing-masing. Hanya Emma lah yang tidak memberitahukan posisinya sehingga membuat para pria itu terus menanyakannya. Emma hanya menahan senyumnya kala membaca chat dari Json.“Apakah mereka pikir aku tidak datang?” Emma hendak membalas namun diurungkannya. Ia membiarkan mereka penasaran.Lima belas menit kemudian, taksi pun datang. Emma segera berpamitan pada Ester dan segera berangkat menuju restoran Qnita.Ketika membaca nama restoran, Emma kembali teringat pada peristiwa beberapa minggu yang lalu. Di mana ia kehujanan dan Ethand hadir membawa payung dan memakaikan j
Perkataan Emma membuat lidah Ethand kelu. Sepertinya wanita di hadapannya yang sedang menatapnya lekat memang menyimpan luka jauh di lubuk hatinya. Pada kenyataannya, dirinyalah menambah luka pada hati wanita yang masih rapuh itu.“Jika aku memperlakukanmu sama seperti caramu memperlakukanku, aku pastikan kamu akan membenciku.” Emma tertunduk sejenak. Ia seperti merasa muak menatap manik hitam tajam namun teduh baginya. Sobig dibelakangnya berusaha menarik Emma menjauhi atasan mereka. “Lepaskan! Aku harus membinanya.” Emma kemudian berdiri dan dengan jari telunjuk mengarah pada Ethand. Semua yang hadir hanya memelotot dengan mulut membentuk huruf ‘o’.“Jangan bertingkah seolah-olah kamu mencintaiku namun di sisi lain malah bertingkah sebaliknya. Aku hukk…” Emma tersedak dan matanya segera mencari air. “Air..,” pintanya sembari mengguncang lengan Ethand.Ryan segera mengambil sebotol air yang ada
Emma menggeliat. Cahaya sinar matahari yang menerobos masuk di sela-sela gordennya menampar wajahnya. Dengan wajah memelas, Emma mencoba kembali terlelap. Namun matanya tiba-tiba terbuka.“Jam berapa ini?” Emma sontak bangkit dari tidurnya. Matanya sibuk mencari benda segi empat yang selalu menemaninya. Ia menggaruk kepalanya karena tidak menemukan benda itu. “Dimana ponselku?” Emma beranjak turun dari ranjangnya dan segera menuju ke kamar mandi. Langkahnya terhenti di depan cermin dan menyadari jika gaunnya masih melekat di tubuh rampingnya.“Apa yang terjadi semalam yah?” Dahinya mengernyit sembari berusaha mengingat apa yang sudah terjadi. Hal terakhir yang diingatnya adalah Ethand memberikan udang padanya. Samar-samar ia mengingat kalimat yang dilontarkannya pada lelaki itu.“Mampus…” Emma memegang pelipisnya. Bagaimana bertemu atasannya hari ini? Emma menyandarkan badannya di dinding. Kepalanya dibentur
Bunga Camelia sedang berbunga dengan indahnya. Sebagian bunganya jatuh ke tanah dan menampakkan pemandangan yang memanjakan mata. Sebuah kursi kayu panjang terletak di bawah Camelia. Akan sangat menyenangkan jika duduk di bawahnya.Jane melangkahkan kaki menuju ke sana. Setelah seharian mengalami writer block, ia memutuskan untuk mencari inspirasi dengan datang ke taman Camelia itu. Taman Camelia adalah satu taman terindah di Vunia. Aroma Camelia tercium di hidungnya. Sungguh menenangkan. Jane mendaratkan bokongnya di kursi kayu itu.Untuk sesaat ia memejamkan mata dan berusaha menenangkan pikirannya. “Karena sudah mendapat kenyamanan dan keindahan ini, hari ini harus menebus dengan menulis sepuluh ribu kata,” ucap Jane dengan tekad menaklukan dirinya sendiri.“Apakah kamu tertidur?” Suara seorang lelaki membuat Jane terkejut dan segera membuka matanya. Betapa terkejutnya ia kala seorang lelaki dengan wajah yang berjarak sepuluh senti saj
Kota Vunia sudah mereka lalui dari tiga puluh menit yang lalu. Buggati Chiron yang dikendarai Ethand memasuki kota Sanis dengan pemandangan laut yang indah. Deretan bukit yang ditumbuhi rumput hijau dan beberapa kicauan burung yang bermain ria dengan embun pagi dan sedikit cahaya mentari itu. Dari kejauhan bubungan tinggi bangunan kota Sanis sudah kelihatan.Sejak tadi Emma ingin bertanya ke mana atasannya membawanya. Namun ia tidak berani bersuara karena melihat raut wajah Ethand yang muram. Bahkan Emma tidak berani menurunkan kaca mobil dan membiarkan udara segar masuk ke dalamnya.Emma menengok ke kursi belakang untuk sekedar memastikan mawar putih masih segar dan tidak rusak. Dalam hatinya menyesal karena lupa membawa ponsel untuk sekedar menemaninya dalam perjalanan yang sunyi dan asing ini. Sudah lama Emma tidak menginjakan kakinya di kota Sanis dan kini kota itu sudah semakin ramai dan bunga Camelia yang tumbuh dengan indahnya sepanjang perjalanan memasuki kota.
“Aku menyukaimu,” ucap Ryan sungguh. Jane dengan tatapan mengarah pada taman langsung menoleh pada lelaki yang duduk di hadapannya. Dengan tatapan tidak percaya ditatapinya lelaki itu secara saksama.“Main gilamu tidak lucu,” ucap Jane seraya mengambil cangkir teh dan menyeruputnya.“Aku serius.”Jane tiba-tiba bangkit dari kursinya. Tanpa berpamitan pada Ryan, ia melangkah keluar dari Wood’s Camelian café.“Jane..,” panggil Ryan seraya berlari mengejar Jane. “Jane tunggu,” panggilnya sekali lagi. Wanita terus berjalan tanpa memedulikan Ryan yang terus memanggilnya.“Jane..,” Ryan mencengkram lengan wanita itu. Jane enggan berbalik dan membiarkan Ryan mencengkram lengannya. “Apakah ungkapan isi hatiku begitu membuatmu kesal?” tanya Ryan frustrasi. Wanita yang dicengkramnya masih diam tidak bergeming. “Jawablah Jane,” pintanya.Jane me
Emma memandang lelaki di hadapannya dengan dahi berkerut. “Tidak akan kotor, Pak. Biar seimbang hancurnya,” ucap Emma dengan senyum di bibirnya. Kali ini ia mengubah topik pembicaraan menjadi hiburan bagi lelaki itu. Ternyata di tengah mewahnya Alves Corp ada lelaki yang senantiasa memendam luka. Menahan rasa sakitnya dan diam-diam mengatur semuanya agar bisa bangkit kembali. Senyum dibibirnya perlahan berubah menjadi tatapan kagum pada lelaki itu.“Kamu kerjakan apa yang menjadi bagianmu, Emma. Datanglah jika saya memanggil,” balas Ethand. Ia sedikit salah tingkah karena tatapan Emma yang tidak biasa.“Tentu, Pak. Asalkan di panggil, saya pasti merapat,” jawab Emma tanpa ragu. Kini rasa gugup dan segan pada atasannya langsung hilang.“Baiklah.” Ethand mengalihkan tatapannya pada makanan di atas meja. “Makanlah. Setelah itu kita jalan-jalan.”Emma menganggukan kepala. Namun ia kembali menatap bin