"Belajarlah untuk berinteraksi dengan dunia luar. Keluar dari dunia gelap yang kau buat itu dan kembalilah melihat indahnya sinar matahari." [Bryan R. R.]
______
Sudah dua tahun lamanya semenjak putra tunggal keluarga Robertson meninggal, dan sudah dua tahun itulah Ray mempertahankan wajah datarnya.
Bukan hanya wajahnya saja, sifatnya juga semakin dingin membuat Mariam kesulitan untuk mendekatinya.
Wajah tampannya terlihat sangat jelas di balik wajah datarnya. Kulitnya sudah tidak pucat seperti dulu.
Keberadaannya? Tentu saja Ray sudah tidak peduli. Kalau dulu dirinya berusaha mencari perhatian kepada Nisa dan Bryan, sekarang sudah tidak lagi.
Bahkan hanya untuk makan bersama saja Ray merasa enggan. Jangankan untuk makan bersama, menatap wajah mereka saja Ray tidak betah.
Sekarang umur Ray sudah menginjak 17 tahun. Umur dimana anak remaja merasakan debaran jatuh cinta atau berkumpul bersama teman-temannya.
Tapi lain halnya dengan Ray. Ray membuang jauh-jauh rasa itu. Ray tak ingin merasakannya. Ray hanya fokus belajar dengan guru homeschooling nya dan merawat creepy dollnya dengan baik.
Sampai pada akhirnya, sesuatu yang sangat langka. Tidak, lebih tepatnya tidak pernah terjadi. Bryan menyuruhnya pergi menyusulnya di ruang kerja miliknya.
Mau tak mau, senang tak senang, lebih tepatnya terpaksa. Ray mengikuti apa yang dikatakan Bryan menyusulnya ke ruang kerja. Entah apa yang akan disampaikan oleh Ayahnya itu, mungkin ingin mengusirnya atau memindahkannya di panti asuhan atau mendapatkan anak baru. Sungguh, Ray tidak peduli.
"Apa apa?" tanya Ray to the point setelah sampai di ruang kerja Bryan.
Ruangan yang bahkan tidak pernah kaki Ray menginjaknya sedikit pun, ya karena Ray tidak tertarik dengan bisnis.
Terdapat banyak perabotan yang tak kalah mewahnya tersusun rapi di ruangan tersebut. Sebuah foto dengan ukuran jumbo yang melekat sempurna di dinding ruangan kerja Bryan sukses menarik perhatian Ray.
Itu adalah foto keluarga. Tapi...tidak ada wajahnya di sana. Ray tersenyum masam mendapati fakta bahwa dirinya benar-benar tidak dianggap di keluarga ini. Kalau begitu kenapa masih menahannya di manshion? Untuk pajangan? Atau untuk senjata? Ray yakin pilihan yang terakhir mengingat IQ nya yang tak terlalu jauh dari IQ kakaknya.
Bryan berdehem membuat perhatian Ray teralihkan menatap wajah tampan yang sudah mulai berkeriput itu.
"Apa kau tau kenapa ayah memanggilmu kemari?" tanya Bryan.
"Mungkin ingin membuangku." jawab Ray dengan santai.
"Bukan."
"Mendapatkan anak pengganti?"
"Bukan!"
Ray menatap Bryan dengan malas. Tak pernah sedikit pun Ray berhasil membaca pikiran si tua yang berada di depannya ini.
Perlakuannya sangat membingungkan. Di sisi lain, terkadang Bryan terlihat sangat menyayangi dirinya dan selalu membela tapi terkadang Bryan tak ingin melihatnya dengan kata lain tak ingin ikut campur dengan masalah yang menimpanya.
"Keparat." umpat Ray.
"Jaga mulutmu, son!" tegur Bryan penuh penekanan.
Mendengar kata terakhir yang keluar dari mulut Bryan, membuat Ray terkekeh geli dan hal itu tak luput dari pandangan Bryan.
"Apa yang lucu?" tanya Bryan tak senang.
Ray mengangkat kepalanya yang sempat tertunduk karena terkekeh dan menatap Bryan dengan tatapan tajamnya.
"Son? Siapa yang kau panggil son hah? Aku tidak melihat ada anakmu di sini." balas Ray.
Mendengar ucapan yang keluar dari mulut Ray berhasil membuat Bryan menyentuh dadanya merasakan sesak. Sejujurnya dirinya merasa sangat amat bersalah karena sudah menelantarkan Ray, anaknya sendiri.
"Bukan begitu son, aku -"
"Katakan apa maumu?" potong Ray tak ingin berlama-lama.
Bryan menghembuskan napasnya kasar, "Kau tau aku sudah tua. Tidak ada lagi yang bisa aku harapkan dan sekarang -"
"Jangan bertele-tele Pak tua." ejek Ray.
Bryan tersenyum mendengar ejekan Ray, rasanya dirinya pantas mendapatkan itu.
"Baiklah, aku langsung saja. Aku ingin kau mengganti posisi Roy dan -"
"Apa? Setelah kematian Roy baru kau ingat kepadaku?" tanya Ray.
"DIAM RAY!" bentak Bryan.
Ray berdecih tidak suka dan membuang pandangannya karena tak ingin bertatap mata dengan Bryan.
Bryan kembali menarik napasnya panjang dan menghembuskannya dengan perlahan-lahan.
"Aku tau ini egois tapi, apa kau tau? Aku melakukan ini tanpa sepengetahuan Ibumu." ujar Bryan.
"Aku tidak memiliki Ibu." balas Ray dengan ketus.
Sekali lagi, Bryan harus menghembuskan napasnya dengan kasar dan berusaha untuk tetap sabar menghadapi kelakuan kurang ajar anaknya.
"Baiklah, aku mengerti bagaimana perasaanmu." ujar Bryan. "Aku ingin kau belajar di luar seperti anak lainnya, Ray."
Ucapan Bryan sukses membuat kedua mata Ray membelalak tak percaya. Apa? Belajar di luar seperti anak lainnya? Tidak. Sampai kapan pun Ray tidak sudi. Terakhir kali dirinya keluar mansion bersama Mariam memberikan kesan yang sangat buruk.
"Tidak!" tolak Ray dengan cepat. "Aku tidak mau! Sekali pun kau memaksa, aku tetap tidak mau."
Melihat penolakan Ray membuat Bryan semakin berang. Pasalnya, Ray tidak mengerti dengan suasana dan tidak mau tau apa yang sedang terjadi kepada keluarga Robertson.
"Ray, kau tau. Bisnis keluarga kita semakin menurun semenjak kepergian Roy. Beberapa tabunganku sudah habis untuk membayar hutang. Para investor menarik saham mereka dan aku sudah tidak bisa membayar homeschooling mu lagi. Satu-satunya cara adalah kau harus tetap sekolah. Aku sudah mendaftarkanmu ke sekolah terbaik di Amerika dan kau harus menerimanya Ray." jelas Bryan.
Ray menggelengkan kepalanya dengan cepat, "Tapi -"
"Aku juga tidak mampu lagi membayar Mariam. Satu-satunya harapanku adalah aku ingin kau belajar bisnis dan mengelola kembali bisnisku. Aku sudah tidak mampu lagi bekerja dan aku kesusahan membayar bawahanku." jelas Bryan.
Melihat Ray yang terdiam membuat Bryan tersenyum puas, "Aku tau kau tidak bodoh Ray. Belajarlah untuk berinteraksi dengan dunia luar. Keluar dari dunia gelap yang kau buat itu dan kembalilah melihat indahnya sinar matahari. Karena kaulah satu-satunya harapanku sekarang."
Bryan bangkit dari duduknya berjalan melewati Ray yang masih berdiri membeku dengan tatapan tidak percaya.
Sebelum membuka pintu, Bryan menoleh sebentar ke arah Ray. "Aku tau kau bisa. Aku akan mempertahankan Mariam selama seminggu untuk mengajarimu."
Setelah mengatakan itu, Bryan menutup pintu meninggalkan Ray yang masih setia berdiri.
Perlahan-lahan Ray memegangi kepalanya dan meremas creepy doll di tangannya. Ray merasa tidak terima. Ray hanya ingin disini. Ray tidak ingin melihat dunia luar.
"Apa yang harus aku lakukan?" gumam Ray.
"Ayo kita berontak saja Ray, aku tidak ingin dilihat dunia luar." sahut Rey.
Ray menganggukkan kepalanya dan berlari keluar dari ruang kerja milik Ayahnya. Saat ini yang Ray cari adalah Bryan. Dimana pria tua itu?
Ray terus berlari, menuruni anak tangga dengan cepat tak mempedulikan teguran khawatir dari beberapa pelayan. Yang Ray pikirkan saat ini adalah bernegosiasi kepada Bryan.
Tapi terlambat sudah. Bryan sudah tidak ada di mansion. Mobil mewah Bryan juga sudah tidak terlihat lagi. Entah kemana pria tua itu membuat kepala Ray kembali pusing.
"Keparat!" umpat Ray.
Ray kembali berjalan menuju kamarnya. Yang diperlukannya saat ini adalah berendam di dalam bathtub berharap kepalanya kembali dingin.
*******
Sudah tiga hari batang hidung Bryan tidak muncul, bukan Bryan saja melainkan Nisa dan Neneknya Wilda tidak terlihat lagi.
Pelayan juga tidak banyak. Hanya terlihat 2-3 orang saja. Entah kemana mereka, bahkan Ray sempat berpikir kalau mereka tengah bersembunyi.
Baru saja Ray ingin memakan sarapannya di meja makan, Ray sudah dikejutkan dengan beberapa orang yang berbadan besar masuk seenaknya kedalam manshionnya dan mengangkut beberapa barang mewah didalam manshion.
"Hey hey, apa yang kalian lakukan?" tanya Ray tidak terima.
Ray berusaha meraih mereka tapi sia-sia saja rasanya. Tidak ada yang mendengarnya.
Mariam yang sedari tadi di dapur mendengar suara ribut di luar, dengan cepat Mariam pergi menuju meja makan.
Melihat Ray yang berlari berusaha menggapai beberapa pria berbadan besar yang mengangkut beberapa barang mewah, dengan cepat Mariam menarik tangan Ray dan memeluknya dengan erat.
"Mariam, kenapa kau tidak menghentikan mereka? Mereka mengambil barang-barang kita." rengek Ray.
Mariam hanya bisa mengusap punggung belakang Ray berharap Ray sedikit lebih tenang.
"Mariam, kenapa kau diam saja?" tanya Ray nyaris berteriak.
Mariam menangkup kedua pipi Ray dan tersenyum hangat, "Jangan khawatir. Nanti mereka akan mengembalikan barang-barang itu. Mereka mengambilnya karena Ayahmu ingin menebus hutangnya dengan barang-barang yang ada di sini." jelas Mariam.
Mendengar penjelasan Mariam berhasil membuat kedua lutut Ray lemas. Melihat hal itu dengan cepat Mariam meraih tubuh Ray dan membawanya duduk di kursi meja makan.
Mariam menyodorkan air putih kepada Ray, dengan cepat Ray meneguknya. Setelah merasa tenang, Ray melihat wajah Mariam dengan tatapan serius.
"Kalau aku menuruti apa yang Ayah katakan, apakah semuanya akan baik-baik saja?" tanya Ray.
Mendengar hal itu, Mariam jadi bingung sendiri. Tapi melihat raut serius di wajah Ray, Mariam yakin kalau Ray ingin merebut kembali miliknya yang sudah dirampas orang lain.
Mariam tersenyum sembari mengelus pipi Ray, "Tentu saja. Kalau Anda berusaha sedikit lebih keras lagi, semuanya akan kembali seperti semula. Tuan Bryan pasti akan bangga."
Ray membalas senyuman Mariam. Kedua tangan Ray bergerak memeluk tubuh sexy Mariam dan dibalas tak kalah erat oleh Mariam.
Bagi Ray, Mariam adalah sosok Ibu yang sangat baik. Walaupun kehadirannya di keluarga Robertson hanyalah sebagai psikiater dan orang asing, tapi tidak bagi Ray.
Ray sangat menyayangi Mariam. Setelah Roy, Mariam adalah orang yang sangat mengerti tentang dirinya. Tak peduli berapa kali Ray mengacuhkannya, Mariam selalu ada dan selalu memberi Ray nasehat yang dapat membuat Ray merasa hangat.
"Terima kasih, Mariam."
*******
Seperti apa yang dikatakan Bryan, kesempatan Mariam seminggu untuk membimbing Ray tidak Ray sia-sia kan.
Ray berusaha belajar apa yang disampaikan Mariam. Mulai dari cara berinteraksi dengan orang lain, cara mengatasi ketakutan dan kecemasan yang datang menyerang, dan beberapa materi lainnya.
Jujur saja, jantung Ray berdebat tak karuan setiap kali mengingat kalau dirinya akan pergi ke dunia luar, tempat yang sangat Ray jauhi.
Saat ini Ray sedang merebahkan dirinya di atas king size miliknya. Menatap langit-langit kamarnya dengan creepy doll berada di sebelahnya.
Tidak terasa seminggu sudah berakhir. Mariam tidak akan muncul lagi di manshion Robertson dan esok adalah hari dimana Ray melihat dunia luar dan berinteraksi dengan orang lain.
"Memikirkannya membuatku berdebar."
Ray menoleh ke arah creepy doll. Akhir-akhir ini Ray menghiraukan Rey. Hanya malam saja mereka berinteraksi itu pun tidak lama.
"Rey." panggil Ray.
Tidak ada sahutan.
Merasa heran, Ray meraih creepy dollnya dan memeluknya dengan erat.
"Jangan iri Rey." lirih Ray.
"Siapa yang kau bilang iri, bocah."
Ray tertawa dan kembali memeluk Rey, "Apa kau menunggu hari esok?" tanya Ray.
"Aku tidak peduli sama sekali."
"Jangan seperti itu Rey. Aku melakukan ini demi ayah." bujuk Ray.
"Demi ayahmu? Apa kau lupa siapa yang sudah membunuh Roy?"
Mendengar hal itu, seketika raut wajah Ray berubah tergantikan dengan raut datar. "Aku tidak akan lupa." balas Ray.
"Baguslah kalau begitu, karena aku sudah tidak sabar menantikan hari dimana kita akan membantai keluarga Robertson."
"Ckck kau membuatku semakin bersemangat, Rey."
Keduanya tertawa terbahak-bahak. Tidak, lebih tepatnya tertawa penuh semangat dan gairah. Tawa yang sangat tidak menyenangkan saat didengar.
"Takut mencoba, kau tidak akan tau apa yang akan terjadi selanjutnya." [Ray R. R.]______Ray turun dari mobil, meninggalkan mobil yang didalamnya terdapat sopir pribadinya yang ditugaskan Bryan untuk menjaga Ray.Baru saja Ray melangkah masuk ke dalam gerbang, tiba-tiba Ray merasakan kedua kakinya bergetar hebat.Pasalnya sekolah yang dilihatnya sangat ramai. Dengan perasaan cemas, Ray memeluk creepy doll dengan erat."Kau pasti bisa Ray." gumam Ray. "Takut mencoba, kau tidak akan tau apa yang akan terjadi selanjutnya."Ray berjalan menelusuri sekolah yang katanya sekolah terbaik di Amerika. Ray akui itu, selain bangunan yang terbilang sangat terbaik, lapangannya juga sangat besar. Terdapat taman di sebelah lapangan basket, dan ada air mancur di tengah-tengah taman.Baiklah, lumayan. Ray terus berjalan mencari ruangan guru, tak men
"Aku akan menguasai dunia dan menjadi nomor satu." [Rey R. R.]______Jam pelajaran telah usai, saatnya seluruh siswa pulang ke rumahnya masing-masing. Tapi tidak untuk Ray.Sebelum pulang, Ray memutuskan untuk pergi ke apartemen Mariam. Jujur saja Ray rindu kepada Mariam tapi Ray terlalu gengsi untuk mengakuinya jadi Ray memutuskan untuk beralasan mengembalikan tempat bekal kepada Mariam.Lama Ray menunggu lift membuatnya mengeluh. Ray tidak tau apa yang terjadi. Ray menoleh ke arah tangga, ah rasanya Ray terlalu malas untuk menaiki tangga. Jadi, Ray memutuskan untuk menunggu saja.Setelah sekian lama menunggu, akhirnya pintu lift terbuka. Baru saja Ray ingin masuk, tiba-tiba ada seseorang dari dalam lift keluar tergesa-gesa sehingga menabrak bahu Ray."Akhh Shit!" umpatnya kepada Ray.Ray menatap heran ke arah pria itu, merasa tid
"Kau hanya perlu sedikit berusaha lagi. Mereka pasti akan menyukaimu." [Mariam]_____"Hai kamu, yang bawa boneka!"Mendengar suara ganjil yang berasal dari belakang, dengan cepat Ray dan David membalikkan badan dan melihat siapa orang ganjil itu.Seorang siswi berdiri di belakang keduanya dengan tatapan mengejek berhasil membuat Ray geram. Ray memperhatikan penampilannya dari atas sampai bawah. Lebih baik dari pada Vibi Kudanil di kelasnya.Rambut panjang hitam yang diuraikan, make up natural, serta postur tubuh yang terbilang ideal. Tapi satu yang sangat mencolok adalah gadis itu menggunakan tas berwarna pink dengan gambar kuda pony di depannya."Ppfftttt!"Ray berusaha mati-matian menahan tawanya sehingga Ray terpaksa berhenti setelah mendapatkan tatapan tajam dari pemiliknya."Apa yang lucu?" tanyanya.
"Aku akan mengantarmu pulang. Kalau kau pulang sendiri itu tidak baik karena kau anak gadis, nanti kau diculik. Ini sudah malam." [Ray R. R.]______Wahana bianglala memutar menampilkan pemandangan kota malam dari atas membuat Ray semakin kagum.Melihat hal itu membuat Vara menahan senyumnya, melihat ekspresi Ray sangat menggemaskan."Ray." panggil Vara."Hm."Ray saat ini masih fokus melihat ke arah luar jendela tak memperhatikan Vara yang sedari tadi melihatnya."Leher kamu engak sakit kalau -""Apa?" tanya Ray.Ray membalikkan tubuhnya menghadap tubuh Vara sehingga lagi dan lagi keduanya berhadapan. Ray merasa suara Vara terlalu kecil, karena itu dia berbalik.Sedangkan Vara merasa meleleh sebentar lagi. Suasana romantis seperti dinovel yang sering dia bac
"Kalau berani jangan main keroyokan." [Kay]______"Manis sekali? Umur berapa kamu dek?""Ahaha!"Mereka tertawa terbahak-bahak sembari memainkan rambut lebat Ray tapi dibalas Ray dengan wajah datarnya."Kenapa dek? Marah ya?""Jangan marah ya nanti maminya datang."Mereka semakin menjadi mengejek Ray membuat Ray merasa risih. Rasa cemas dan takutnya sekarang sudah sedikit berkurang akibat rasa bangganya yang terus mendarah daging dari kemarin.Salah satu dari mereka hendak mengambil paksa creepy doll Ray kalau saja tidak ditahan oleh Key.Kay dan Key datang mendorong beberapa siswa agar menjauhi Ray, "Kalau berani jangan main keroyokan." ujar Kay."Anak mami itu kalian, buktinya berani sama satu orang. Cih." ejek Key."Kenapa ini? Aku keting
"Karena aku merasa tidak ada urusan ya aku makan saja." [Ray R. R.]______"RAY!"Ray yang sedang makan es krim ditemani Vara tersedak sampai membuatnya terbatuk-batuk dan mengeluarkan air mata. Vara membantu Ray dengan memijat tengkuk lehernya.Kay, Key dan Randa datang menghampiri Ray yang sedang duduk di kursi taman dengan wajah garangnya.Terlihat wajah mereka babak belur, tidak sepenuhnya hanya saja dihiasi dengan plester luka bergambar anak ayam membuat Ray dan Vara sontak tertawa terbahak-bahak."Apa yang lucu hah?" tanya Randa dengan geram."Wajah kalian....ada...anak ayam ahaha." tawa Vara sembari memegangi perutnya yang terasa kram.Vara mereka lupakan, fokus utama mereka adalah Ray dan lihatlah anak itu dia malah tertawa seperti orang yang tidak memiliki beban saja dan itu sukses m
"Tidak usah dipikirkan. Apa yang kau lakukan itu sudah benar." [Rey R. R.]______Hari ini Ray berencana untuk tidur seharian karena merasa mengantuk dan lelah akibat pesta kecil-kecilannya bersama teman-temannya tadi malam.Tapi semua itu hanyalah rencana saja karena tidak akan terjadi sama sekali. Bryan memaksanya untuk pergi membawanya bertemu dengan Ibunya, Nisa dan Wilda.Mendengar hal itu tentu saja dengan cepat Ray menolaknya mentah-mentah. Ray tak ingin menjadi bahan cacian lagi.Bryan mengusap wajahnya frustasi karena seperti apa pun bujukan yang diberikannya tetap saja Ray bersikeras dengan pilihannya, tidak mau bertemu dengan Ibu dan Neneknya."Ray, kau harus pergi. Nenekmu sedang sakit dan temani Ibumu." bujuk Bryan.Ray membuang wajahnya dengan tangan yang masih setia menyuapi makanan di dalam mu
"Aku memiliki teman yang jago membuat gombalan." [Ray R. R.]_____Ray tau, dirinya sudah berlari keluar garis batas yang sudah ditentukan tapi dirinya tak ingin berlama diam disana atau dirinya akan hancur dan Rey bisa keluar.Ray terus berlari tak mempedulikan sahutan klakson yang memekakkan telinga. Air matanya tak berhenti mengalir membasahi kedua pipinya.Karena lelah berlari, Ray mendudukkan bokongnya di halte bus yang sudah sepi. Tentu saja sekarang sudah larut malam, waktunya untuk tidur tapi tidak untuk Ray, bahkan matanya tidak mengantuk sama sekali.Ray memeluk creepy dollnya dengan erat, menahan sakit yang teramat dalam dihatinya. Sungguh kalau boleh jujur, Ray tidak kuat untuk menahannya. Ray hanya ingin tidur dan tenang, tidak ada permasalahan rumit yang hadir.Ray terus menangis, menangis sejadi-jadinya. Meluap