Jika kau bertanya pada Lucian tentang apakah ada seseorang yang sangat ingin ia bunuh. Maka, jawaban Lucian hanya ada satu.
Saat ini juga ia ingin membunuh Peter Compbell Spade.
Pria berkacamata itu menatap tajam pada Peter yang tidak mengalihkan sedikit pun pandangannya dari sang kakak.
“Ini ... ini hanya gertakan! Mudah bagi Peter untuk menyelidiki kakak dari informasi yang selama ini kumpulkan. Tidak ada bangsawan muda, bahkan seorang wanita yang menjadi proferor pengajar matematika di universitas ternama.” Mata Lucian kemudian melirik pada sang kakak yang terlihat santai, “Jika kakak menyangkalnya, itu membuktikan bahwa kakak terlibat dengan dua kasus itu.”
Lucian menggigit pipi bagian dalamnya. Merasa gemas dan juga tidak sabaran untuk menunggu jawaban dari sang kakak yang sedari tadi hanya terdiam. Detik demi detik berlalu begitu saja dalam kesunyian. Tak ada yang membuka suara, me
“Waktunya sangat sempit. Lumie, ayo cepat!”Lumiere tersenyum santai, mengangkat sedikit ujung gaunnya agar mempermudahnya melangkahkan kaki, “Tentu saja.”Lumiere kemudian menoleh pada seorang pegawai kereta yang sedari tadi memperhatikan perdebatan konyol mereka, “Bolehkah saya meminta denah kereta dan dafta nama penumpang?”Pegawai kereta tersebut mengangguk dengan wajah yang memerah karena tersipu malu, “Baik, akan saya bawakan.” Kemudian pria berseragam rapi itu melenggang pergi meninggalkan tempat kejadian perkara untuk membawakan permintaan Lumiere.Peter kembali menghampiri pintu kabin yang terkunci tersebut. Pria itu merosotkan tubuhnya, bertumpu pada sebelah lulutnya kemudian mengutak-atik lubang kunci untuk membuka pintu tersebut.CEKLEK!GREEK!“Kabinnya dikunci oleh pelaku, ya?” gumam Lumiere seraya melangkah mas
Sesuai dengan apa yang diperkirakan oleh Lumiere, Peter mengumpulkan kedelapan awak kereta dan juga beberapa polisi kereta di suatu gerbong. Pria berwajah tampan itu tampak tersenyum puas, menatap awak kereta satu persatu. Seolah-olah ia sedang mengintai seseorang yang sebentar lagi akan masuk ke dalam perangkapnya.“Setelah melakukan banyak penyelidikan dan tenggelam dalam pikiran. Akhirnya aku dan Lumie sampai pada satu kesimpulan, yaitu ...,” Peter sengaja menggantungkan ucapannya. Pria itu kemudian melipat kedua tangannya di dada, “Pelaku pembunuhan seorang penjual berlian adalah salah seorang awak kereta. Jadi, aku akan memeriksa kalian!”Ada sebuah kegaduhan yang diciptakan oleh para awak kereta tersebut. Mereka tampak terkejut dengan pernyataan tersebut, kemudian saling melempar pandang ke sesama rekan kerja tanpa bersuara.“Yang sepatunya berukuran 8, silakan maju ke depan.”Ada dua orang yang b
“Bisakah kalian berhenti menangis? Aku sudah dengan berbaik hati membawa kalian dari kawasan kumuh London ke wilayah kekuasaanku, sudah paham?”Sesosok pria berambut panjang, berwarna pirang platina dan memakai sebuah topeng pesta yang hampir menutupi separuh wajahnya. Tampak berdiri dengan anggun di hadapan keenam anak kecil yang sedang meringkuk ketakutan, bahkan salah satu mereka sedang menangis.“Namaku Jonathan Casten Redwood,” ujar pria berambut panjang tersebut yang memperkenalkan dirinya sebagai Jonathan. Sebuah senyuman lebar penuh keceriaan terpatri di bibirnya yang sedikit lebih tebal, “Ya, aku adalah seorang bangsawan. Dan apakah kalian tahu jika bangsawan itu hobi berburu?”Anak-anak itu tampak tak mendengarkan dengan baik cerita dari Jonathan. Mereka terlihat bergetar ketakutan, berusaha melindungi satu sama lain dari pria dewasa yang terlihat tidak waras tersebut.“Burung, rusah, ba
London, Kediaman Utama Wysteria.Lucian tampak sedang berjalan menuju ke sebuah rumah kaca yang terletak tidak jauh dari gedung utama kediaman Keluarga Wysteria yang berada di Durham. Pria berkacamata itu tampak sedang mencari-cari seseorang dan kemudian memutuskan untuk mencarinya di rumah kaca tersebut.“Ashen!” suara Lucian terdengar lantang ketika pintu rumah kaca terbuka, menampilkan sesosok pria bersurai hitam kelam yang tengah sibuk mengurusi tanaman bunga mawar merah, “Ternyata kamu di sini.”“Saya lupa untuk menyirami bunga-bunga di sini,” sahut Ashen kembali melanjutkan kegiatan berkebunnya tersebut. Membiar Lucian mendekati dirinya dan fokus memotongi daun-daun yang telah mengering dari tanaman bunga mawar tersebut.“Bunga yang indah,” puji Lucian merasa tenang melihat bunga mawar di hadapannya bermekaran dengan indah, “Kakak pasti senang melihatnya.”“Say
“Kereta kuda itu akan datang pagi ini. Kita harus bergerak secepat mungkin agar tidak kehilangan jejak. Kita semua akan bergerak dalam misi ini. Dan kalian berdua segera untuk bersiap.”Ashen dan Reynox mengangguk mengerti kemudian melangkah pergi meninggalkan kamar Lumiere untuk bersiap-siap. Keduanya kemudian bertemu dengan Lucian di depan pintu kamar sang gadis. Menyadari tatapan penuh arti dari Lucian, Reynox memberikan kode untuk Ashen pergi terlebih dahulu.“Aku akan bersiap duluan,” pamit Ashen seraya melangkah menuruni anak tangga menuju ke suatu tempat.“Oke,” balas Reynox singkat, padat, dan jelas. Kemudian ia membiarkan Lucian mendekati dirinya untuk mengatakan sesuatu.“Rencana baru ya?”Reynox mengangguk ringan, “Iya, kamu harus bergerak sebelum fajar.”Ada jeda keheningan di antara mereka selama beberapa saat.“Sepertinya Ashen merasa jauh
BRAK!“KAKAK!” teriakan Lucian menggema, bersamaan dengan jembatan rapuh tersebut rusak. Raut wajahnya benar-benar menunjukkan jika pria berkacamata tersebut mengkhawatirkan kakaknya yang sedang menyebrangi jembatan yang telah rusak itu.Namun beruntungnya, Lumiere dengan gesit melompat ke tanah di seberangnya. Pergerakannya cukup lincah walaupun ia adalah seorang wanita. Helaan napas terdengar dari Lumiere yang telah menginjakkan kakinya di tanah.“Dasar, bikin keringat dingin saja,” gerutu Reynox dengan kekhawatiran yang tidak berguna karena Lumiere yang berhasil selamat dari jembatan patah tersebut.Lumiere menghadap ke arah teman-temannya yang berada di seberang sana, “Kita serang tiap lokasi sendiri-sendiri. Aku akan pergi ke benteng yang paling besar.” Lumiere mulai memasangkan tudung jubah yang ia kenakan saat ini, menutupi surai cokelat madu serta sebagian dari wajahnya, “Kalian pergi ke d
Reynox yang sedang menggendong Daniel lantas menoleh ketika terdengar suara letusan senjata api yang memekakkan telinga, hingga membuat burung-burung yang bersembunyi dibalik rimbunnya pepohonan beterbangan.Pria bertubuh tinggi itu lantas menyeringai, merasa puas dengan keberhasilan Ashen menghabisi bangsawan yang sedang mereka buru tersebut, “Beres tuh.”Lucian menghentikan langkah kakinya ketika ia berhasil menemukan dua benteng yang menjadi tujuan mereka selanjutnya, “Archenar, itu ... bentengnya sudah terlihat.”Reynox memalingkan wajahnya seraya menghampiri Lucian yang tampak fokus memperhatikan benteng di sebelah kiri. Pria bertubuh tinggi itu pun ikut memperhatikan bentuk benteng tersebut, berusaha mencari-cari kejanggalan jika memang ada.“Tampak seperti benteng pada umumnya,” celetuk Reynox seraya melangkah menuju ke benteng di sebelah kanan, “Lucian, kau urus benteng di sebelah kiri.&rd
Lucius mendongakkan wajah, mengalihkan sejenak perhatiannya dari sebuah buku yang sedang ia baca, ketika telinganya mendengar suara ketukan di pintu masuk ruangan ini. Dengan gerakan santai, pria berwajah tampan ini beranjak dari duduk setelah meletakkan buku tersebut ke meja.“Selamat malam, Direktur,” sapa Lucius hangat ketika ia membukakan pintu dan mendapati Oscar Compbell Spade yang bertamu di malam hari seperti sekarang. Lucius tersenyum ramah namun mengandung makna yang misterius, “Anda sampai datang kemari di tengah malam begini ... pasti ada hal yang sang mendesak, ya?”Oscar hanya menyeringai miring seraya merapikan long coat yang tidak ia pakai, “Tidak perlu mengkhawatirkannya secara berlebihan. Sebuah urusan yang cukup genting sampai aku menggedor pintumu malam-malam begini.”“Wah, maaf,” ujar Lucius menyingkir dari pintu masuk, memberikan jalan untuk direkturnya tersebut agar