08.33 WS
Kantor pusat NASA di Washington DC, Amerika Serikat.
Tiga unit helikopter militer mendarat di halaman depan kantor NASA. Beberapa orang prajurit militer turun dari helikopter-helikopter tersebut, mengawal beberapa orang sipil yang berada di antara mereka. Termasuk di antara orang-orang sipil itu adalah Paul Gilbert dan Tracy Austin.
Seorang karyawan NASA menyambut kedatangan rombongan yang berasal dari Mauna Kea itu. Dengan dipandu karyawan NASA berpakaian necis tersebut, Paul, Tracy, dan beberapa orang lainnya memasuki gedung di depan mereka dengan dikawal beberapa tentara. Mereka menyusuri koridor menuju ke suatu tempat.
Suasana di NASA sangat sibuk seperti biasanya. Banyak orang yang terlihat sibuk, atau menyibukkan diri. Semua orang tampak memiliki pekerjaan masing-masing yang tidak dapat ditinggalkan. Bagi Paul yang pernah berada di lingkungan NASA, hal ini tidak aneh baginya. Tapi bagi Tracy da
International Space Station (ISS) adalah stasiun luar angkasa hasil kerja sama Amerika Serikat dengan sebelas negara termasuk Jepang dan Kanada. ISS yang masih dalam tahap penyelesaian itu selalu mengorbit di atas bumi. Saat ini ada tiga astronaut Amerika Serikat dan seorang kosmonaut Rusia yang kini berada dalam stasiun ruang angkasa tersebut. Mereka sedang mengerjakan proyek dari negaranya masing-masing.“Rusia sialan!” gerutu Daniel Byrd, salah seorang astronaut yang berada dalam ISS. Rekannya, Jose Estevez yang berada di sebelahnya heran mendengar gerutukan Daniel.“Ada apa?” tanya Jose sambil tetap mengerjakan apa yang sedang dikerjakannya, yaitu mengadakan penelitian mengenai kondisi udara dalam ruang hampa.Ruangan dalam stasiun yang tanpa gravitasi membuat tubuh mereka melayang-layang di dalam ruangan. Untung saja para astronaut dan para kosmonaut itu sudah terbiasa hidup dalam kondisi seperti itu.“Bukankah
“Pak Presiden,” John menyalami Presiden.“Selamat datang kembali di Gedung Putih.” sapa Presiden sambil tetap tersenyum. Senyum yang getir mengingat apa yang sedang dihadapinya sekarang.Berturut-turut kemudian orang yang datang bersama John bersalaman dengan Presiden Thomas, termasuk Paul. Presiden memandang Paul dengan pandangan bertanya-tanya karena tidak pernah melihat pria itu sebelumnya. Apalagi melihat pakaian Paul yang berbeda dengan yang lain. Paul memang baru pertama kali masuk ke gedung Putih. Dan karena mendadak, dia tidak sempat mempersiapkan baju yang pantas untuk itu.“Prof. Paul Gilbert, ahli astronomi. Dia dapat membantu Anda dalam konferensi pers nanti.” John menjelaskan.“Oya, selamat datang,”“Terima kasih Pak Presiden,” jawab Paul.“Anda akan mengatakannya sekarang?” kata John.Presiden menatap John.“Menurutmu? Kukira sekar
15 November 201404.46 WSLembaga Pemasyarakatan Cipinang, JakartaAli Fachruddin berjalan pelan menelusuri lorong Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dengan dikawal dua orang petugas. Sesampainya di depan salah satu sel yang kosong, salah sorang petugas membuka pintu sel dan Ali masuk ke dalamnya.“Terima kasih” ujar Ali.Kedua petugas Lapas itu tidak menjawab.Setelah mengunci kembali pintu sel, keduanya pun beranjak pergi. Ali kemudian menghampiri sebuah tas yang tergeletak di samping ranjang. Pria berusia 28 tahun itu mengambil sebuah buku yang berada di dalam tas besar miliknya yang juga berisi berbagai keperluan pribadi selama berada di penjara terbesar di Indonesia sepuluh hari yang lalu.Saat mulai membaca, suara lirih dari arah ranjangnya membuatnya terhenti sejenak dan menoleh.“Jangan berisik! Gue masih mau tidur!&r
07.12 WS Rumah mewah di kompleks perumahan elite di kawasan Pondok Indah, Jakarta Selatan itu terlihat begitu lengang. Tentu saja, sebab rumah berukuran besar itu hanya ditempati oleh 4 orang. Rumah itu ditempati oleh dr. Andi Prasetyo beserta istri dan kedua anaknya. Andi adalah dokter muda yang kariernya sangat cemerlang. Di usianya yang baru menginjak 34 tahun, dia telah menjadi seorang dokter spesialis bedah dan tulang nomor satu di Indonesia. Walau secara resmi Andi bekerja di RS Cipto Mangunkusumo, dia juga sering menangani pembedahan di berbagai rumah sakit di seluruh Indonesia, terutama pembedahan yang sangat komplekss dan memerlukan keahlian tinggi. Pria itu juga sering menjadi pembicara di berbagai seminar dan lokakarya, sehingga tidak heran jika penghasilannya sebulan di atas rata-rata dokter lain di Indonesia. Dengan penghasilannya tersebut Andi dapat menghidupi keluarganya lebih dari cukup. “Anak-anak sudah bangun?”
Suasana di planetarium menjadi sunyi dan mencekam. Masing-masing sibuk dengan pikirannya masing-masing, memikirkan apa yang akan terjadi pada diri mereka dan orang-orang yang berhubungan dengan mereka, khususnya orang-orang yang mereka sayangi. Dinginnya AC yang terpasang di dalam ruangan membuat suasana mencekam semakin terasa.Peter tercenung di depan layar laptopnya, Mengamati data dari NASA yang terkirim secara online. Hal yang sama dilakukan Arya di. Sementara Sudaryanto tampak mondar-mandir di dalam ruangan. Serasa ada yang mengganjal pikiran pria itu, dan dia ingin mengatakan sesuatu tapi urung dilakukannya.Dering Ponsel memecahkan kesunyian. Sudaryanto mengangkat Ponsel miliknya yang berbunyi.“Iya Pak... baik.. saya mengerti...” demikian ucapan Sudaryanto di telpon. Seluruh pasang mata memandang ke arah Sudaryanto sambil menebak-nebak siapa yang menelepon.“Tadi dari kepala BMKG. Dia sudah berbicara d
Priska tampak duduk di lobi depan bersama Ferry yang menenteng kamera TV. Gadis itu tersenyum melihat kedatangan Arya.“Hai...” sapa Priska.Arya menatap Priska dalam-dalam.“Ada apa Lo kesini? Bukannya Lo sedang tugas?” tanya Arya.“Benar. Tapi ada yang ingin Gue tanyakan ke Lo,”“Tanya apa?”Priska menghela nafasnya sebentar. Rambutnya yang agak basah meneteskan butir-butir air pada baju kerjanya.“Tentang cuaca yang terjadi sekarang, Lo tahu kan penyebabnya?”Arya tertegun. Dia tidak menyangka Priska akan bertanya seperti itu. Seketika itu juga dirinya sadar kalau Priska tidak datang sendiri. Dia membawa seorang juru kamera. Pasti gadis itu sedang mencari berita.Tapi dari mana Priska tahu kalau hujan yang terjadi hari ini bukan hujan biasa? Atau dia hanya menebak-nebak saja?“Kenapa Lo berkesimpulan begitu?” Arya balik bertanya.&ld
Priska tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Hari kiamat? Hal itu tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Lutut gadis itu serasa lemas. Keingintahuan yang begitu besar yang tadi menghinggapi dirinya hilang seketika, berganti dengan perasaan-perasaan lain yang tidak menentu. “Kita harus pergi sebelum segala sesuatunya menjadi buruk.” Kata Peter. “Apa yang menjadi buruk?” tanya Ferry heran. “Tentu saja cuaca ini.” “Maksud Anda?” Peter memandang Ferry sejenak. Dia maklum, sebagai orang awam Ferry memang tidak begitu mengerti tentang ilmu astronomi dan cuaca. “Terus terang saya tidak mengerti. Jika benar ada bintang dekat kita yang sangat panas, kenapa di Jakarta malah hujan. Disertai badai lagi. Ada apa ini?” tanya Ferry lagi. Peter menarik nafas. Dia terpaksa harus menjelaskan semuanya. “Anda tentu tahu tentang penguapan air bukan? Siklus air di alam hingga menghasilkan hujan?” kata Peter. Ferr
Di dalam toilet, Priska menenangkan dirinya sambil membasuh wajahnya di wastafel. Gadis itu masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya, dan di dalam hatinya dia menyangkal hal tersebut. Hari kiamat? Tidak mungkin! Ini tidak mungkin terjadi! Timbul setitik penyesalan di hati Priska. Kenapa dia tidak menuruti kemauan ibunya agar sekali saja bisa pulang ke rumah. Jika saja ketika itu dia pulang, paling tidak jika hari kiamat itu benar-benar terjadi, saat ini dia telah berkumpul bersama keluarganya, bersama orang-orang yang dicintai dan mencintai dirinya. Tiba-tiba seperti teringat sesuatu, Priska merogoh saku bajunya dan mengeluarkan Ponselnya. Dia hendak menelepon ke orang tuanya. Memberitahu semuanya sekaligus permintaan maaf dan penyesalannya. Tidak ada respons dari seberang telepon. Priska mencoba kembali menekan nomor ponsel orang tuanya. Hasilnya sama saja. Berapa kali pun dia mencoba, tetap tidak berhasil. Kenap